Nadine menghela napas begitu masuk ke dalam kamar. Peliknya persoalan keluarga yang dia hadapi semua berujung perkara uang. Dia tidak masalah jika harus kehilangan tabungannya, yang sejatinya ingin dia gunakan untuk menyambung pendidikannya. Jika itu bisa membuat keluarganya harmonis.Namun seringkali sudah habis-habisan, sikap tidak menghargai yang dia terima. Seolah dia hanyalah pion yang dibutuhkan saat keadaan terdesak. Jika tidak begitu, ibu dan adiknya mungkin tak pernah menganggapnya ada.Seperti hari ini, dia selesai mengirim sejumlah uang ke rekening sang ibu. Saat uang masuk, Heni tersenyum manis, sambil mengatakan terima kasih. Kamu yang terbaik, kamu memang yang paling bisa diandalkan. Memuji setingi langit pada Nadine.Namun besok, lihat saja sikap Heni akan kembali ke mode asal. Menganggap Nadine cuma orang yang hanya diperlukan saat situasi genting. Kadang wanita itu berpikir dia ini anak kandung Heni atau bukan, kenapa perlakuannya berbeda sekali dengan Sita."Jangan m
"Aku ditipu, sayang. Mereka ternyata membawa lari uangku. Aku dijebak, sekarang polisi mengejarku. Aku dituduh jadi kriminal, tukang tipu. Mereka akan menangkapku, lalu memenjarakanku."Sita tertegun melihat Teo yang menangis tersedu di hadapannya. Pria itu tampak baik-baik saja, meski tampilannya agak berantakan. Namun itu justru membuat pesona Teo berlipat-lipat di mata Sita."Terus uangku bagaimana? Ibu marah besar, dia tidak mau memberiku uang lagi," sendu Sita bertanya.Teo lekas menggenggam tangan Sita. Pria itu menatap intens wajah cantik Sita. Jelas terlihat jika Sita adalah gadis polos dan lugu. Teo yang beberapa hari ini terpaksa bersembunyi di tempat jelek ini, jelas merasa bosan.Apalagi dia dilarang berkeliaran lebih dulu. Cuma Sita yang bisa Teo suruh datang. Perempuan ini sudah cinta buta padanya. Akan melakukan apa saja sesuai perintahnya."Soal uang itu, aku janji akan mendapatkannya kembali. Hanya saja aku perlu waktu untuk berpikir. Juga modal lagi. Aku sekarang tid
Nadine memejamkan mata, menahan diri untuk tidak terpancing oleh ucapan Sita. Deru napasnya dia atur. Sebisa mungkin jadi tenang. "Kamu ini bicara apa? Kakakmu tidak salah, kenapa kamu marahi. Sita, kamu itu harusnya sadar ....""Belain terus! Belain! Semua yang Sita kerjakan selalu salah di mata Bapak. Sedang kakak, akan selalu benar meski jelas salah." Sita berucap lantang.Hermawan melebarkan mata. Tidak paham dengan cara berpikir putri bungsunya. "Bapak tidak belain kakakmu. Kenyataannya kakakmu tidak buat salah.""Tidak buat salah? Dia tidur sama suaminya sebelum nikah, Pak. Kata Bapak itu benar. Hebat sekali.""Sita, kalau kamu tidak tahu kejadian sebenarnya jangan asal bicara," desis Nadine penuh peringatan."Kenapa? Mau cari pembenaran diri. Sita pusing dengar semua orang menggunjingkan kita. Jangan sok benar, sok suci, Kak. Kalau kenyataannya Kakak sama saja dengan mereka.""Mereka? Mereka siapa? Kamu mau sebut Kakak sama dengan pelacur di luar sana? Asal kamu tahu ya, Kakak
Eva berjalan mondar mandir di apartemen miliknya, wanita itu begitu cemas ketika tahu Nadine masih punya rekaman video panasnya. Yang dia takutkan adalah kalau sampai direktur tahu. Bisa-bisa dia dipecat. Dia tidak takut kehilangan pekerjaan, hanya saja dia malas mendengar ocehan ayahnya.Malam mulai merayap larut ketika Eva mendapat telepon dari seseorang. "Datanglah kemari, kita perlu bicara. Ini soal proyek anak buahmu."Tak sampai lima belas menit, Eva sampai di tempat tujuannya. Sebuah hotel, begitu masuk dia mendapati Sandy tersenyum manis padanya. Di depannya ada seorang pria yang tentu saja sangat mereka kenal."Jadi apa mau bapak?" Eva bertanya to the poin. "Masak aku dipanggil bapak. Fisikku masih sama hotnya dengan Sandy." Kata pria itu, membuat Sandy dan Eva tertawa."Panggil nama juga tidak masalah." Dia memberi kode pada Sandy untuk memberikan dokumen pada Eva."Dia tidak boleh berhasil. Gagalkan dia bagaimanapun caranya."Seseorang di seberang sana mengepalkan tangan,
Pagi menjelang di kediaman keluarga Hermawan. Suasana masih tegang dengan sorot mata tidak terima terpancar dari Sita. Dia menatap sengit sang kakak yang berusaha abai dengan sikapnya. Pandangan yang sama juga terarah pada Rafael. Namun seperti biasa, suami Nadine sudah kebal dengan semua itu.Selama Nadine dan Hermawan tidak mengubah sikap, Rafael akan tetap berdiri tegap, menghadapi segalanya. Termasuk hinaan dan rasa tidak suka Sita. Peduli setan dengan keduanya. Yang penting dia sudah berusaha memperlihatkan sikap baik di hadapan mereka. Diterima ya beneran, tidak ya sudah."Aku mungkin lembur lagi, tapi makan siang akan kuantar nanti, mau apa?" Harusnya ucapan Rafael jadi sebuah kalimat manis penuh perhatian dari seorang suami pada istrinya. Namun di bibir Rafael semua jadi hambar, seolah pria itu tengah menantang lawan bicaranya. Sebab diucapkan dengan nada dingin dan datar."Seblak," pinta Nadine penuh semangat."Tidak mengenyangkan. Nanti malam saja seblaknya." Nadine manyun,
Sita panik, kala mendapati rumah yang dihuni Teo kosong. Keadaan rumah yang berantakan mengindikasi sepertinya pernah terjadi perkelahian di sana. Adik Nadine cemas, takut hal buruk terjadi pada sang kekasih. Sita makin kalut ketika ponsel Teo tak bisa dihubungi."Apa dia jadi pergi, tapi kenapa tidak pamit." Sita pikir Teo akan selalu memberinya kabar di mana pun pria itu berada. Nyatanya tidak, bahkan sampai seminggu kemudian, tetap tidak ada berita dari Teo.Sementara kasus investasi bodong perusahaan milik Teo jadi salah satu isu panas di media sosial. Di mana korbanya ternyata di luar perkiraan Sita yang otaknya tidak sepintar Nadine. Walau Sita tidak lemot-lemot amat. Jumlah kerugian mencapai belasan miliar, nominal yang cukup fantastis untuk satu penipuan berkedok investasi bodong.Gadis itu pulang dengan tubuh lelah dan wajah tidak bersemangat. Dia bertemu Heni di depan gerbang lalu masuk bersama-sama. Suara gerutuan Heni bagai lebah berdengung di telinga Sita."Semua gara-gar
Nadine meronta, berusaha melepaskan diri. Ketakutan menyergap perempuan itu begitu cepat. Masak kantornya di masuki rampok. Tidak masuk akal sekali, plus tidak elit. Kantor pusat P&K Ekspres kemalingan. Mau jadi apa dia besok eh salah, sekarang.Istri Rafael mengumpat dalam hati, ingin memaki para security berbadan besar yang berjaga di gerbang depan. Gede doang tapi tak guna. Bekapan itu masih berlangsung ketika Nadine menggigit tangan yang membungkam mulutnya.Ringisan lirih terdengar. Namun tidak mengurangi bekapan di mulutnya. Nadine mulai teringat jurus kuncian taekwondo yang pernah dia pelajari di masa putih abu-abu. Alamak, lama kali, entah masih ingat atau tidak otak Nadine yang akhir-akhir ini cuma diisi strategi marketing dan promosi.Perempuan itu bersiap, memasang kuda-kuda. Sampai dia menyadari kalau justru dirinya yang sudah dikunci duluan. Nadine tak bisa bergerak. Tak bisa berteriak, mati kutu dia. Kengerian level akut menyerang, yang paling dia takutkan adalah dileceh
Sita mengusap peluh yang bercucuran di dahi dan lehernya. Mentari sudah condong ke barat. Panasnya tidak separah ketika raja siang berada di puncak singgasananya. Semua orang akan menepi, mencari tempat berlindung. Namun tidak dengan Sita. Perempuan itu masih betah berjalan di bawah gempuran panas sinar mentari.Berjalan dari satu kafe ke kafe lain untuk mencari pekerjaan part time yang bisa dia kerjakan setelah pulang kuliah. Uang cash dari Rafael tinggal sedikit, dia harus berhemat. Cari kerja lalu membayar utang pada kakak iparnya.Sepertinya kali ini kebodohan Sita ada benarnya. Setidaknya dia tidak sebego kemarin yang langsung menghabiskan uang yang ada di tangan. "Maaf ya." Sita melengkungkan senyum terpaksa, lantas undur diri.Gadis itu menghela napas. Ternyata tak semudah menghalu untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Kini dia tahu kenapa begitu banyak orang mati-matian bertahan dengan pekerjaannya, meski kadang tak sesuai passion atau jenjang pendidikan yang diambil. Ternyata ala