Nadine akhirnya merengek minta pergi bekerja setelah empat hari diam di rumah. Bosan luar biasa perempuan itu rasakan. Rafael sendiri pernah membujuk Nadine untuk resign saja, dengan janji dia akan memenuhi semua keperluan sang istri.Putri sulung Hermawan kala itu langsung diam, tidak protes sama sekali. Namun Rafael akhirnya tidak tega mengekang sang istri di rumah, ketika dia mendapati Nadine menangis diam-diam di belakangnya.Hati Rafael tercubit, dia mungkin bisa memenuhi segala keperluan Nadine, tapi apa hal itu menjamin kebahagiaan istrinya. Sedangkan salah satu prioritasnya adalah membuat Nadine bahagia. Pada akhirnya Rafael kembali mengalah, dia menarik ucapannya agar Nadine jadi ibu rumah tangga full time.Lelaki itu mengizinkan Nadine bekerja dengan syarat selalu membawa ponsel ke manapun dia pergi, agar Nadine mudah minta tolong jika ada hal buruk terjadi. Nadine tentu saja setuju dengan syarat itu. Toh dia memang selalu membawa benda pipih itu ke mana-mana.Jika Nadine da
Tak ada ketakutan di wajah Sandy, pria itu menatap tenang pada orang yang sedang menodongkan senjata padanya. Handoyo, sang atasan. Sementara di belakang sana, ada Eva yang duduk menumpang kaki. Paha putihnya terekspose sempurna dalam keremangan cahaya gudang yang temaran. Satu wanita di sarang penyamun, sungguh berani. Namun itulah Eva, perempuan itu justru menyukai keadaan itu. Di tengah para pria dia merasa dicinta dan dipuja. Tahukah dia kalau sejatinya para pria itu hanya ingin menikmati tubuhnya, gratis tanpa perlu membayar.Kenapa harus bayar kalau ada tubuh mulus dengan perawatan mahal bersedia dijamah. Dalam pandangan Sandy, Eva bahkan lebih murah dari para pelacur di luar sana. Walau ya, dia satu dua kali, tiga pernah merasakan service perempuan itu. Lumayan dari pada harus main dengan sabun.Kembali ke posisi yang terlihat terancam, tapi entah bagaimana lelaki itu tampak biasa saja. "Kenapa kau menolongnya?" Pertanyaan Handoyo terucap ringan."Satu yang pasti, aku tidak ta
Rafael kembali mengantar Nadine yang masih belum bisa mengendarai mobilnya sendiri, meski perban di bahunya sudah dilepas. Wanita itu dalam masa penyembuhan. Dilarang banyak bergerak, harus pelan-pelan saat menggunakan otot bahunya agar dislokasi tidak terulang lagi.Suami Nadine tak peduli ketika beberapa rekan kantor Nadine tampak mencibir padanya. Tentu saja pandangan mereka seakan menuduh Rafael menumpang hidup pada sang istri. Kenyataannya meski Rafael hanya tukang kurir pengganti semua kebutuhan hidup perempuan itu terpenuhi.Nadine sendiri cukup menerima penjelasan sang suami, yang mengatakan kalau dia punya banyak lot saham di beberapa perusahaan yang terkenal bagus nilai perdagangan sahamnya. Cukuplah untuk hidup tiap bulan. Pria itu berujar sudah sejak muda lagi ikut beli saham. Jadi tidak heran jika jumlah lembar saham Rafael sangat banyak.Nadine bukan perempuan yang mudah terpengaruh omongan orang. Meski untuk kasusnya hari itu cukup membuat Nadine down. Namun dari sanala
Brankar didorong cepat masuk ke UGD satu rumah sakit paling dekat dengan kafe tempat Sita bekerja. Korban tabrak lari itu adalah Sita, adik ipar Rafael. Sita meringis menahan sakit yang mendera perutnya. Rasanya tak tertahan, Sita bahkan sampai menitikkan air mata. Rafael sendiri meski wajahnya datar tapi rasa cemas memenuhi hatinya. Dia panik melihat darah mengalir di betis adik Nadine. "Tolong dia, Dok," pesan Rafael.Lelaki itu menghela napas dalam, berdiri mematung di depan tirai yang sudah dipasang menghalangi pandangan. Rafael tak berani mendekat. Dia hanya menunggu dengan hati harap-harap cemas. Seorang dokter keluar lagi, sepertinya sengaja mencari Rafael. "Maaf, dia istri Anda?""Bukan, Dok. Dia adik ipar saya. Dan posisinya tengah mengandung kalau tidak salah sekitar tiga bulan," jelas Rafael yang seketika membuat sang dokter mengangguk paham dengan situasinya."Begini benturannya sangat keras, kami khawatir janinnya tidak bisa dipertahankan."Deg! Jantung Rafael mencelos.
"Ada yang salah kalau aku minta bantuan tanteku," balas David santai. "Dia bukan mamamu, dia tante yang sebentar lagi akan jadi mama mertuaku," sambar Eva sengit David tertawa, terpingkal sampai memegangi perutnya. Hal itu membuat Eva terlihat emosi. "Mama mertua katamu. Anaknya ada di mana, dia saja tidak tahu," tambah David. "Begitu dia kembali, om Arya akan segera menikahkan kami. Aku dan Max akan menikah. Dan kau hanya akan gigit jari. Sebab dia sebentar lagi akan pergi." Tawa David hilang seketika, berganti dengan wajah serius. "Apa yang kalian rencanakan? Jangan coba menyentuhnya. Jangan pikir aku tidak tahu kalian yang merancang kecelakaan itu," desis David lirih. Takut ada yang mendengar. "Asal kamu tahu, aku berharap dia mati hari itu. Tapi tak apa, masih ada cara lain untuk menghentikannya. Kamu tahu kan, sistemnya membuat kita kewalahan saat akan mengirim barang." "Itu kalian, bukan aku. Aku tidak ikut campur." "Tapi kau turut menikmati hasilnya. David Prasetyo De An
Rafael cengo melihat Sita yang sudah bangun. Dia langsung salah tingkah ketahuan mencuri dengar kejadian di sebelah. "Tidak apa-apa," balas Rafael datar.Sita mengerutkan dahi, curiga dengan kelakuan Rafael. Tindak tanduk Rafael memang selalu menimbulkan prasangka tidak baik untuk pria itu. Bagi Sita pertanyaan dari mana Rafael bisa mendapat uang, untuk membayar utang sang ibu masih jadi hal yang sangat ingin dia tahu jawabannya.Pinjam dari atasannya? Sepertinya akan sangat tidak mungkin. Uang yang dipinjam Rafael banyak, bukan hitungan ratusan ribu, tapi puluhan juta. Jika dipikir pakai logika, orang kaya sekalipun akan berpikir dua kali untuk meminjamkannya pada Rafael yang penghasilannya tidak jelas.Apalagi atasan Rafael langsung mengiyakan saja saat sang kakak ipar meminjam uang. Tidak bertanya ini, itu dulu. Sita belum tahu saja kalau Nadine sudah diberi tahu soal Rafael yang punya saham di beberapa perusahaan.Lamunan Sita buyar ketika dia merasa nyeri di area perut bagian baw
Rafael dan Sita berhenti di pintu dapur. Memandang keadaan dapur yang kacau balau bak baru saja terjadi pertempuran di sana. Yang berteriak tadi adalah Hermawan tapi yang meringis kesakitan malah Heni. Perempuan itu terduduk di lantai dengan wajah berkerut menahan sakit.Sementara adonan kue dan peralatan kue tampak berceceran di lantai. Yang lebih mengejutkan adalah keberadaan Nadine yang turut bercoreng tepung di wajah. "Kalian lagi ngadain perang tepung?" Sita mengubah pertanyaannya. Yang tadinya takut terjadi apa-apa pada sang ayah, kini beralih menyoroti TKP yang berantakan."Ibumu terpeleset, jadi adonannya tumpah. Lihat," kata Hermawan sambil membantu Heni berdiri lalu duduk di kursi. Sita dan Rafael kompak melongok ke lantai dan benar saja, lantai licin dengan tiga loyang penuh adonan yang terbalik."Dan kamu ngapain pulang tidak bilang-bilang?" Cecar Rafael pada Nadine yang tidak biasanya jam segitu sudah ada di rumah."Tidak enak bahu, senut-senut makanya minta pulang," kata
Nadine tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sungguh-sungguh tidak tahu. Setelah bertemu Paramita, wanita itu kembali bekerja. Sampai makan siang selesai semua masih berjalan biasa. Hingga setelah itu dia mendadak dipanggil ke kantor HRD. Di mana Nadine dihadapkan dengan setumpuk dokumen yang membuat dirinya menegang."Semua buktinya valid, Bu. Kami bahkan bisa melihatnya masuk ke rekening Ibu."Tangan Nadine gemetar, meraih berkas di atas meja. Satu dokumen berisi bukti transfer ke rekeningnya dengan nominal yang besar. "Tapi saya tidak pernah menerima dana apapun dari siapa pun. Dan orang ini, saya tidak mengenalnya.""Ibu tidak tahu dia siapa?" Nadine menggeleng. Sebaris nama yang disebut oleh kepala HRD sama sekali tidak dikenal oleh Nadine. Jangankan kenal, tahu nama itu eksis saja tidak. Nadine dibuat kelimpungan, kenapa sistem yang dia buat justru balik menyerangnya. Dia tidak merasa melakukan semua itu, tapi seluruh bukti menudingnya.Terlebih sistem yang baru sepenuhnya ada
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan