Nadine mengerjap pelan, sinar matahari menerobos tirai kelabu yang menutupi kamar. Perlahan dia menggerakkan tubuh. Hingga menyadari Rafael memeluknya dari belakang. Dia tidak tahu jika sang suami sempat meninggalkannya sebentar. "Raf, bangun. Di rumah orang, malu kalau bangun siang."Rafael tidak merespon pria itu hanya bergumam tidak jelas sebagai balasan atas ucapan Nadine. Rafael bahkan tidak membuka mata sama sekali, lelaki itu justru menenggelamkan wajahnya di punggung Nadine. "Malah balik tidur lagi. Bangun.""Bentar lagi, Nya. Masih ngantuk," Rafael melingkarkan tangannya di perut Nadine.Nadine menggertakkan gigi, ini kalau lehernya tidak sakit, dia pasti sudah "menganiaya" sang suami alias mengeplak Rafael supaya bangun. Mungkin love language Nadine untuk Rafael itu ya. Dikeplak, dicubit, sudah begitu korbannya cuma pasrah tanpa protes."Raf, lapar." Aha! Nadine menemukan ide cemerlang untuk membuat sang suami mau berpisah dari kasur yang ia akui super nyaman dan enak bua
Di tempat David, pria itu makin uring-uringan, pikirannya berkecamuk hebat. Dia jelas masih penasaran dengan perasaan Nadine pada Rafael. Pria itu berjalan mondar mandir tidak karuan di kamarnya. Hingga kemudian dia merasa perlu memastikan sesuatu.Hingga di sinilah David berada, berhadapan langsung dengan Hermawan. Pria itu tampak tenang ketika David bertanya soal siapa Rafael. Tidak terkejut sama sekali, seolah Hermawan sudah tahu semua."Bapak diam. Itu artinya bapak tahu siapa Rafael. Dan bapak tidak melakukan apa-apa?""Bapak harus melakukan apa?" kutip Hermawan. Pria itu justru membalikkan pertanyaan David. Ayah Nadine lantas menambahkan, "Bapak juga tahu dia sepupumu.""Apa bapak tahu kalau sekarang Nadine terluka, semua karena Rafael memiliki musuh. Nadine akan berada dalam bahaya jika terus bersamanya," David mulai memprovokasi.Hermawan mengulas senyum tipis. "Lalu dia pantasnya bersama siapa? Bersamamu?"David langsung kehilangan kata saat Hermawan bertanya demikian. "Bukan
Mega menatap pria tinggi besar di hadapannya. David brengsek, dia tahu itu. Mega tahu bagaimana sang teman dibuat menangis berhari-hari oleh David. Mega sebenarnya ingin menggetok kepala David dengan helm yang sedang dipegangnya, guna melampiaskan rasa marah yang masih bersarang di dada.Namun dia sedang tidak bisa melakukan hal itu. David adalah tiket untuk mendapatkan apa yang seharusnya jadi miliknya. Mega memerlukan David untuk mencapai tujuannya. Karena itu, Mega harus bertahan, apapun yang akan David lakukan atau katakan padanya, Mega hanya perlu mengabaikannya."Kau sungguh menjijikkan! Berapa yang ditawarkan kakekku? Aku bisa menggantinya tiga kali lipat."Mega menyunggingkan senyum tipis, sosoknya yang selalu lembut di depan pasien kini tampak berbeda di depan David. Untuk menghadapi David, dia tidak boleh lemah. David bisa melakukan apapun padanya. Mega yakin itu."Sayangnya yang akan kudapatkan dari pernikahan ini lebih dari sekedar uang.Tapi kehormatan dan harga diri."Taw
"Berhenti!" Teriakan Nadine berubah jadi ringisan ketika dua pria di hadapannya hampir beradu tinju.Rafael dan David ganti adu tatap. Sama sekali tidak ingin mengalah. Kali ini dua pria itu secara terang-terangan menunjukkan aura permusuhan yang kentara. "Masalah kalian belum selesai?""Jelas belum!" balas David. "Selama kau tidak bahagia dengannya, aku akan terus merebutmu darinya," lanjut David.Rafael hampir menerjang David ketika Nadine mengusap pelan dada sang suami. Perempuan itu mencoba meredam kemarahan Rafael. Aksi Nadine membuat David mencelos. Bahkan perempuan itu dulu jarang bersikap manis padanya. Namun dengan Rafael, Nadine bisa berlaku seperti barusan. David jadi emosi tinggi dibuatnya."Kenapa kau bilang aku tidak bahagia dengannya? Apa kamu pernah melihat aku susah saat bersama suamiku?" Tantang Nadine, perempuan itu maju mendekati David. Nyeri di leher masih terasa tapi dia tidak mau terus-terusan jadi bahan rebutan dua pria yang nyata sudah dia tentukan mana pilih
Kepulangan Nadine disambut antusiasme tingkat tinggi oleh Heni dan Sita. Mereka pulang waktu Sita sedang off di rumah. Jadi perempuan itu langsung memberondong Nadine dengan pertanyaan, "Mau program punya anak ya?"Lah? Rafael dan Nadine saling pandang. Bagaimana mau program jika ngadon saja tidak sempat. Rafael mana berani menyentuh sang istri mana kala kondisi Nadine memar sana sini dengan leher tidak leluasa bergerak.Bukan bayi yang mereka dapat, bisa jadi Nadine makin babak belur. Ingat, Rafael mode engas macam banteng habis sunat, un-stop-able. Padahal Rafael memang ingin sekali main di sana. Privasi sangat terjaga, sebab tidak akan ada yang berani mengusik tuan rumah. Ditambah kamar di rumah Rafael sound proof alias kedap suara. Bisa bebaslah Rafael membuat sang istri menjerit sekencang-kencangnya. Tapi apa mau dikata, situasi dan kondisi sangat tidak memungkinkan."Kalian ini sudah hampir setahun menikah, tapi belum juga punya anak. Masih kurang ya pacaran setelah nikah?""Ma
"Hayoloh, kalian ngobrolin apa?"Rafael dan Hermawan tersentak mendengar suara Heni muncul dari dalam. Dua pria itu saling pandang. Cemas, andai Heni mendengar percakapan mereka. Banyak hal penting yang Rafael reveal tadi."Lagi diskusi masalah Sandy, kapan dia mau lamar Sita secara resmi," sambar Rafael."Nah betul itu. Bisa kau tanyakan pada sohibmu itu. Tiap hari antar jemput, tapi status masih calon, belum pasti. Ibu gak mau kejadian Nadine terulang lagi. Tetangga sudah banyak yang komen nanti jangan-jangan seperti anak Pak Jumari?"Rafael bungkam mendengar balasan sang mama mertua yang dua kali lipat panjangnya dibanding ucapannya sendiri."Kenapa emangnya si Rasti?" Hermawan bertanya."Kelamaan gak dinikahin, eh kata bu Heri itu anak sudah melendung aja empat bulan.""Lah salah siapa? Bukannya calonnya Rasti sudah berulang kali minta dinikahkan, tapi pak Jumarinya aja yang bilang nanti-nanti. Mau bikin hajatan gede. Keburu gede beneran dah perut anaknya."Rafael meringis ngilu,
Rafael berusaha tenang ketika Arya berjalan ke arahnya. Dia tidak yakin bisa menipu ayahnya sendiri, sama seperti ketika dia berusaha mengelabui Paramita. "Kau suami Nadine? Siapa namamu?" tanya Arya tanpa basa basi.Pria itu memindai tampilan pemuda di depannya. Celana jeans biasa, kaos juga jaket, ditambah sandal jepit khas rakyat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sandal sejuta umat, meski salah satu, dan salah dua idol Korea pernah tertangkap kamera memakainya di bandara usai konser di negeri ini."Rafael," jawab Rafael singkat. "Hanya itu?" Arya makin mendesak."Iya. Apa yang sebenarnya Anda inginkan?""Aku sedang ingin membuktikan sesuatu.""Apa Anda sudah mendapatkan bukti itu?" tantang Rafael."Aku belum sepenuhnya yakin." Mata Arya menyorot cincin yang Rafael kenakan ketika pria itu melepas helmnya. Satu benda yang bisa dia gunakan untuk tracking."Jika hal itu tidak berguna lebih baik lupakan saja. Apa untungnya bagi Anda dengan terus melakukan itu. Beberapa warga m
Pertanyaan Rafael mengusik pikiran Nadine beberapa hari kemudian. Di sela pekerjaan, maupun saat dia sedang punya kesibukan lain. Harus ya jatuh cinta dulu baru punya anak? Penting sekalikah rasa bernama cinta itu?Nadine memijat pelipisnya yang tiba-tiba berputar karena satu kata berjuluk cinta. Sampai panggilan dari Mega dan seorang staf butik tempat mereka fitting gaun pengantin untuk sang teman tidak Nadine hiraukan.Iya, saat ini Nadine sedang menemani Mega memilih gaun untuk pernikahan gadis itu. Pernikahan yang rencananya akan digelar akhir minggu ini. Tadinya Mega hanya ingin pakai gamis biasa, tapi Dewi tidak setuju. Bagaimanapun pernikahan ini acara spesial. Dewi ingin memberikan sesuatu yang berkesan untuk sang menantu, meski pernikahan mereka akan digelar tertutup. Hanya keluarga terdekat yang diundang."Nadine Ameera!" Nadine tersentak gelagapan menanggapi panggilan Mega yang super kencang. "Astaga, kalah toa masjid komplek rumahku."Mega mendelik pada istri Rafael. "Ba