Selama beberapa hari terakhir, isu selingkuh Heni jadi topik panas pasangan yang tak lagi muda itu. Rafael menggeleng tiap kali Hermawan mengungkit hal tersebut. "Mereka kenapa?" Tanya Nadine di sela sarapan yang sepenuhnya di-support oleh Rafael pagi itu. Gegara perselisihan si tuan rumah, Heni merajuk, tidak mau memasak sarapan. Alhasil Rafael yang memang sedang ingin makan nasi uduk, membeli lima porsi sekaligus, beserta gorengan dan camilan lain.Harusnya dari sini, sikap Heni bisa berubah, tapi perempuan itu kekeuh dengan pandangannya soal Rafael yang hina. Beda dengan Sita yang sekarang tidak banyak bunyi, tapi sorot matanya masih menyisakan rasa tidak suka. "Katanya ibumu selingkuh," bisik Rafael. Nadine lanvsung tersedak dengan Rafael segera memberinya air putih. "Serius?" Nadine bertanya tanpa mempedulikan Rafael yang mengusap bibirnya dengan jari, membersihkan lelehan air di sana. Sang istri minum air serampangan. Interaksi manis itu membuat Sita berdecih sebal."Tidak ta
Jika Rafael dan Nadine sedang tidak baik-baik saja rumah tangganya, gegara kesibukan sang istri yang tidak ketulungan. Hingga menimbulkan galau di hati keduanya. Beda dengan Sita yang hari itu jantungnya berdentum, deg-degan. Bukan karena bakal bertemu Teo. Gadis itu bahkan sudah tidak pernah menghubungi pria brengsek tersebut. Yang membuat jantung Sita memompa darah lebih cepat adalah saat ini dia berada di depan sebuah kafe yang terkenal elite di kawasan ibu kota. "Ini benar tempatnya," gumam Sita. Bolak balik melihat bergantian antara papan nama dan kartu yang ada dalam genggamannya. "Ah, dia pasti mau mengerjai aku!" Maki Sita, membalikkan badan lantas bersiap pergi ketika satu suara menyapanya. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu. Saya perhatikan Mbak sejak tadi berdiri di sana. Tidak mau masuk." Seorang pria berpakaian formal membuat Sita urung melenggang pergi dari sana. "Saya bukan mau makan, tapi cari kerja. Saya pikir sudah salah tempat. Permisi." Sita kembali akan
Seorang pria berbadan tegap baru saja pergi ketika Rafael datang, lalu memasukkan motornya ke garasi. Di samping mobil sang istri yang ternyata sudah pulang. Rafael mengulas senyum. Ternyata rasanya seperti ini, tahu istrinya sudah ada di rumah, mungkin sedang menunggunya.Namun rasa senang itu berubah kala Rafael ingat kalau pria tadi bisa jadi DC yang kembali menagih Heni. "Ibu berhutang lagi?" Rafael bertanya singkat. Membuat Heni yang ingin masuk rumah urung melakukannya."Bukan urusanmu!" Heni menjawab ketus."Memang bukan urusan saya. Tapi akan jadi urusan saya kalau merembet ke mana-mana." "Jangan mentang-mentang sudah bisa bayarin utang ibu, kamu mau atur ibu sesuai keinginanmu." Heni kembali menyahut."Bukannya saya ingin mengatur Ibu. Tapi ingatlah bapak, Nadine. Bagaimana kalau mereka sampai tahu. Bapak tidak seperti dulu lagi." Rafael memperingatkan."Tidak akan ada yang tahu kalau kamu tutup mulut, diam!" Heni menempelkan telunjuknya di bibir, memberi kode Rafael untuk m
"Tapi tidak ada laporannya," protes Rafael. Sang istri melapor belanja tapi tidak ada laporan transaksi di ponselnya."Kan belanjanya dibayarin orang. Tante-tante cantik." Rafael memicingkan mata. Menatap Nadine yang bersandar di dadanya sambil memainkan ponsel. Keduanya sudah berada di kamar, sudah membersihkan diri. Sudah sama-sama wangi. Ternyata rasa galau karena kesibukan, sirna seketika hanya dengan kata maaf yang terucap dari bibir Nadine, tentu diikuti sebuah ciuman yang jelas disambut baik oleh Rafael. Berciuman setelah berdebat memang efektif meredam ketegangan.Mereka baru selesai adu bibir beberapa detik lalu, ketika Nadine menepuk dada Rafael, pria itu nyaris membunuhnya. Ciuman Rafael intens, dalam, ditambah hidung mancung lelaki itu, mampu menutup akses pernapasan Nadine."Kamu kenal?" Rafael bertanya dengan netra tak lepas dari ponsel sang istri. Menatap apa yang perempuan itu kerjakan."Enggak, tapi dia baik. Sup tadi resep dari tante itu, enak banget kan?" Rafael te
Nadine melangkah riang keluar dari konter penerimaan paket, satu minggu sejak sistem baru diterapkan. Sejauh ini semua berjalan lancar. Sedikit kendala tapi masih bisa diatasi. Hari ini, Nadine pergi sendiri. Tia dan Rey kebagian briefing ke konter lain, sedang Nadine akhir-akhir ini kebagian tugas evaluasi.Wanita itu baru saja berjalan menuju mobilnya ketika seorang pria menepuk bahunya pelan. "Maaf, Mbak. Tuan ingin bertemu." Nadine mengerutkan dahi, mengingat siapa yang sedang bicara padanya. Sampai ingatannya menemukannya."Kakek yang itu?" Nadine bertanya senang. Dengan sang pria mengangguk, lantas membimbing Nadine menuju sebuah rumah makan tak jauh dari sana. Sebuah kedai gado-gado yang cukup legend di daerah itu."Selamat siang, Kek. Kakek apa kabar?" Si kakek melengkungkan senyum, menyambut tangan Nadine untuk disalimi. Ada hangat yang menjalar ketika Nadine mencium takzim punggung tangannya."Pilihannya tidak main-main," batin si kakek, lantas mengibaskan tangan untuk mengu
Beberapa hari bekerja sebagai kasir di kafe New Moon, membuat Sita mulai akrab dengan rekan kerja lain. Dia mulai punya teman bicara. Mulai saling bertukar cerita. Soal apapun, termasuk tentang tempat mereka bekerja. Desas desus berseliweran di sekitar Sita dan teman-temannya, mengenai pemilik kafe yang sangat misterius. Belum pernah ada rekan Sita yang melihat rupa sosok tersebut.Sita hanya pernah mendengar percakapan sang manager dengan seseorang bernama Rafael. Sangat mencurigakan. Namun tak menutup kemungkinan jika hal itu benar. Rafael bisa jadi adalah pemilik tempat ini.Namun Sita juga kembali berpikir ulang, yang namanya Rafael bukan hanya kakak iparnya seorang. Tapi lagi-lagi ragu menyeruak naik, ketika semua tindak tanduk Rafael yang memang bertanduk cukup mencurigakan.Ngakunya tukang paket, tapi keadaan lelaki itu bertolak belakang dari kata pas-pasan. Oke, untuk muka mungkin boleh disebut relevan. Tampang Rafael memang pas-pasan, pas tidak jelek, pas tidak tampan, alias
Untuk sesaat baik Rafael maupun Sita hanya diam. Adik Nadine sedang mencerna apa yang baru saja Rafael katakan. Detik berikutnya gadis itu tertawa. Terpingkal-pingkal sampai perutnya sakit dan muntah lagi."Jangan pegang-pegang! Selain pengangguran, ternyata kau tukang bual," maki Sita."Baguslah jika kau tidak percaya," ujar Rafael santai. Sama sekali tak ada beban. Lelaki itu hanya terus memperhatikan Sita yang masih muntah di selokan. Makanannya sudah habis terkuras, menyisakan air yang rasanya akan terada sakit jika terus seperti itu."Sudahlah, kau libur saja. Bikin repot yang lain.""Aku tidak apa-apa!" Ngeyel Sita, perempuan itu juga keras kepala, sama seperti Nadine. Rafael pun mengedikkan bahunya acuh, membiarkan Sita memesan ojol. Kuliah Sita yang tinggal bimbingan skripsi tidak mengharuskan wanita itu berangkat ke kampus tiap hari. Dan minggu ini, Sita dapat shift pagi."Terserah!" Rafael naik ke atas motor, memakai helm, lantas melajukan motornya dari sana. Lelaki itu semp
"Rafael kenal Sandy?" Sejak tadi kalimat itu yang digumamkan oleh Nadine. Ditilik dari berbagai sudut, rasanya mustahil kalau Rafael bisa berhubungan dengan Sandy. Meski tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Maka begitu Rafael begitu keluar kamar mandi. Nadine langsung mencecar sang suami."Kamu kenal Sandy?" "Sandy siapa? Sandy Nayoan? Tidak kenal.""Bukan Sandy Nayoan. Sandy Satrio walau sikapnya macam pengecut." "Tidak kenal!" Balas Rafael cepat."Serius tidak kenal?""Tidak, memangnya kenapa?" Nadine diam seketika, tidak mungkin dia mengaku sudah menguntit Rafael hari ini."Tidak ada," jawab Nadine tanpa ingin memperpanjang masalah. Akan lebih mudah menekan Sandy dari pada Rafael. Sang suami kalau sedang mode mafia, membuat Nadine merinding disko saking takutnya. Heran sekali Nadine. Pengangguran, kerja kadang kala. Wajah bolehlah, maksudnya untuk dapat vibes mafia itu tidak ada, tapi aura dingin yang menguar dari Rafael kadang membuat Nadine berpikir sedang berhadapan den