Di tempat David, pria itu makin uring-uringan, pikirannya berkecamuk hebat. Dia jelas masih penasaran dengan perasaan Nadine pada Rafael. Pria itu berjalan mondar mandir tidak karuan di kamarnya. Hingga kemudian dia merasa perlu memastikan sesuatu.Hingga di sinilah David berada, berhadapan langsung dengan Hermawan. Pria itu tampak tenang ketika David bertanya soal siapa Rafael. Tidak terkejut sama sekali, seolah Hermawan sudah tahu semua."Bapak diam. Itu artinya bapak tahu siapa Rafael. Dan bapak tidak melakukan apa-apa?""Bapak harus melakukan apa?" kutip Hermawan. Pria itu justru membalikkan pertanyaan David. Ayah Nadine lantas menambahkan, "Bapak juga tahu dia sepupumu.""Apa bapak tahu kalau sekarang Nadine terluka, semua karena Rafael memiliki musuh. Nadine akan berada dalam bahaya jika terus bersamanya," David mulai memprovokasi.Hermawan mengulas senyum tipis. "Lalu dia pantasnya bersama siapa? Bersamamu?"David langsung kehilangan kata saat Hermawan bertanya demikian. "Bukan
Mega menatap pria tinggi besar di hadapannya. David brengsek, dia tahu itu. Mega tahu bagaimana sang teman dibuat menangis berhari-hari oleh David. Mega sebenarnya ingin menggetok kepala David dengan helm yang sedang dipegangnya, guna melampiaskan rasa marah yang masih bersarang di dada.Namun dia sedang tidak bisa melakukan hal itu. David adalah tiket untuk mendapatkan apa yang seharusnya jadi miliknya. Mega memerlukan David untuk mencapai tujuannya. Karena itu, Mega harus bertahan, apapun yang akan David lakukan atau katakan padanya, Mega hanya perlu mengabaikannya."Kau sungguh menjijikkan! Berapa yang ditawarkan kakekku? Aku bisa menggantinya tiga kali lipat."Mega menyunggingkan senyum tipis, sosoknya yang selalu lembut di depan pasien kini tampak berbeda di depan David. Untuk menghadapi David, dia tidak boleh lemah. David bisa melakukan apapun padanya. Mega yakin itu."Sayangnya yang akan kudapatkan dari pernikahan ini lebih dari sekedar uang.Tapi kehormatan dan harga diri."Taw
"Berhenti!" Teriakan Nadine berubah jadi ringisan ketika dua pria di hadapannya hampir beradu tinju.Rafael dan David ganti adu tatap. Sama sekali tidak ingin mengalah. Kali ini dua pria itu secara terang-terangan menunjukkan aura permusuhan yang kentara. "Masalah kalian belum selesai?""Jelas belum!" balas David. "Selama kau tidak bahagia dengannya, aku akan terus merebutmu darinya," lanjut David.Rafael hampir menerjang David ketika Nadine mengusap pelan dada sang suami. Perempuan itu mencoba meredam kemarahan Rafael. Aksi Nadine membuat David mencelos. Bahkan perempuan itu dulu jarang bersikap manis padanya. Namun dengan Rafael, Nadine bisa berlaku seperti barusan. David jadi emosi tinggi dibuatnya."Kenapa kau bilang aku tidak bahagia dengannya? Apa kamu pernah melihat aku susah saat bersama suamiku?" Tantang Nadine, perempuan itu maju mendekati David. Nyeri di leher masih terasa tapi dia tidak mau terus-terusan jadi bahan rebutan dua pria yang nyata sudah dia tentukan mana pilih
Kepulangan Nadine disambut antusiasme tingkat tinggi oleh Heni dan Sita. Mereka pulang waktu Sita sedang off di rumah. Jadi perempuan itu langsung memberondong Nadine dengan pertanyaan, "Mau program punya anak ya?"Lah? Rafael dan Nadine saling pandang. Bagaimana mau program jika ngadon saja tidak sempat. Rafael mana berani menyentuh sang istri mana kala kondisi Nadine memar sana sini dengan leher tidak leluasa bergerak.Bukan bayi yang mereka dapat, bisa jadi Nadine makin babak belur. Ingat, Rafael mode engas macam banteng habis sunat, un-stop-able. Padahal Rafael memang ingin sekali main di sana. Privasi sangat terjaga, sebab tidak akan ada yang berani mengusik tuan rumah. Ditambah kamar di rumah Rafael sound proof alias kedap suara. Bisa bebaslah Rafael membuat sang istri menjerit sekencang-kencangnya. Tapi apa mau dikata, situasi dan kondisi sangat tidak memungkinkan."Kalian ini sudah hampir setahun menikah, tapi belum juga punya anak. Masih kurang ya pacaran setelah nikah?""Ma
"Hayoloh, kalian ngobrolin apa?"Rafael dan Hermawan tersentak mendengar suara Heni muncul dari dalam. Dua pria itu saling pandang. Cemas, andai Heni mendengar percakapan mereka. Banyak hal penting yang Rafael reveal tadi."Lagi diskusi masalah Sandy, kapan dia mau lamar Sita secara resmi," sambar Rafael."Nah betul itu. Bisa kau tanyakan pada sohibmu itu. Tiap hari antar jemput, tapi status masih calon, belum pasti. Ibu gak mau kejadian Nadine terulang lagi. Tetangga sudah banyak yang komen nanti jangan-jangan seperti anak Pak Jumari?"Rafael bungkam mendengar balasan sang mama mertua yang dua kali lipat panjangnya dibanding ucapannya sendiri."Kenapa emangnya si Rasti?" Hermawan bertanya."Kelamaan gak dinikahin, eh kata bu Heri itu anak sudah melendung aja empat bulan.""Lah salah siapa? Bukannya calonnya Rasti sudah berulang kali minta dinikahkan, tapi pak Jumarinya aja yang bilang nanti-nanti. Mau bikin hajatan gede. Keburu gede beneran dah perut anaknya."Rafael meringis ngilu,
Rafael berusaha tenang ketika Arya berjalan ke arahnya. Dia tidak yakin bisa menipu ayahnya sendiri, sama seperti ketika dia berusaha mengelabui Paramita. "Kau suami Nadine? Siapa namamu?" tanya Arya tanpa basa basi.Pria itu memindai tampilan pemuda di depannya. Celana jeans biasa, kaos juga jaket, ditambah sandal jepit khas rakyat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sandal sejuta umat, meski salah satu, dan salah dua idol Korea pernah tertangkap kamera memakainya di bandara usai konser di negeri ini."Rafael," jawab Rafael singkat. "Hanya itu?" Arya makin mendesak."Iya. Apa yang sebenarnya Anda inginkan?""Aku sedang ingin membuktikan sesuatu.""Apa Anda sudah mendapatkan bukti itu?" tantang Rafael."Aku belum sepenuhnya yakin." Mata Arya menyorot cincin yang Rafael kenakan ketika pria itu melepas helmnya. Satu benda yang bisa dia gunakan untuk tracking."Jika hal itu tidak berguna lebih baik lupakan saja. Apa untungnya bagi Anda dengan terus melakukan itu. Beberapa warga m
Pertanyaan Rafael mengusik pikiran Nadine beberapa hari kemudian. Di sela pekerjaan, maupun saat dia sedang punya kesibukan lain. Harus ya jatuh cinta dulu baru punya anak? Penting sekalikah rasa bernama cinta itu?Nadine memijat pelipisnya yang tiba-tiba berputar karena satu kata berjuluk cinta. Sampai panggilan dari Mega dan seorang staf butik tempat mereka fitting gaun pengantin untuk sang teman tidak Nadine hiraukan.Iya, saat ini Nadine sedang menemani Mega memilih gaun untuk pernikahan gadis itu. Pernikahan yang rencananya akan digelar akhir minggu ini. Tadinya Mega hanya ingin pakai gamis biasa, tapi Dewi tidak setuju. Bagaimanapun pernikahan ini acara spesial. Dewi ingin memberikan sesuatu yang berkesan untuk sang menantu, meski pernikahan mereka akan digelar tertutup. Hanya keluarga terdekat yang diundang."Nadine Ameera!" Nadine tersentak gelagapan menanggapi panggilan Mega yang super kencang. "Astaga, kalah toa masjid komplek rumahku."Mega mendelik pada istri Rafael. "Ba
"Kenapa lagi?" Mega bertanya ketika David dan Eva sudah pergi. Pria itu tidak jadi fitting, yang penting ada baju yang dia pakai itu sudah cukup."Memangnya pasangan perlu ya saling mencintai jika ingin punya anak?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Nadine."Lah masih muter masalah itu to?" Nadine merengut. "Aku minta jawaban plus pertimbangan bukan ditanya balik."Mega menghela napas. Perempuan itu baru menyelesaikan acara fittingnya, tidak banyak perubahan yang Mega minta, sebab dia bukan tipe yang ribet. Asal tidak ketat, bisa menutup aurat itu sudah cukup bagi Mega."Urusan anak bukan menyangkut satu orang. Tapi dua orang. Kalian harus sadar kalau punya anak perlu komitmen juga tanggung jawab dari dua belah pihak. Seperti cara menghadirkan mereka ke dunia. Dari kalian berdua kan, jadi waktu mereka ada, mereka perlu kehadiran orang tuanya, dua ortunya, tidak cuma satu.""Muter-muter!" protes Nadine."Intinya mau punya anak itu harus kesepakatan dua pihak, istri dan su
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan