Rionald mengerang kesakitan, dia tidak menyangka Nadine yang ramping punya tenaga kuat. Tubuh besar Rionald yang sebelas dua belas Rafael, berhasil Nadine piting. Dua tangan Rionald Nadine telikung di belakang punggung lelaki itu."Jangan pikir saya tidak akan melawan jika Anda coba melecehkan saya!""Kau akan dipecat karena kelakuanmu!""Oho masa? Dengan senang hati saya akan menerimanya. Jika itu terjadi maka pemimpin perusahaan ini buta matanya. Hingga dia tidak bisa melihat kejahatan terjadi di depan hidungnya!"Rafael seketika mengulas senyum, dia disebut buta oleh istrinya sendiri. Bersamaan dengan itu suara teriakan syok terdengar. "Astaga, apa yang dia lakukan?"Bukannya menanyakan kenapa Nadine memiting Rionald, Paramita justru bertanya kenapa Rionald sampai diperlakukan seperti itu. "Mita, tolong aku! Stafmu kurang ajar padaku!""Bukannya terbalik?" Cibir Paramita, terlihat puas melihat wajah sang kakak tampak menderita.Terdengar decakan kesal dari Rionald, tampak kesakita
Rafael sedang menunggu Nadine di lobi kantor ketika sebuah pesan dari Sandy masuk. Lelaki itu berhasil mengesan transaksi pembelian satu apartemen di sebuah kawasan elit ibu kota yang dilakukan oleh Ravelio De Angelo, menggunakan nama orang lain. Sandy sukses melacaknya setelah menelusuri aliran dana Lio. Bagi Rafael dan Sandy, tidak sulit untuk menerobos masuk tanpa ketahuan. Karena itulah, Rafael langsung menyerbu ke tempat ini. Tanpa tahu istrinya yang sedang cemburu membuntuti.Rafael sampai di depan gedung apartemen Lio dengan Nadine gegas mengikuti. Rafael sendiri tidak sadar, dia masih berbalas pesan dengan Sandy. Yang dalam pikiran Nadine, Rafael pasti sedang menghubungi Melani.Perempuan itu terbakar amarah, dalam benak Nadine sudah tersusun skenario penjambakan ala drama penggerebekan pasangan selingkuh seperti yang ada di tivi-tivi. Meski setelahnya Nadine bergumam sendiri, "Idih tidak elit. Masak cakar-cakaran. No ... no ... balas dendam harus dengan cara yang elegan. Tun
Tubuh Rafael ambruk setelah disapu gelombang klimaks dahsyat. Pun dengan Nadine, wanita itu terengah usai Rafael meledak di dalam dirinya. Bersamaan dengan dia yang juga mendapat puncaknya. Rafael masih sempat mencium bibir sang istri sebelum membawa Nadine dalam pelukannya.Nadine tidak melawan, tubuhnya lemas setelah beberapa kali mendapat pelepasan. Satu banding tiga, gila! Rafael tidak pernah bercinta dengan Melani, dan stamina pria itu tetap membuat Nadine geleng-geleng kepala. Nadine pikir Rafael akan selesai cepat setelah bilang puasa lama. Nyatanya tidak.Rafael sendiri sedikit merasa bersalah pada Nadine. Lelaki itu meluapkan kemarahannya saat bercinta dengan sang istri tadi. Emosi karena melihat Rionald sempat menyentuh tubuh Nadine. Namun dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi Nadine.Rafael kesal setengah mati jika ingat hal itu. Dia merasa tidak berguna sebagai suami. Namun Rafael bisa apa jika keadaan belum memungkinkan dirinya muncul di hadapan orang banyak.
Sita menghela napas dalam untuk menurunkan kadar emosi yang hampir membuatnya meledak. Dia sudah berusaha keluar kafe tanpa menarik perhatian. Namun usahanya sia-sia ketika Sandy menyadari pergerakannya saat bertukar shif dengan rekannya."Apalagi?" Desah Sita kesal. Ingin sekali menghempaskan pria satu ini. Sita merasa Sandy seakan menempel padanya beberapa waktu terakhir. Entah perasaan Sita atau hal itu benar adanya, Sandy sering menunggunya saat dia pulang kerja. "Aku antar sekalian aku mau bicara dengan Rafael.""Tidak mau!" Kalimat Sita membuat Sandy menghentikan langkahnya. Lelaki itu berbalik menatap adik Sita. "Kenapa?" Tanyanya.Sita memandang lurus Sandy, teringat pertanyaan Hermawan beberapa hari yang lalu, soal siapa yang kerap mengantar Sita pulang. Hermawan tak banyak bertanya, lelaki itu cuma berpesan agar Sita berhati-hati. Belajar dari kejadian Teo hari itu. Sandy sendiri dalam pandangan Sita lumayan baik. Terlepas dari predikat spesies amfibi yang disandangnya,
Malam itu juga Rafael pulang ke kediaman utama De Angelo. Tempat tinggal sang kakek. Lelaki tua itu jelas terkejut dengan kemunculan sang cucu setelah enam tahun tidak pulang. Ada bahagia juga rasa takut ketika Rafael tiba-tiba berdiri di hadapannya."Akhirnya kamu pulang." Atma tidak bisa menutupi rasa dalam hatinya.Rafael tumbuh jadi pria dengan aura pemimpin begitu kuat, matang dan tentu saja, tampan. Rafael sendiri tak pernah menyangka akan pulang secepat ini. Namun urusan sang kakak, dia ingin menyelesaikannya, hari ini juga."Aku pulang untuk meminta penjelasan soal kepergian kak Lio. Aku ingin Om Rio dipanggil ke sini." Atma sesaat terdiam mendengar permintaan sang cucu. Namun tak urung dia meminta asistennya untuk menghubungi Rionald."Kalau dia menolak, suruh orang untuk menyeretnya pulang." Perintah tegas Atma mengalun. Dia sadar hari ini akan tiba, cepat atau lambat. Hanya saja dia tidak menyangka, kalau Rafael sendiri yang akan bergerak mencari tahu soal kematian Raveli
Hampir pukul satu dini hari, itu kalau Nadine tidak salah lihat, saat dia menyadari sosok Rafael tidak ada di sampingnya. Lelaki itu belum kembali, pikir Nadine. Namun wanita itu langsung terperanjat ketika mendapati Rafael duduk di sofa, dalam keadaan gelap, dengan pakaian utuh belum berganti.Bahkan lelaki itu masih mengenakan sepatu, belum melepasnya. "Kamu sudah pulang? Kok aku tidak dengar." Nadine bertanya dengan suara serak khas bangun tidur."Tidurlah." Hanya itu yang Rafael ucapkan. Hal itu jelas membuat Nadine curiga. Perempuan itu bangkit, bergerak mendekati Rafael yang duduk diam macam patung bernyawa. Tatapan lelaki itu kosong. Tak ada binar kehidupan macam biasa di sana. Dalam temaram lampu kamar, Nadine melihat pipi Rafael berkilat basah. Lelaki itu ... menangis. Nadine buru-buru ingin menghidupkan lampu, tapi Rafael mencegahnya. Nadine menatap intens wajah sendu sang suami dalam gelap. Dengan Rafael gegas memalingkan wajah. Tidak ingin sang istri tahu kalau dirinya
Nadine sedang berada di sebuah kafe, menunggu seseorang. Dia meninggalkan Rafael yang baru saja dia paksa minum obat ala drama di TV. Obatnya dia telan dulu lalu dia minumkan melalui ciuman. Rafael mau tak mau menelannya ketika Nadine memencet hidungnya.Pria tinggi besar itu tantrum macam anak te ka yang mainannya di ambil. Meski setelahnya Rafael bisa tidur lebih nyenyak. Tidak lagi merintih dan mengigau seperti sebelumnya. Nadine juga merebut paksa selimut tebal yang digunakan Rafael untuk bergelung. Menggantinya dengan selimut yang lebih tipis."Dingin, Nad," keluh Rafael."Rasamu memang dingin tapi badanmu panas. Kalau pakai selimut tebal nanti panasmu bisa tambah tinggi, ini saja sudah tiga puluh sembilan koma empat." Nadine nyaris ribut dengan Rafael andai lelaki itu tidak kunjung tidur. Setelah sang suami tidur, barulah Nadine keluar rumah. Menemui seseorang yang membuatnya kesal sejak pagi. Sembari menunggu, Nadine men-sroll sosial media. Dahinya berkerut melihat sebuah head
Kepala Rafael yang sudah pening bertambah lagi peningnya. Lelaki itu nyaris tak mampu bangun ketika tubuhnya tersungkur di lantai keramik yang dingin juga keras. Tak berapa lama tarikan di kerah jaket Rafael membuat lelaki itu berdiri dengan terpaksa."Kau! Katakan apa yang sudah kau lakukan padanya?" Desis Rionald tepat di depan wajah Rafael."Apa yang Om katakan?" Tanya Rafael di tengah sengal napasnya yang tercekik. "Kau! Kau yang sudah mencelakainya, bukan?" Tuduh Rionald langsung tanpa basa basi.Rafael sesaat bingung, apa maksud Rionald. Sampai cengkeraman di lehernya makin kuat. Rafael semakin kehabisan napas."Tuan Rionald, hentikan. Anda bisa membunuhnya!" Rion tiba-tiba muncul. Ini sangat berbahaya, bagaimana jika Rionald curiga kalau Rion dan Rafael selama ini saling terhubung.Rionald mengerjap melihat kehadiran Rion. "Kau! Kalian. Harusnya aku tahu kalau kalian selama ini berhubungan!" Rionald melempar tubuh Rafael hingga lelaki itu meringis. Punggungnya menghantam tembo