Nadine awalnya terkejut melihat kedatangan David. Bagaimana bisa pria ini muncul di tengah rapat penting para petinggi perusahaan tempatnya bekerja. Hingga kemudian perempuan itu teringat kalau Paramita adalah mama David. Ha? Jadi David putra wakil CEO.Kedudukan yang jelas tinggi. Bisa dibayangkan bagaimana kayanya teman masa kecil Nadine. Namun kenapa lelaki itu memilih terdampar di kantor lama, jika dia bisa mendapat jabatan lebih bagus di sini. Berbagai tanya menyelinap ke benak Nadine.Menyadari posisi David, Nadine kini jadi sungkan pada pria itu. Lebih tepatnya Nadine tiba-tiba memiliki rasa lebih menghormati David karena jabatan ibunya. David tak langsung menyapa Nadine, pria itu mendatangi Rionald, berbincang sebentar. Sebelum Eva datang bergabung. Nadine seketika memalingkan wajah, enggan jika harus bertemu pandang dengan tatapan Eva yang tampak merendahkan dirinya. Iyalah, perempuan itu bisa duduk di antara para pemegang saham dan dewan direksi, menunjukkan kalau wanita ul
Kadang manusia bisa bertindak di luar akal dan logika ketika berhubungan dengan orang yang dicinta atau katakanlah berarti atau dekat dalam hidupnya. Pun dengan Rafael, pria yang dinilai Rion dan Sandy sebagai manusia terlogis di dunia, mendadak berubah tiba-tiba.Sandy melihat Rafael bergerak cepat keluar dari ruangannya, meninggalkan Sandy sendirian di sana. Sandy melihat ke arah ruang meeting di bawah mereka, di mana David beranjak menuju ruangan Nadine.Sudut bibir Sandy tertarik, membentuk lengkung senyum sinis, "Cemburu ternyata," gumamnya lirih. Sandy tak beranjak dari sana, tetap mengawasi situasiDi sisi lain ada Rafael yang menyelinap keluar lift khusus yang hanya dirinya, Rion dan Sandy yang bisa mengaksesnya. Dadanya bergemuruh hebat oleh rasa tidak suka kala David masih terus mengincar miliknya. Nadine miliknya, hanya wanita itu yang diklaim kepemilikannya oleh Rafael, yang lain dia masih bisa nego.Namun untuk Nadine, tidak ada yang boleh mengambilnya. Bahkan menyentuhny
Ketika kembali ke lantai atas, semua orang pasti salfok dengan tampilan Nadine yang agak lain. Kentara sekali jika perempuan itu habis berciuman. David yang masih ada di sana sampai mengepalkan tangan. Lelaki itu duduk di samping meja Rion, sementara pemiliknya belum kembali sampai sekarang."Cipokan sama siapa?" Rena berbisik kepo."Laki gue nyamperin di bawah." Nadine menunjukkan paper bag yang sempat Rafael selipkan ke tangannya sebelum dia keluar dari ruangan itu. Rafael sendiri harus punya alasan kuat untuk bisa berkeliaran di kantornya sendiri. Sebab Nadine tak tahu suaminya berada di gedung yang sama."Salad?" Nadine mengangguk, dengan jemari mulai bergerak di atas keyboard laptopnya. Hasil meeting tadi harus segera dirangkum, untuk kemudian didistribusikan pada divisi yang bersangkutan. "Dia ke sini?" David datang menghampiri."Iya, kenapa? Tidak boleh? Mentang-mentang kamu anak yang punya perusahaan.""Bakal aku blacklist namanya biar tidak bisa masuk," sahut David kesal.Na
Pagi hari yang riweuh kembali menyambut Nadine. Dia yang semalam di gempur Rafael setelah kena palang seminggu, membuat wanita itu kesiangan. Sang suami iseng tak membangunkannya. Beruntung semua pekerjaan sudah beres semalam. Hingga istri Rafael bisa langsung berangkat setelah menyambar roti tawar milik sang mama. Wanita itu melotot tapi tidak protes, dia tetap membiarkan tangannya disalimi sang putri, pun dengan sang ayah. Rafael hanya mengulas senyum melihat hebohnya sang istri. Nadine mengulas make up dalam perjalanan. Merapikan penampilan, memakai heels lima senti pas ketika mereka tiba di lobi kantor.Pekerjaan Nadine padat sampai makan siang. Nasib baik Rafael tidak menganggunya dengan datang mengantarkan makanan. Semua berjalan lancar tanpa hambatan termasuk ketika seorang kurir datang mengantar paket untuk Nadine.Nadine mengerutkan dahi melihat kiriman paket dengan nama Tia sebagai pengirimnya. Nadine sudah lama tidak berkomunikasi dengan sang teman sejak dia keluar dari ka
Dua hari berikutnya, sebuah berita menggemparkan memenuhi layar pemberitaan baik online, cetak maupun elektronik. Kantor lama Nadine resmi ditutup dengan garis polisi mengelilingi bangunan besar itu.Sebuah bisnis ekspedisi dijadikan kedok untuk menutupi peredaran narkoba. Kantor lama Nadine ternyata adalah basis pengiriman barang terlarang. Dari gudang mereka, jaringan pengedar leluasa mengirimkan benda haram tersebut pada para bandar.Satu kamuflase dan penipuan yang sangat licik dan lihai. Penggagasnya berotak brilian. Dengan mengirimkan barang melalui kurir ekspedisi, tidak akan memancing kecurigaan aparat. Mereka jelas tidak akan mengusik perusahaan jasa pengiriman barang resmi.Rafael dan Nadine saling pandang ketika mereka menyaksikan berita penyegelan kantor Nadine. Ditambah ada bapak, ibu dan Sita yang juga sedang libur. "Wah, kantor lamamu ternyata sebobrok itu. Untung kamu dipecat dari sana," celoteh Heni."Jangan bilang kalau Kakak korban konspirasi mereka?" Sambar Sita."
David berjalan masuk ke sebuah klub, tempat di mana dia biasa melepas stres dan penat. Netra coklatnya memandang jauh, menembus kabut yang tercipta dari asap rokok yang meliuk di bawah sinar lampu berkelap kelip. Langkah panjang David membawanya ke depan barterder. Lelaki itu memesan minuman pada sang peracik minum. Sembari menunggu, matanya kembali memindai tempat tersebut. David tak menghiraukan sentuhan menggoda yang datang padanya. Mengusap pundak, lengan, dada bahkan paha. Para penjaja tubuh itu sudah hafal mana pria yang bisa diajak ke ranjang, mana yang tidak. David memenuhi kriteria pria dengan otak mesum. Manik mata David memicing, memindai, menilai tiap tubuh yang melewatinya. Ukuran dada, pinggul, bokong, paha, betis, leher. Semua tak luput dari penilaian David, penikmat wanita yang akhir-akhir ini kehilangan minat.Semua karena satu wanita. David menenggak habis satu gelas koktail sekali habis. Tubuh itu, sial! David tak bisa mengenyahkannya dari pikirannya. Seksi dengan
"Nadine! Kenapa kamu bisa melakukan hal memalukan itu!"Suara penuh kekecewaan itu membuat sosok bernama Nadine membeku."Aku tidak melakukan apapun, Bu! Sungguh!"Heni, ibu Nadine, menatap nanar putrinya, "Tapi Dave sendiri yang memergoki yang kalian lakukan berdua di kamar itu!"Sebelumnya, Nadine tertangkap basah tengah tidur dengan pria tak dikenal, yang saat ini ada di sampingnya, menatapnya tanpa ekspresi.Saat itu, ketika Nadine terbangun, hal yang pertama kali ia lihat adalah ekspresi kekecewaan Dave yang melihatnya dengan pria asing, tanpa sehelai benang pun."Bu, dengarkan aku dulu. Aku datang ke sana setelah mendapatkan pesan kalau Dave katanya pingsan di kamar hotel.” Nadine menarik nafas lalu melanjutkan, "dan saat aku sampai di sana, tiba-tiba seseorang memukulku sampai aku tak sadarkan diri.”"Cukup bualanmu, Nadine. Aku tak menyangka kamu bisa melakukan hal menjijikkan seperti ini dan masih membela dirimu!"Nadine tersentak dan menatap calon tunangannya itu tak
Nadine sejak tadi mondar mandir di kamarnya. Rafael baru saja pamit setelah bicara dengan sang ayah. Kepalanya masih terngiang percakapan Rafael tadi. "Bisnis? Aset? Sepertinya tidak mungkin kalau dia punya bisnis, apalagi aset," gumam Nadine.Kalau Rafael punya dua hal tersebut, mustahil pria itu akan hidup miskin. Baju lusuh, motor butut, juga tampilannya pasti akan lebih bersih. Setidaknya hidup Rafael akan terlihat lebih baik.Nadine melemparkan tubuhnya ke kasur. Menatap hampa langit-langit kamarnya. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Membayangkan apa yang akan terjadi padanya besok. Nadine tiba-tiba tertawa miris untuk sesaat.Perempuan itu pada akhirnya melupakan pembicaraan Rafael tadi. Menepis kemungkinan kalau Rafael bisa saja orang kaya. Nadine memilih pasrah dengan hidup yang dia jalani.Hingga kemudian helaan napas kasar terdengar. "Sudahlah, sepertinya aku tidak punya pilihan selain menerima dia jadi suamiku. Mungkin sudah takdir dan nasibku begini."Namun, dalam benakny