"Tapi tidak ada laporannya," protes Rafael. Sang istri melapor belanja tapi tidak ada laporan transaksi di ponselnya."Kan belanjanya dibayarin orang. Tante-tante cantik." Rafael memicingkan mata. Menatap Nadine yang bersandar di dadanya sambil memainkan ponsel. Keduanya sudah berada di kamar, sudah membersihkan diri. Sudah sama-sama wangi. Ternyata rasa galau karena kesibukan, sirna seketika hanya dengan kata maaf yang terucap dari bibir Nadine, tentu diikuti sebuah ciuman yang jelas disambut baik oleh Rafael. Berciuman setelah berdebat memang efektif meredam ketegangan.Mereka baru selesai adu bibir beberapa detik lalu, ketika Nadine menepuk dada Rafael, pria itu nyaris membunuhnya. Ciuman Rafael intens, dalam, ditambah hidung mancung lelaki itu, mampu menutup akses pernapasan Nadine."Kamu kenal?" Rafael bertanya dengan netra tak lepas dari ponsel sang istri. Menatap apa yang perempuan itu kerjakan."Enggak, tapi dia baik. Sup tadi resep dari tante itu, enak banget kan?" Rafael te
Nadine melangkah riang keluar dari konter penerimaan paket, satu minggu sejak sistem baru diterapkan. Sejauh ini semua berjalan lancar. Sedikit kendala tapi masih bisa diatasi. Hari ini, Nadine pergi sendiri. Tia dan Rey kebagian briefing ke konter lain, sedang Nadine akhir-akhir ini kebagian tugas evaluasi.Wanita itu baru saja berjalan menuju mobilnya ketika seorang pria menepuk bahunya pelan. "Maaf, Mbak. Tuan ingin bertemu." Nadine mengerutkan dahi, mengingat siapa yang sedang bicara padanya. Sampai ingatannya menemukannya."Kakek yang itu?" Nadine bertanya senang. Dengan sang pria mengangguk, lantas membimbing Nadine menuju sebuah rumah makan tak jauh dari sana. Sebuah kedai gado-gado yang cukup legend di daerah itu."Selamat siang, Kek. Kakek apa kabar?" Si kakek melengkungkan senyum, menyambut tangan Nadine untuk disalimi. Ada hangat yang menjalar ketika Nadine mencium takzim punggung tangannya."Pilihannya tidak main-main," batin si kakek, lantas mengibaskan tangan untuk mengu
Beberapa hari bekerja sebagai kasir di kafe New Moon, membuat Sita mulai akrab dengan rekan kerja lain. Dia mulai punya teman bicara. Mulai saling bertukar cerita. Soal apapun, termasuk tentang tempat mereka bekerja. Desas desus berseliweran di sekitar Sita dan teman-temannya, mengenai pemilik kafe yang sangat misterius. Belum pernah ada rekan Sita yang melihat rupa sosok tersebut.Sita hanya pernah mendengar percakapan sang manager dengan seseorang bernama Rafael. Sangat mencurigakan. Namun tak menutup kemungkinan jika hal itu benar. Rafael bisa jadi adalah pemilik tempat ini.Namun Sita juga kembali berpikir ulang, yang namanya Rafael bukan hanya kakak iparnya seorang. Tapi lagi-lagi ragu menyeruak naik, ketika semua tindak tanduk Rafael yang memang bertanduk cukup mencurigakan.Ngakunya tukang paket, tapi keadaan lelaki itu bertolak belakang dari kata pas-pasan. Oke, untuk muka mungkin boleh disebut relevan. Tampang Rafael memang pas-pasan, pas tidak jelek, pas tidak tampan, alias
Untuk sesaat baik Rafael maupun Sita hanya diam. Adik Nadine sedang mencerna apa yang baru saja Rafael katakan. Detik berikutnya gadis itu tertawa. Terpingkal-pingkal sampai perutnya sakit dan muntah lagi."Jangan pegang-pegang! Selain pengangguran, ternyata kau tukang bual," maki Sita."Baguslah jika kau tidak percaya," ujar Rafael santai. Sama sekali tak ada beban. Lelaki itu hanya terus memperhatikan Sita yang masih muntah di selokan. Makanannya sudah habis terkuras, menyisakan air yang rasanya akan terada sakit jika terus seperti itu."Sudahlah, kau libur saja. Bikin repot yang lain.""Aku tidak apa-apa!" Ngeyel Sita, perempuan itu juga keras kepala, sama seperti Nadine. Rafael pun mengedikkan bahunya acuh, membiarkan Sita memesan ojol. Kuliah Sita yang tinggal bimbingan skripsi tidak mengharuskan wanita itu berangkat ke kampus tiap hari. Dan minggu ini, Sita dapat shift pagi."Terserah!" Rafael naik ke atas motor, memakai helm, lantas melajukan motornya dari sana. Lelaki itu semp
"Rafael kenal Sandy?" Sejak tadi kalimat itu yang digumamkan oleh Nadine. Ditilik dari berbagai sudut, rasanya mustahil kalau Rafael bisa berhubungan dengan Sandy. Meski tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Maka begitu Rafael begitu keluar kamar mandi. Nadine langsung mencecar sang suami."Kamu kenal Sandy?" "Sandy siapa? Sandy Nayoan? Tidak kenal.""Bukan Sandy Nayoan. Sandy Satrio walau sikapnya macam pengecut." "Tidak kenal!" Balas Rafael cepat."Serius tidak kenal?""Tidak, memangnya kenapa?" Nadine diam seketika, tidak mungkin dia mengaku sudah menguntit Rafael hari ini."Tidak ada," jawab Nadine tanpa ingin memperpanjang masalah. Akan lebih mudah menekan Sandy dari pada Rafael. Sang suami kalau sedang mode mafia, membuat Nadine merinding disko saking takutnya. Heran sekali Nadine. Pengangguran, kerja kadang kala. Wajah bolehlah, maksudnya untuk dapat vibes mafia itu tidak ada, tapi aura dingin yang menguar dari Rafael kadang membuat Nadine berpikir sedang berhadapan den
"Nama gue bukan Sandy Nayoan!" Sandy protes soal nama yang selalu digunakan Nadine untuk memanggilnya."Alah, sama aja!" Sandy terkesiap kaget ketika Nadine mendorongnya kuat, nyaris membuatnya tersungkur, menabrak tembok. Untungnya dia sigap menahan bobot tubuhnya yang terhitung kekar. Macam body builder."Astaga, elu kalau di kasur juga galak gini. Jadi kepo gue." Tatapan Sandy berubah mesum, tapi ekspresi itu berubah dengan cepat ketika Nadine justru memepetnya."Mau coba?" Sandy mengubah posisinya jadi menyamping, menghindari tatapan penuh intimidasi dari Nadine."Begini ya berurusan sama cowok amfibi yang semua diembat.""Woelah, Nad. Kagak bisa diajak bercanda lu. Kemarin gue disebut spesies, sekarang dipanggil amfibi. Sudah kayak jebolan kebon binatang Ragunan aja gue," gerutu Sandy. Sedang Nadine hanya bersedekap tanpa bicara mendengar ocehan pria yang secara teknis, lebih tinggi jabarannya.Sandy sontak menelan ludah melihat dada Nadine menyembul naik. Nadine adalah primadona
"Kamu menuduh ibu mencuri?" Heni tak terima dengan perkataan Rafael."Ibu mengambil barang Nadine tanpa izin, apa namanya jika bukan mencuri. Lagi pula ibu sendiri yang menyebut mencuri, saya hanya minta kembalikan barang Nadine yang sudah ibu ambil." Skak mat, Heni bungkam mendengar balasan Rafael."Ibu tidak mengambil apapun!" Tegas Heni, tidak! Dia tidak mau mengaku."Lalu ini apa?" Rafael memutar sebuah rekaman video di mana dengan jelas Heni mengambil satu kotak berisi perhiasan dari laci kamarnya."Kamu pasang CCTV?" Heni membelalakkan mata, tidak percaya dengan tindakannnya sendiri. "Itu tidak penting, sekarang kembalikan! Nadine mungkin akan diam saja, tapi saya tidak rela." Bola mata Rafael memerah menahan amarah. Dia paling benci dengan orang yang gemar mengambil yang bukan miliknya.Tak berhenti pada benda saja, uang, kebahagiaan orang lain, apapun itu, Rafel tidak menyukainya. Sialnya, pria itu kini dihadapkan pada ibu mertuanya sendiri yang matre, gila shopping, suka hut
Rion menerima selembar kertas yang disodorkan Sandy padanya. "Ini valid?" Riondan Sandy berada di sebuah gudang yang meskipun tampak usang tapi bersih. "Aku mengikuti saran dokternya. Pemeriksaan dilakukan dan hasilnya ... begitu," sahut Sandy. Rion kembali menekuni kertas di tangannya. Setelahnya dia menggaruk kepalanya yang sejatinya tidak gatal. Saking tidak tahunya cara membaca tulisan dalam kertas tersebut."Intinya ya begitulah." Obrolan keduanya terjeda ketika seorang pria datang memberitahu sesuatu. Dua orang itu gegas memakai masker masing-masing. "Kapan dia datang?""Katanya otewe tadi." Keduanya lantas mengalihkan perhatiannya ke arah pintu, di mana dua pria membawa seorang pria yang matanya ditutup."Dia yang tanam saham?" Sandy bertanya sembari memindai lelaki yang baru saja didudukkan di kursi depan mereka. "Sepertinya begitu, kita tanya saja nanti kalau yang satunya datang. Katanya juga sudah ada di jalan." Sandy dan Rion kemudian menunggu penutup mata si pria dibuka