Ketika Rafael masuk ke ruangan Nadine, dilihatnya sang istri menjerit sembari mendorong siapa saja yang mendekat ke arahnya. Tak pelak aksinya itu kembali membuka jahitan di leher wanita tersebut. Luka yang Pram buat lumayan dalam dan panjang, hingga perlu dijahit. Bibir Nadine terus meracau, menyebut Pram pembunuh Melani, juga teriakan "jangan" yang membuat sfaf medis curiga kalau pria yang telah melukai Nadine sempat melakukan hal buruk.Rafael reflek mendekat, dia langsung memeluk sang istri. Awalnya Nadine berontak, tapi begitu Rafael bersuara serta aroma pria itu yang sangat Nadine kenali tercium olehnya, perempuan tersebut berangsur tenang. Nadine meringkuk dalam dekapan hangat Rafael yang terus mengucapkan kalimat "tidak apa-apa" pada sang istri."Dia yang bunuh Melani," gumam Nadine di sela isak tangis lirih yang masih terdengar."Iya, dia sudah di kantor polisi.""Aku takut, aku lihat dia pakai kalung yang sama." Nadine menenggelamkan wajahnya makin dalam di dada sang suami
"Tidak mungkin!" Teriak Paramita tidak terima. Bagaimana bisa Pram dapat bebas begitu mudah setelah semua yang pria itu lakukan. Membunuh Melani, membuat Reva keguguran, baru saja menculik Nadine, menganiaya. Bahkan Pram terlibat dalam kecelakaan Ravelio De Angelo enam tahun lalu."Tidak! Dia tidak boleh lolos! Kerahkan pengacara untuk menjeratnya. Mama tidak mau dia membahayakan nyawa keluargaku lagi!" Pinta Paramita pada Rion."Tenang Ma, tenang. Untuk kasus Nadine kita belum bisa mengekspose-nya. Kecuali Rafael siap untuk menunjukkan Nadine ke publik. Yang lain baru sekedar dugaan, kita memang belum mengumpulkan bukti yang kuat dan otentik untuk memenjarakannya. Tapi tenang saja Ma, kita bisa melakukan hukuman di luar penjara."Kalimat terakhir diucapkan Rion sambil berbisik di telinga sang mama mertua."Kalian mau main mafia-mafiaan?""Enggak, Tan. Kita mau main potong memotong." Sandy kembali membuat gerakan memotong menggunakan gunting."Awas saja kalau aneh-aneh.""Mumpung mas
Reva menyingkir ketika Nadine bangun. Perempuan itu sengaja memberi ruang pada sang kakak untuk bicara dengan istrinya. Begitu Reva keluar kamar. Rafael langsung naik ke atas kasur. Nadine sendiri tampak memindai kamar yang dia tempati. Sadar dia ada di mana."Untuk sementara kita numpang di sini. Tuan Atma mengizinkan, dia merasa bersalah, kamu begini karena ulah Pram. Kita juga tidak mungkin pulang, nanti ibu sama bapak heboh."Nadine terdiam, dipandangnya wajah sang suami yang sedang menggenggam tangannya. Tatapan Rafael penuh kecemasan."Siapa kamu sebenarnya? Kenapa Pak Pram nyebut kamu tuan muda?"Ada hening sesaat menyelimuti ruangan itu. Rafael sedang coba merangkai kata, memilahnya. Satu yang pasti, dia belum ingin membuka diri, setidaknya sampai luka dan kondisi psikis Nadine membaik. Dia tahu, waktunya makin dekat.Ditambah David yang sudah tahu status dirinya dan Nadine. Jelas terlihat jika pria itu masih berambisi ingin merebut Nadine darinya. Rafael cukup takut akan hal
"Ada sidik jari Melani di kalung yang ditemukan di TKP, ada bukti rekaman kamera CCTV dan percakapan saat Pram menyuruh seseorang memotong kabel rem mobil om Rio. Dan aku baru menemukan bukti rekaman kamera pengawas ada orang yang menyiramkan minyak ke lantai sebelum Reva lewat. Orang itu sudah diinterogasi dan nama Pram muncul sebagai bosnya," lapor Sandy."Dan untuk kejadian Nadine semua tergantung padamu. Kami dapat rekaman kamera pengawasnya komplit! Termasuk saat Sandy menembak Pram," tambah Rion.Untungnya Pram cuma terserempet peluru, Sandy yang asal menembak dan dikuasai emosi tidak bisa membidik target dengan tepat. Padahal kalau tepat sasaran, Pram bisa saja log out dari dunia, mengingat jarak tembak sangat dekat."Untuk Nadine aku tunggu waktu yang tepat untuk bicara. Nadine akan bertanya-tanya kenapa Pram menargetkannya. Pria itu tidak akan melukai jika Nadine bukan apa-apaku." Rafael memutuskan."Jadi dia sudah tahu kalau Nadine istrimu?""Itu pasti! Tapi kira-kira siapa
Nadine mengerjap pelan, sinar matahari menerobos tirai kelabu yang menutupi kamar. Perlahan dia menggerakkan tubuh. Hingga menyadari Rafael memeluknya dari belakang. Dia tidak tahu jika sang suami sempat meninggalkannya sebentar. "Raf, bangun. Di rumah orang, malu kalau bangun siang."Rafael tidak merespon pria itu hanya bergumam tidak jelas sebagai balasan atas ucapan Nadine. Rafael bahkan tidak membuka mata sama sekali, lelaki itu justru menenggelamkan wajahnya di punggung Nadine. "Malah balik tidur lagi. Bangun.""Bentar lagi, Nya. Masih ngantuk," Rafael melingkarkan tangannya di perut Nadine.Nadine menggertakkan gigi, ini kalau lehernya tidak sakit, dia pasti sudah "menganiaya" sang suami alias mengeplak Rafael supaya bangun. Mungkin love language Nadine untuk Rafael itu ya. Dikeplak, dicubit, sudah begitu korbannya cuma pasrah tanpa protes."Raf, lapar." Aha! Nadine menemukan ide cemerlang untuk membuat sang suami mau berpisah dari kasur yang ia akui super nyaman dan enak bua
Di tempat David, pria itu makin uring-uringan, pikirannya berkecamuk hebat. Dia jelas masih penasaran dengan perasaan Nadine pada Rafael. Pria itu berjalan mondar mandir tidak karuan di kamarnya. Hingga kemudian dia merasa perlu memastikan sesuatu.Hingga di sinilah David berada, berhadapan langsung dengan Hermawan. Pria itu tampak tenang ketika David bertanya soal siapa Rafael. Tidak terkejut sama sekali, seolah Hermawan sudah tahu semua."Bapak diam. Itu artinya bapak tahu siapa Rafael. Dan bapak tidak melakukan apa-apa?""Bapak harus melakukan apa?" kutip Hermawan. Pria itu justru membalikkan pertanyaan David. Ayah Nadine lantas menambahkan, "Bapak juga tahu dia sepupumu.""Apa bapak tahu kalau sekarang Nadine terluka, semua karena Rafael memiliki musuh. Nadine akan berada dalam bahaya jika terus bersamanya," David mulai memprovokasi.Hermawan mengulas senyum tipis. "Lalu dia pantasnya bersama siapa? Bersamamu?"David langsung kehilangan kata saat Hermawan bertanya demikian. "Bukan
Mega menatap pria tinggi besar di hadapannya. David brengsek, dia tahu itu. Mega tahu bagaimana sang teman dibuat menangis berhari-hari oleh David. Mega sebenarnya ingin menggetok kepala David dengan helm yang sedang dipegangnya, guna melampiaskan rasa marah yang masih bersarang di dada.Namun dia sedang tidak bisa melakukan hal itu. David adalah tiket untuk mendapatkan apa yang seharusnya jadi miliknya. Mega memerlukan David untuk mencapai tujuannya. Karena itu, Mega harus bertahan, apapun yang akan David lakukan atau katakan padanya, Mega hanya perlu mengabaikannya."Kau sungguh menjijikkan! Berapa yang ditawarkan kakekku? Aku bisa menggantinya tiga kali lipat."Mega menyunggingkan senyum tipis, sosoknya yang selalu lembut di depan pasien kini tampak berbeda di depan David. Untuk menghadapi David, dia tidak boleh lemah. David bisa melakukan apapun padanya. Mega yakin itu."Sayangnya yang akan kudapatkan dari pernikahan ini lebih dari sekedar uang.Tapi kehormatan dan harga diri."Taw
"Berhenti!" Teriakan Nadine berubah jadi ringisan ketika dua pria di hadapannya hampir beradu tinju.Rafael dan David ganti adu tatap. Sama sekali tidak ingin mengalah. Kali ini dua pria itu secara terang-terangan menunjukkan aura permusuhan yang kentara. "Masalah kalian belum selesai?""Jelas belum!" balas David. "Selama kau tidak bahagia dengannya, aku akan terus merebutmu darinya," lanjut David.Rafael hampir menerjang David ketika Nadine mengusap pelan dada sang suami. Perempuan itu mencoba meredam kemarahan Rafael. Aksi Nadine membuat David mencelos. Bahkan perempuan itu dulu jarang bersikap manis padanya. Namun dengan Rafael, Nadine bisa berlaku seperti barusan. David jadi emosi tinggi dibuatnya."Kenapa kau bilang aku tidak bahagia dengannya? Apa kamu pernah melihat aku susah saat bersama suamiku?" Tantang Nadine, perempuan itu maju mendekati David. Nyeri di leher masih terasa tapi dia tidak mau terus-terusan jadi bahan rebutan dua pria yang nyata sudah dia tentukan mana pilih