"Kenapa lagi?" Mega bertanya ketika David dan Eva sudah pergi. Pria itu tidak jadi fitting, yang penting ada baju yang dia pakai itu sudah cukup."Memangnya pasangan perlu ya saling mencintai jika ingin punya anak?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Nadine."Lah masih muter masalah itu to?" Nadine merengut. "Aku minta jawaban plus pertimbangan bukan ditanya balik."Mega menghela napas. Perempuan itu baru menyelesaikan acara fittingnya, tidak banyak perubahan yang Mega minta, sebab dia bukan tipe yang ribet. Asal tidak ketat, bisa menutup aurat itu sudah cukup bagi Mega."Urusan anak bukan menyangkut satu orang. Tapi dua orang. Kalian harus sadar kalau punya anak perlu komitmen juga tanggung jawab dari dua belah pihak. Seperti cara menghadirkan mereka ke dunia. Dari kalian berdua kan, jadi waktu mereka ada, mereka perlu kehadiran orang tuanya, dua ortunya, tidak cuma satu.""Muter-muter!" protes Nadine."Intinya mau punya anak itu harus kesepakatan dua pihak, istri dan su
Seperti yang Hermawan bilang, dan harusnya Rafael lebih jeli untuk mencermati situasi. Kebohongan tetap jadi hal yang tidak disukai perempuan. Tidak peduli alasan apa yang mendasari seseorang untuk berbohong.Reaksi pertama korban pasti marah. Bodo amat dengan urusan di belakang, yang jelas perasaan itu yang menyergap Nadine begitu David menyebut Rafael sepupunya. Wanita cantik bergaun biru langit senada dengan pakaian Rafael langsung berbalik menghadapi sang suami.Bukan sekali dua, Nadine mencurigai Rafael punya identitas ganda. Namun jadi anggota keluarga De Angelo bahkan pewaris utamanya tetap tidak terbersit dalam benak Nadine. Jika semua orang tampak biasa saja karena ucapan David, maka hanya Nadine, Sita, Mega, Rionald juga Arya yang syok berat mendengar penuturan David."Aku tunggu ucapan terima kasihnya." David lantas duduk di kursinya, balas menatap Rafael yang tampak mengepalkan tangan menahan murka. David duduk seolah sedang menonton pertunjukkan."Jelaskan," tuntut Nadin
Nadine duduk memeluk lutut, sendirian di atas kasur kamarnya. Dia baru selesai menangis untuk kemudian dilanjut dengan melamun. Dia diantar oleh Rafael lebih dulu menggunakan salah satu koleksi mobil mewah yang terparkir di basement rumah megah sang suami.Setelahnya Rafael pamit kembali ke Blue Paradise, ada hal yang harus dia selesaikan. Namun lelaki itu berjanji akan pulang. Nadine tetap saja menangis, rasanya tetap ingin marah karena dibohongi.Kenapa juga Rafael tidak jujur sedari awal. Pria itu justru memilih menyembunyikan identitasnya dari Nadine dan keluarganya. Membiarkan dirinya dihina dan dimaki oleh ibu dan adiknya. So, setelah lebih dari dua jam menangis lanjut melamun, Nadine justru mendapati dirinya emosi bukan karena Rafael bohong padanya. Namun lebih kepada tidak terima, karena kebohongannya, Rafael sampai dicaci seantero komplek dan kantor waktu itu."Coba kalau dari awal dia bilang dia tajir. Kagak bakalan itu emak gue sama Sita nyinyirin dia. Setidaknya duitnya b
"I-ini?" Heni kehilangan kata melihat banyaknya paper bag juga barang-barang yang dikemas cantik dalam kotak berhias pita dan bunga. Sandy dan Rion terlihat masih hilir mudik membawa barang yang entah apa isinya.Semua benda itu memenuhi ruang tengah keluarga Hermawan. "Ka-kalian siapa?"Heni bertanya ulang, mencoba berdiri tegak di tengah gempuran rasa ingin pingsan. Setelah sang tamu memperkenalkan diri sebagai keluarga Rafael.Kurir itu punya keluarga yang dari tampilannya saja sudah terlihat berkelas, meski masih tergolong sederhana untuk level keluarga De Angelo."Maaf sebelumnya jika kedatangan mengejutkan keluarga bapak dan ibu. Tidak memberitahu lebih dulu. Tapi saya, kami pikir ini waktu yang tepat untuk kami muncul, memperkenalkan diri sebagai keluarga menantu bapak dan ibu, Rafael." Atma membuka sesi perkenalan keluarga. Pria itu duduk di sofa berdampingan dengan Paramita dan Arya yang seketika membuat Heni memicingkan mata. Dia tentu tidak lupa dengan pria perlente yang di
"Lima kali." Sandy terkikik melihat bagaimana Heni jatuh bangun dari pingsannya. Perempuan itu syok level akut setelah diberi surprise luar biasa oleh keluarga sang mantu. Rafael betulan orang kaya, bukan kurir tapi yang punya perusahaan ekspedisi."Lunas ya, Nak?" Hermawan ikut terkekeh geli melihat sang istri sekarang melirik takut-takut pada Rafael.Pun dengan Sita. Adik Nadine mendadak diam seribu bahasa saat berada di dekat Rafael. Wanita itu tentu mengetahui kalau sosok Rafael saat ini lebih menakutkan dari mafia manapun yang pernah dia baca di novel online."Adik iparmu malah lebih parah, dia nganggap kamu mafia." Sandy kembali terbahak kali ini disambut gelengan kepala Hermawan.Keluarga Rafael sudah pulang sejak sepuluh menit yang lalu setelah Heni pingsan lima kali. Meninggalkan tumpukan hadiah untuk Nadine dan keluarganya. Benda yang tertata rapi di lantai juga meja ruang makan dan ruang tengah.Ada beberapa benda yang dikhususkan untuk Nadine sebagai hadiah pernikahan yan
Bohong jika Nadine tak tersentuh dengan ucapan Rafael barusan. Pria itu memang cenderung act of service dibanding mengumbar word affirmation di merata tempat. Separah apapun kelakuan Nadine di awal pernikahan mereka, pria itu tak pernah protes, tidak pernah marah.Padahal harusnya Rafael yang rugi dengan pernikahan dadakan mereka. Mustinya Nadine berterima kasih pada Rafael karena sudah menyelamatkan kehormatan dan nama baik keluarganya. Jika tidak ada Rafael, Nadine dan keluarganya sudah pasti jadi bahan gunjingan warga sekomplek."Mau ikut gak?""Gak!" balas Nadine judes ketika Rafael memakai jaket juga meraih kunci di atas meja. Helaan napas terdengar. Inilah sisi lain seorang Nadine yang harus Rafael hadapi.Rafael mulai menunjukkan siapa dirinya. Sebuah Audi R8 terparkir di belakang mobil Nadine. Tampak seperti mobil sedan biasa, tapi siapa sangka jika harga benda berwarna hitam legam itu sangat fantastis."Aku pulang ke Blue Paradise sebentar. Kakek ingin bicara. Nanti aku pulan
Hari pertama bekerja setelah Nadine tahu siapa dirinya. Perempuan itu masih memasang tampang kesal meski sempat membantu Rafael berpakaian. Perempuan itu protes ketika Rafael minta untuk memilihkan pakaian untuk ke kantor."Aku gak pandai, nanti malah nabrak warnanya," kilah Nadine. Dia sendiri telah siap dengan blus coklatnya."Biarpun warnanya nabrak kiri kanan, aku bakalan pakai kalau itu kamu yang pilih."Rafael duduk di tepi ranjang mengenakan celana pendek, juga kaos kutang. Mengamati Nadine yang menyemprotkan parfum ke tubuhnya."Nanti kamu diketawain satu kantor," Nadine memberi alasan."Ayolah, sudah lama aku nunggu. Dingin tahu."Nadine menoleh lantas mengambil remot AC, menaikkan suhunya jadi dua puluh derajat. "Panas, Nya.""Ke kutub kalau mau adem.""Ayukkk, kata Rion kamu pengen ke Swiss.""Ehem, dalam mimpi tapi." Eh? Nadine kaget ketika Rafael memeluknya dari belakang, pria itu juga meletakkan dagu di bahu Nadine."Tulung, bajuku kusut lagi nanti.""Ganti lagi. Aku s
"Gitu pulak. Emang agak lain istrimu." "Kalau yang lain sudah bingung konfirmasi buat dapat validasi dari para netijrong. Eh, istrimu minta statusnya dirahasiakan. Betah berapa lama?"Rafael mengedikkan bahu dengan tangan dan mata fokus pada pekerjaannya. Tidak terlalu peduli pada ocehan dua aspri-nya."Yang jelas karena dia masih belajar menerima siapa elu.""Bisa jadi. Dia saja berlagak tak kenal sama kamu tadi.""Biarkan saja. Asal dia tidak minta pisah. Tapi aku juga tidak bisa lama-lama sembunyikan status kami. Satu dua hari akan kuturuti. Tapi setelah itu, lihat saja. Mungkin aku perlu konferensi pers untuk mengumumkan pernikahan kami."Sandy dan Rafael mengangguk setuju dengan ide Rafael. Maka hari itu semua berjalan normal. Rafael dan Nadine memang berangkat bersama-sama, tapi Nadine tidak turun di lobi bareng Rafael. "Besok temani aku bertemu tuan Chen. Sekalian kita jalan."Nadine tidak menjawab, jemarinya sibuk menari di atas keyboard laptop milik Rafael. Pria itu memang