Bola mata Nadine menatap seorang pria yang duduk di sebuah kursi di balik meja kayu jati berpelitur mewah. Dengan warna coklat mengkilat. "Selamat pagi, Bu Nadine. Kenalkan saya Solrion Ananta. Saya rekan kerja Anda mulai saat ini."Detik setelahnya Nadine terperanjat, "Tung-tunggu dulu. Bukannya saya ke sini mau interview. Ini kenapa langsung diterima."Sudut bibir Rion tertarik. "Ibu kurang teliti membaca email kami kalau begitu. Tidak ada interview, kami mengundang Anda untuk bekerja di kantor kami. Dengan jabatan asisten pribadi CEO."Mulut Nadine menganga, tapi wanita itu buru-buru membekapnya. Dengan wajah sungkan Nadine berucap, "Maaf saya terkejut. Sangat terkejut. Tapi saya ingin menanyakan alasan kantor ini mempekerjakan saya. Saya tidak perlu menutupinya, karena saya juga tidak mau menipu Anda sekalian.""Soal Anda yang diberhentikan dengan tidak hormat di kantor lama? Anda meragukan penilaian kantor kami?"Nadine makin gelagapan atas pertanyaan Rion. Dari ruangan sebelah
"Selamat siang Tuan Arya. Saya hanya sedang mampir ingin bertemu Rion, tapi sepertinya dia sibuk." Sandy berupaya bersikap setenang mungkin. Rafael di samping Sandy, berdiri kaku dengan tangan terkepal. Untungnya Arya tidak terlalu peduli padanya. Menilik sikap sombong Arya, lelaki itu jelas tidak akan melihat seseorang yang berpenampilan sederhana seperti dirinya. Bagi lelaki itu, status seseorang lebih penting dari segalanya. Harga dirimu diukur berdasar seberapa kaya dirimu, seberapa berpengaruh dirimu, dan seberapa banyak koneksimu. Jika kamu memilikinya, niscaya Arya akan terus menempel padamu."Kalian masih sering bertemu rupanya." Terselip nada ejekan dalam kalimat Arya. Sandy menyunggingkan senyum."Kami berteman, tulus tanpa embel-embel apapun," sahut Sandy datar."Kalau dia jadi kere, paling nanti juga kau tinggalkan," sarkas Arya tanpa basa basi."Jika keadaannya begitu, sudah lama kami tidak bersahabat. Karena di sini, posisi kere adalah milik saya. Permisi." Sandy masuk
Rafael menatap wajah ayu yang kini menunduk sembari memandang nisan sang kakak. "Maafkan aku, Max. Maaf, aku tidak pernah menyangka kalau pertengkaran kami akan membawanya pergi.""Sebenarnya apa yang kalian ributkan saat itu?" Rafael memicing, mencoba mencari tahu kejadian yang sebenarnya. Dan pertanyaan Rafael sukses membuat gadis itu diam. Bahkan isak lirih yang sejak tadi terdengar, kini hilang."Melani, kita teman. Sejak hari itu aku tidak pernah ingin tahu apa yang terjadi. Tapi sekarang berbeda. Aku ingin tahu detailnya." Suara Rafael terdengar tegas, penuh penekanan.Wanita yang dipanggil Melani itu tidak menjawab. Bola matanya kembali berkaca-kaca. Memori itu terlalu menyakitkan untuknya. Apalagi sebagian orang menyalahkan dirinya. Tidak tahukah mereka, Melani perlu dibawa ke psikiater setelah kematian kakak Rafael. Berada dalam pengawasan ketat ahli kejiwaan selama lebih dari dua tahun."Aku minta putus, kamu tahu kan kita berbeda. Aku tidak pantas untuk kakakmu," balas Mela
Nadine mulai terbiasa dengan ritme kerja di kantornya yang baru. Ada staf yang mendukung semua pekerjaannya. Ada Rion yang selalu siap membantu jika dia kesulitan atau ingin bertanya. Juga ada Rafael dan keluarganya yang selalu memberi support.Nadine seketika langsung melupakan kesedihan dan tangisaan saat dia dipecat dengan tidak hormat karena melakukan korupsi. Wanita itu merasa bersyukur, diberi kesempatan untuk membuktikan kalau dirinya punya kemampuan dalam hal menangani klien dan managemen, bukan kecakapan dalam menilep uang perusahaan.Nadine boleh mengangkat wajahnya, tidak perlu merasa rendah diri bahkan ketika dia bertemu rival abadinya, siapa lagi kalau bukan Eva. Betul sekali, genap sebulan bekerja di DA Group, Nadine yang baru selesai bertemu klien di sebuah kafe, ditemani Rena. Tak sengaja bertemu perempuan yang jadi biang kerok bubarnya hubungan Nadine dan David.Itu hal lama, harusnya Nadine tidak perlu mengingatnya. Apalagi sudah ada Rafael yang memberikan support si
Ternyata musuh terbesar seorang Rafael tetaplah rasa julid dari para petangganya. Ocehan mereka seperti lebah berdengung di telinga, tiap lelaki itu lewat di jalan seputaran rumah mereka. Suami Nadine8 cuek saja seperti biasa. Dia bodo amat dengan komentar miring warga di sekitarnya.Sikapnya yang demikian justru makin menambah deretan julukan untuk Rafael, selain pengangguran, miskin, dekil, numpang hidup pada istri, kini sebutan sombong mulai disematkan pada Rafael. Omong-omong Rafael memang belum meng-up grade tampilan wajahnya jadi lebih glowing.Suami Nadine memang jarang menegur orang yang dia temui di jalan. Bagi kalangan atas itu memang hal biasa, tapi bagi komunitas setingkat warga komplek Nadine yang kurang kerjaan, hal itu bisa jadi bahasan penting untuk diagendakan, bak rapat pemegang saham, sama krusialnya.Rafael bukannya tak mencoba bersikap ramah pada mereka. Sekali dua, tiga dia menyapa, tapi buat apa kalau terus diabaikan, tidak guna dan buang masa. Hingga isu terseb
"Kenapa berhenti?" Nadine menepuk pundak Rafael ketika mereka berhenti sebentar di depan pos satpam yang tidak terlihat dari gerbang. "Sebentar ada yang ganggu." Rafael merogoh sarung tangan dari saku belakang. Memang terasa mengganjal kalau diduduki. Hanya beberapa detik Rafael menghentikan motornya, tapi hal itu punya impact besar pada keselamatan nyawa mereka. "Apa?" Nadine bertanya ketika Rafael malah menyerahkan sarung tangan pada Nadine, hingga perempuan itu akhirnya paham kalau Rafael ingin dia yang membawanya.Bukannya dimasukkan ke dalam tas, istri Rafael itu justru menggenggamnya, memasukkan ke dalam kantong jaket sang suami bersama tangannya, ketika dia memeluk raga kekar Rafael. Lelaki itu tersenyum tipis dengan kelakuan Nadine. Dia mengetuk helm Nadine, "Jangan tidur kalau tidak mau ngglundhung di jalan. Naik motor bukan mobil." Pria itu mengingatkan."Insya Allah," balas Nadine sekenanya. Dia lelah, juga ngantuk."Atau naik grap saja kalau kamu ngantuk.""Ayo buruan pul
Nadine menggeliat pelan kala malam masih menyelimuti bumi. Ada sang suami yang memeluk dirinya. Mengenakan kaos dan celana pendek, lelaki itu tampak tertidur pulas. "Raf, lapar," cicit Nadine. Perempuan itu tidak tahu kapan Rafael kembali.Sang suami hanya bergumam pelan, tidak jelas. Nadine jadi gemas seketika, tiba-tiba muncul ide untuk menggoda Rafael yang tampak imut kala memejamkan mata. Perempuan yang sudah puas tidur itu perlahan mengubah posisi tubuh Rafael jadi telentang. Heran sekali, Rafael ini tubuhnya beraroma parfum dua puluh empat jam.Meski katanya seharian berkeliling mengantar paket, saat pulang tak ada bau apek atau bau keringat menguar dari tubuh Rafael. Pria itu tetap wangi. Terdengar geraman halus ketika Nadine mencium bibir Rafael. Perempuan itu menindih tubuh Rafael sepenuhnya."Kamu jangan nyesel kalau sudah mancing duluan seperti ini." Netra Nadine membola, melihat Rafael sudah membuka mata."Mancing apaan? Ini karena kamu susah dibangunin," kilah Nadine. Per
Nadine sesekali menarik sudut bibirnya, melihat seorang wanita dengan paras ayu sedang bicara di depan sana, dengan aura seorang pemimpin tak terbantahkan. Dia perempuan tapi sikapnya tidak kalah dengan para pria yang tengah dia hadapi. Istri Rafael bisa merasakan kecerdasan sang wanita di balik penampilannya yang anggun. Perempuan itu jelas punya kemampuan yang apik dalam dunia bisnis. Tiap kata yang terucap dari lisannya menggambarkan kalau dia sangat tahu seluk beluk dunia yang penuh intrik, strategi juga kepandaian dalam mengambil keputusan. Visi dalam menatap masa depan, dipadukan dengan perkiraan prospek dalam menjalankan sebuah bisnis juga sangat diperlukan dalam bidang ini. Suara tepuk tangan membahana, menjadi tanda kalau pidato singkat tadi sudah selesai. Rion mengambil alih podium dengan peserta meeting mulai menekuni berkas yang telah dibagikan oleh Rena. Dari sekian banyak peserta meeting, tatapan mata Nadine tak lepas dari dua pria yang sejak awal lagi tampak tertarik