Rafael menerobos masuk sebuah rumah sakit terdekat. Leher Nadine yang berdarah-darah membuatnya panik bukan main. Belum lagi lebam terlihat di pipi kanan dan kiri Nadine. Pria itu menggeram marah, ingin rasanya menghajar balik Pram untuk membalas sakit yang Nadine rasakan.Namun sekarang yang penting keselamatan Nadine lebih dulu, dia takut luka tadi membahayakan nadi di leher sang istri. "Dokter! Tolong istri saya!" Teriakan Rafael menggelegar di tempat itu.Teman David hanya bengong melihat beberapa tenaga medis tergopoh-gopoh mendekati Rafael. Nadine segera diperiksa dengan Rafael mundur memberi ruang.Pria itu lekas mengambil ponsel, lalu menghubungi Rion. Pria itu awalnya tidak menjawab panggilan Rafael. Suami Nadine hampir memutus telepon ketika suara Rion terdengar."Aku hubungi lagi nanti. Sandy ngamuk, aku pun sebenarnya mau ngamuk juga. Tapi tidak ada kesempatan. Pram dibawa ke kantor polisi."Tut! Panggilan terputus membuat Rafael berdecak kesal. "Kenapa dibawa di kantor po
Dari semua yang terjadi dalam hidupnya. David hanya menyesali satu hal. Kenapa dia begitu mudah melepaskan Nadine karena bujukan Eva. Sekarang setelah perempuan itu tampak bahagia dengan pernikahannya, David merasa tidak rela.Harusnya dia yang menikahi perempuan itu, bukan seorang kurir yang berpenampilan kumal juga miskin. Namun hari ini David didera syok begitu hebat. Kala Sandy tanpa sengaja menyebut Nadine istri Rafael, sepupunya.Bagaimana bisa? Pertanyaan itu yang sejak setengah jam lalu berputar di kepala David. Bagaimana bisa juga dia sama sekali tidak mengenali sepupunya sendiri. Bodoh! David rasanya ingin mengeplak kepalanya sendiri. Ingin memaki kebrengsekan dan ketololannya. Sekarang dia ingin mencari kebenaran dari pernyataan Sandy. Meski secara tersirat, Rion dan Sandy membenarkan status itu.Hingga di sinilah dia, berada di depan adik sepupunya. Bertanya dengan debar jantung tak terkendali. Nasib baik mereka ada di rumah sakit, kalau dia sampai kena serangan jantung,
Ketika Rafael masuk ke ruangan Nadine, dilihatnya sang istri menjerit sembari mendorong siapa saja yang mendekat ke arahnya. Tak pelak aksinya itu kembali membuka jahitan di leher wanita tersebut. Luka yang Pram buat lumayan dalam dan panjang, hingga perlu dijahit. Bibir Nadine terus meracau, menyebut Pram pembunuh Melani, juga teriakan "jangan" yang membuat sfaf medis curiga kalau pria yang telah melukai Nadine sempat melakukan hal buruk.Rafael reflek mendekat, dia langsung memeluk sang istri. Awalnya Nadine berontak, tapi begitu Rafael bersuara serta aroma pria itu yang sangat Nadine kenali tercium olehnya, perempuan tersebut berangsur tenang. Nadine meringkuk dalam dekapan hangat Rafael yang terus mengucapkan kalimat "tidak apa-apa" pada sang istri."Dia yang bunuh Melani," gumam Nadine di sela isak tangis lirih yang masih terdengar."Iya, dia sudah di kantor polisi.""Aku takut, aku lihat dia pakai kalung yang sama." Nadine menenggelamkan wajahnya makin dalam di dada sang suami
"Tidak mungkin!" Teriak Paramita tidak terima. Bagaimana bisa Pram dapat bebas begitu mudah setelah semua yang pria itu lakukan. Membunuh Melani, membuat Reva keguguran, baru saja menculik Nadine, menganiaya. Bahkan Pram terlibat dalam kecelakaan Ravelio De Angelo enam tahun lalu."Tidak! Dia tidak boleh lolos! Kerahkan pengacara untuk menjeratnya. Mama tidak mau dia membahayakan nyawa keluargaku lagi!" Pinta Paramita pada Rion."Tenang Ma, tenang. Untuk kasus Nadine kita belum bisa mengekspose-nya. Kecuali Rafael siap untuk menunjukkan Nadine ke publik. Yang lain baru sekedar dugaan, kita memang belum mengumpulkan bukti yang kuat dan otentik untuk memenjarakannya. Tapi tenang saja Ma, kita bisa melakukan hukuman di luar penjara."Kalimat terakhir diucapkan Rion sambil berbisik di telinga sang mama mertua."Kalian mau main mafia-mafiaan?""Enggak, Tan. Kita mau main potong memotong." Sandy kembali membuat gerakan memotong menggunakan gunting."Awas saja kalau aneh-aneh.""Mumpung mas
Reva menyingkir ketika Nadine bangun. Perempuan itu sengaja memberi ruang pada sang kakak untuk bicara dengan istrinya. Begitu Reva keluar kamar. Rafael langsung naik ke atas kasur. Nadine sendiri tampak memindai kamar yang dia tempati. Sadar dia ada di mana."Untuk sementara kita numpang di sini. Tuan Atma mengizinkan, dia merasa bersalah, kamu begini karena ulah Pram. Kita juga tidak mungkin pulang, nanti ibu sama bapak heboh."Nadine terdiam, dipandangnya wajah sang suami yang sedang menggenggam tangannya. Tatapan Rafael penuh kecemasan."Siapa kamu sebenarnya? Kenapa Pak Pram nyebut kamu tuan muda?"Ada hening sesaat menyelimuti ruangan itu. Rafael sedang coba merangkai kata, memilahnya. Satu yang pasti, dia belum ingin membuka diri, setidaknya sampai luka dan kondisi psikis Nadine membaik. Dia tahu, waktunya makin dekat.Ditambah David yang sudah tahu status dirinya dan Nadine. Jelas terlihat jika pria itu masih berambisi ingin merebut Nadine darinya. Rafael cukup takut akan hal
"Ada sidik jari Melani di kalung yang ditemukan di TKP, ada bukti rekaman kamera CCTV dan percakapan saat Pram menyuruh seseorang memotong kabel rem mobil om Rio. Dan aku baru menemukan bukti rekaman kamera pengawas ada orang yang menyiramkan minyak ke lantai sebelum Reva lewat. Orang itu sudah diinterogasi dan nama Pram muncul sebagai bosnya," lapor Sandy."Dan untuk kejadian Nadine semua tergantung padamu. Kami dapat rekaman kamera pengawasnya komplit! Termasuk saat Sandy menembak Pram," tambah Rion.Untungnya Pram cuma terserempet peluru, Sandy yang asal menembak dan dikuasai emosi tidak bisa membidik target dengan tepat. Padahal kalau tepat sasaran, Pram bisa saja log out dari dunia, mengingat jarak tembak sangat dekat."Untuk Nadine aku tunggu waktu yang tepat untuk bicara. Nadine akan bertanya-tanya kenapa Pram menargetkannya. Pria itu tidak akan melukai jika Nadine bukan apa-apaku." Rafael memutuskan."Jadi dia sudah tahu kalau Nadine istrimu?""Itu pasti! Tapi kira-kira siapa
Nadine mengerjap pelan, sinar matahari menerobos tirai kelabu yang menutupi kamar. Perlahan dia menggerakkan tubuh. Hingga menyadari Rafael memeluknya dari belakang. Dia tidak tahu jika sang suami sempat meninggalkannya sebentar. "Raf, bangun. Di rumah orang, malu kalau bangun siang."Rafael tidak merespon pria itu hanya bergumam tidak jelas sebagai balasan atas ucapan Nadine. Rafael bahkan tidak membuka mata sama sekali, lelaki itu justru menenggelamkan wajahnya di punggung Nadine. "Malah balik tidur lagi. Bangun.""Bentar lagi, Nya. Masih ngantuk," Rafael melingkarkan tangannya di perut Nadine.Nadine menggertakkan gigi, ini kalau lehernya tidak sakit, dia pasti sudah "menganiaya" sang suami alias mengeplak Rafael supaya bangun. Mungkin love language Nadine untuk Rafael itu ya. Dikeplak, dicubit, sudah begitu korbannya cuma pasrah tanpa protes."Raf, lapar." Aha! Nadine menemukan ide cemerlang untuk membuat sang suami mau berpisah dari kasur yang ia akui super nyaman dan enak bua
Di tempat David, pria itu makin uring-uringan, pikirannya berkecamuk hebat. Dia jelas masih penasaran dengan perasaan Nadine pada Rafael. Pria itu berjalan mondar mandir tidak karuan di kamarnya. Hingga kemudian dia merasa perlu memastikan sesuatu.Hingga di sinilah David berada, berhadapan langsung dengan Hermawan. Pria itu tampak tenang ketika David bertanya soal siapa Rafael. Tidak terkejut sama sekali, seolah Hermawan sudah tahu semua."Bapak diam. Itu artinya bapak tahu siapa Rafael. Dan bapak tidak melakukan apa-apa?""Bapak harus melakukan apa?" kutip Hermawan. Pria itu justru membalikkan pertanyaan David. Ayah Nadine lantas menambahkan, "Bapak juga tahu dia sepupumu.""Apa bapak tahu kalau sekarang Nadine terluka, semua karena Rafael memiliki musuh. Nadine akan berada dalam bahaya jika terus bersamanya," David mulai memprovokasi.Hermawan mengulas senyum tipis. "Lalu dia pantasnya bersama siapa? Bersamamu?"David langsung kehilangan kata saat Hermawan bertanya demikian. "Bukan
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan