Eva berjalan mondar mandir di apartemen miliknya, wanita itu begitu cemas ketika tahu Nadine masih punya rekaman video panasnya. Yang dia takutkan adalah kalau sampai direktur tahu. Bisa-bisa dia dipecat. Dia tidak takut kehilangan pekerjaan, hanya saja dia malas mendengar ocehan ayahnya.Malam mulai merayap larut ketika Eva mendapat telepon dari seseorang. "Datanglah kemari, kita perlu bicara. Ini soal proyek anak buahmu."Tak sampai lima belas menit, Eva sampai di tempat tujuannya. Sebuah hotel, begitu masuk dia mendapati Sandy tersenyum manis padanya. Di depannya ada seorang pria yang tentu saja sangat mereka kenal."Jadi apa mau bapak?" Eva bertanya to the poin. "Masak aku dipanggil bapak. Fisikku masih sama hotnya dengan Sandy." Kata pria itu, membuat Sandy dan Eva tertawa."Panggil nama juga tidak masalah." Dia memberi kode pada Sandy untuk memberikan dokumen pada Eva."Dia tidak boleh berhasil. Gagalkan dia bagaimanapun caranya."Seseorang di seberang sana mengepalkan tangan,
Pagi menjelang di kediaman keluarga Hermawan. Suasana masih tegang dengan sorot mata tidak terima terpancar dari Sita. Dia menatap sengit sang kakak yang berusaha abai dengan sikapnya. Pandangan yang sama juga terarah pada Rafael. Namun seperti biasa, suami Nadine sudah kebal dengan semua itu.Selama Nadine dan Hermawan tidak mengubah sikap, Rafael akan tetap berdiri tegap, menghadapi segalanya. Termasuk hinaan dan rasa tidak suka Sita. Peduli setan dengan keduanya. Yang penting dia sudah berusaha memperlihatkan sikap baik di hadapan mereka. Diterima ya beneran, tidak ya sudah."Aku mungkin lembur lagi, tapi makan siang akan kuantar nanti, mau apa?" Harusnya ucapan Rafael jadi sebuah kalimat manis penuh perhatian dari seorang suami pada istrinya. Namun di bibir Rafael semua jadi hambar, seolah pria itu tengah menantang lawan bicaranya. Sebab diucapkan dengan nada dingin dan datar."Seblak," pinta Nadine penuh semangat."Tidak mengenyangkan. Nanti malam saja seblaknya." Nadine manyun,
Sita panik, kala mendapati rumah yang dihuni Teo kosong. Keadaan rumah yang berantakan mengindikasi sepertinya pernah terjadi perkelahian di sana. Adik Nadine cemas, takut hal buruk terjadi pada sang kekasih. Sita makin kalut ketika ponsel Teo tak bisa dihubungi."Apa dia jadi pergi, tapi kenapa tidak pamit." Sita pikir Teo akan selalu memberinya kabar di mana pun pria itu berada. Nyatanya tidak, bahkan sampai seminggu kemudian, tetap tidak ada berita dari Teo.Sementara kasus investasi bodong perusahaan milik Teo jadi salah satu isu panas di media sosial. Di mana korbanya ternyata di luar perkiraan Sita yang otaknya tidak sepintar Nadine. Walau Sita tidak lemot-lemot amat. Jumlah kerugian mencapai belasan miliar, nominal yang cukup fantastis untuk satu penipuan berkedok investasi bodong.Gadis itu pulang dengan tubuh lelah dan wajah tidak bersemangat. Dia bertemu Heni di depan gerbang lalu masuk bersama-sama. Suara gerutuan Heni bagai lebah berdengung di telinga Sita."Semua gara-gar
Nadine meronta, berusaha melepaskan diri. Ketakutan menyergap perempuan itu begitu cepat. Masak kantornya di masuki rampok. Tidak masuk akal sekali, plus tidak elit. Kantor pusat P&K Ekspres kemalingan. Mau jadi apa dia besok eh salah, sekarang.Istri Rafael mengumpat dalam hati, ingin memaki para security berbadan besar yang berjaga di gerbang depan. Gede doang tapi tak guna. Bekapan itu masih berlangsung ketika Nadine menggigit tangan yang membungkam mulutnya.Ringisan lirih terdengar. Namun tidak mengurangi bekapan di mulutnya. Nadine mulai teringat jurus kuncian taekwondo yang pernah dia pelajari di masa putih abu-abu. Alamak, lama kali, entah masih ingat atau tidak otak Nadine yang akhir-akhir ini cuma diisi strategi marketing dan promosi.Perempuan itu bersiap, memasang kuda-kuda. Sampai dia menyadari kalau justru dirinya yang sudah dikunci duluan. Nadine tak bisa bergerak. Tak bisa berteriak, mati kutu dia. Kengerian level akut menyerang, yang paling dia takutkan adalah dileceh
Sita mengusap peluh yang bercucuran di dahi dan lehernya. Mentari sudah condong ke barat. Panasnya tidak separah ketika raja siang berada di puncak singgasananya. Semua orang akan menepi, mencari tempat berlindung. Namun tidak dengan Sita. Perempuan itu masih betah berjalan di bawah gempuran panas sinar mentari.Berjalan dari satu kafe ke kafe lain untuk mencari pekerjaan part time yang bisa dia kerjakan setelah pulang kuliah. Uang cash dari Rafael tinggal sedikit, dia harus berhemat. Cari kerja lalu membayar utang pada kakak iparnya.Sepertinya kali ini kebodohan Sita ada benarnya. Setidaknya dia tidak sebego kemarin yang langsung menghabiskan uang yang ada di tangan. "Maaf ya." Sita melengkungkan senyum terpaksa, lantas undur diri.Gadis itu menghela napas. Ternyata tak semudah menghalu untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Kini dia tahu kenapa begitu banyak orang mati-matian bertahan dengan pekerjaannya, meski kadang tak sesuai passion atau jenjang pendidikan yang diambil. Ternyata ala
"Kamu yang mengirim ke kantor pusat?" Sandy bertanya bisik-bisik, di dalam sana Nadine dan Handoyo masih berdebat."Bukan itu masalahnya! Nanti aku hubungi lagi. Aku harus masuk. Mengawasinya." Sandy masuk kembali ke ruang meeting, di mana ada Handoyo, Eva, David dan tiga orang utusan dari kantor pusat P&K Express. Jika kantor Nadine adalah pusat cabang kota ini, maka yang mengunjungi mereka pagi ini adalah orang divisi marketing dan perencanaan juga promosi dari kantor pusat seluruh cabang ekspedisi tersebut. Induk perusahaan pengiriman yang menaungi tempat Nadine bekerja.Sejak tadi Handoyo terus melawan argumen Nadine, dan perempuan itu tak menyerah begitu saja. Dia ingat julukan Rafael untuknya, rajanya ngeyel, maka akan dia buktikan kali ini. Kalau pandangan dan rencananya sudah sesuai visi dan misi perusahaan mereka. Terserah nanti hasilnya mau diterima atau ditolak. Itu pikir belakangan.Beberapa pertanyaan juga Nadine terima dari tiga utusan kantor pusat. Dan istri Rafael ma
Selama beberapa hari terakhir, isu selingkuh Heni jadi topik panas pasangan yang tak lagi muda itu. Rafael menggeleng tiap kali Hermawan mengungkit hal tersebut. "Mereka kenapa?" Tanya Nadine di sela sarapan yang sepenuhnya di-support oleh Rafael pagi itu. Gegara perselisihan si tuan rumah, Heni merajuk, tidak mau memasak sarapan. Alhasil Rafael yang memang sedang ingin makan nasi uduk, membeli lima porsi sekaligus, beserta gorengan dan camilan lain.Harusnya dari sini, sikap Heni bisa berubah, tapi perempuan itu kekeuh dengan pandangannya soal Rafael yang hina. Beda dengan Sita yang sekarang tidak banyak bunyi, tapi sorot matanya masih menyisakan rasa tidak suka. "Katanya ibumu selingkuh," bisik Rafael. Nadine lanvsung tersedak dengan Rafael segera memberinya air putih. "Serius?" Nadine bertanya tanpa mempedulikan Rafael yang mengusap bibirnya dengan jari, membersihkan lelehan air di sana. Sang istri minum air serampangan. Interaksi manis itu membuat Sita berdecih sebal."Tidak ta
Jika Rafael dan Nadine sedang tidak baik-baik saja rumah tangganya, gegara kesibukan sang istri yang tidak ketulungan. Hingga menimbulkan galau di hati keduanya. Beda dengan Sita yang hari itu jantungnya berdentum, deg-degan. Bukan karena bakal bertemu Teo. Gadis itu bahkan sudah tidak pernah menghubungi pria brengsek tersebut. Yang membuat jantung Sita memompa darah lebih cepat adalah saat ini dia berada di depan sebuah kafe yang terkenal elite di kawasan ibu kota. "Ini benar tempatnya," gumam Sita. Bolak balik melihat bergantian antara papan nama dan kartu yang ada dalam genggamannya. "Ah, dia pasti mau mengerjai aku!" Maki Sita, membalikkan badan lantas bersiap pergi ketika satu suara menyapanya. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu. Saya perhatikan Mbak sejak tadi berdiri di sana. Tidak mau masuk." Seorang pria berpakaian formal membuat Sita urung melenggang pergi dari sana. "Saya bukan mau makan, tapi cari kerja. Saya pikir sudah salah tempat. Permisi." Sita kembali akan