Sita mengusap peluh yang bercucuran di dahi dan lehernya. Mentari sudah condong ke barat. Panasnya tidak separah ketika raja siang berada di puncak singgasananya. Semua orang akan menepi, mencari tempat berlindung. Namun tidak dengan Sita. Perempuan itu masih betah berjalan di bawah gempuran panas sinar mentari.Berjalan dari satu kafe ke kafe lain untuk mencari pekerjaan part time yang bisa dia kerjakan setelah pulang kuliah. Uang cash dari Rafael tinggal sedikit, dia harus berhemat. Cari kerja lalu membayar utang pada kakak iparnya.Sepertinya kali ini kebodohan Sita ada benarnya. Setidaknya dia tidak sebego kemarin yang langsung menghabiskan uang yang ada di tangan. "Maaf ya." Sita melengkungkan senyum terpaksa, lantas undur diri.Gadis itu menghela napas. Ternyata tak semudah menghalu untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Kini dia tahu kenapa begitu banyak orang mati-matian bertahan dengan pekerjaannya, meski kadang tak sesuai passion atau jenjang pendidikan yang diambil. Ternyata ala
"Kamu yang mengirim ke kantor pusat?" Sandy bertanya bisik-bisik, di dalam sana Nadine dan Handoyo masih berdebat."Bukan itu masalahnya! Nanti aku hubungi lagi. Aku harus masuk. Mengawasinya." Sandy masuk kembali ke ruang meeting, di mana ada Handoyo, Eva, David dan tiga orang utusan dari kantor pusat P&K Express. Jika kantor Nadine adalah pusat cabang kota ini, maka yang mengunjungi mereka pagi ini adalah orang divisi marketing dan perencanaan juga promosi dari kantor pusat seluruh cabang ekspedisi tersebut. Induk perusahaan pengiriman yang menaungi tempat Nadine bekerja.Sejak tadi Handoyo terus melawan argumen Nadine, dan perempuan itu tak menyerah begitu saja. Dia ingat julukan Rafael untuknya, rajanya ngeyel, maka akan dia buktikan kali ini. Kalau pandangan dan rencananya sudah sesuai visi dan misi perusahaan mereka. Terserah nanti hasilnya mau diterima atau ditolak. Itu pikir belakangan.Beberapa pertanyaan juga Nadine terima dari tiga utusan kantor pusat. Dan istri Rafael ma
Selama beberapa hari terakhir, isu selingkuh Heni jadi topik panas pasangan yang tak lagi muda itu. Rafael menggeleng tiap kali Hermawan mengungkit hal tersebut. "Mereka kenapa?" Tanya Nadine di sela sarapan yang sepenuhnya di-support oleh Rafael pagi itu. Gegara perselisihan si tuan rumah, Heni merajuk, tidak mau memasak sarapan. Alhasil Rafael yang memang sedang ingin makan nasi uduk, membeli lima porsi sekaligus, beserta gorengan dan camilan lain.Harusnya dari sini, sikap Heni bisa berubah, tapi perempuan itu kekeuh dengan pandangannya soal Rafael yang hina. Beda dengan Sita yang sekarang tidak banyak bunyi, tapi sorot matanya masih menyisakan rasa tidak suka. "Katanya ibumu selingkuh," bisik Rafael. Nadine lanvsung tersedak dengan Rafael segera memberinya air putih. "Serius?" Nadine bertanya tanpa mempedulikan Rafael yang mengusap bibirnya dengan jari, membersihkan lelehan air di sana. Sang istri minum air serampangan. Interaksi manis itu membuat Sita berdecih sebal."Tidak ta
Jika Rafael dan Nadine sedang tidak baik-baik saja rumah tangganya, gegara kesibukan sang istri yang tidak ketulungan. Hingga menimbulkan galau di hati keduanya. Beda dengan Sita yang hari itu jantungnya berdentum, deg-degan. Bukan karena bakal bertemu Teo. Gadis itu bahkan sudah tidak pernah menghubungi pria brengsek tersebut. Yang membuat jantung Sita memompa darah lebih cepat adalah saat ini dia berada di depan sebuah kafe yang terkenal elite di kawasan ibu kota. "Ini benar tempatnya," gumam Sita. Bolak balik melihat bergantian antara papan nama dan kartu yang ada dalam genggamannya. "Ah, dia pasti mau mengerjai aku!" Maki Sita, membalikkan badan lantas bersiap pergi ketika satu suara menyapanya. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu. Saya perhatikan Mbak sejak tadi berdiri di sana. Tidak mau masuk." Seorang pria berpakaian formal membuat Sita urung melenggang pergi dari sana. "Saya bukan mau makan, tapi cari kerja. Saya pikir sudah salah tempat. Permisi." Sita kembali akan
Seorang pria berbadan tegap baru saja pergi ketika Rafael datang, lalu memasukkan motornya ke garasi. Di samping mobil sang istri yang ternyata sudah pulang. Rafael mengulas senyum. Ternyata rasanya seperti ini, tahu istrinya sudah ada di rumah, mungkin sedang menunggunya.Namun rasa senang itu berubah kala Rafael ingat kalau pria tadi bisa jadi DC yang kembali menagih Heni. "Ibu berhutang lagi?" Rafael bertanya singkat. Membuat Heni yang ingin masuk rumah urung melakukannya."Bukan urusanmu!" Heni menjawab ketus."Memang bukan urusan saya. Tapi akan jadi urusan saya kalau merembet ke mana-mana." "Jangan mentang-mentang sudah bisa bayarin utang ibu, kamu mau atur ibu sesuai keinginanmu." Heni kembali menyahut."Bukannya saya ingin mengatur Ibu. Tapi ingatlah bapak, Nadine. Bagaimana kalau mereka sampai tahu. Bapak tidak seperti dulu lagi." Rafael memperingatkan."Tidak akan ada yang tahu kalau kamu tutup mulut, diam!" Heni menempelkan telunjuknya di bibir, memberi kode Rafael untuk m
"Tapi tidak ada laporannya," protes Rafael. Sang istri melapor belanja tapi tidak ada laporan transaksi di ponselnya."Kan belanjanya dibayarin orang. Tante-tante cantik." Rafael memicingkan mata. Menatap Nadine yang bersandar di dadanya sambil memainkan ponsel. Keduanya sudah berada di kamar, sudah membersihkan diri. Sudah sama-sama wangi. Ternyata rasa galau karena kesibukan, sirna seketika hanya dengan kata maaf yang terucap dari bibir Nadine, tentu diikuti sebuah ciuman yang jelas disambut baik oleh Rafael. Berciuman setelah berdebat memang efektif meredam ketegangan.Mereka baru selesai adu bibir beberapa detik lalu, ketika Nadine menepuk dada Rafael, pria itu nyaris membunuhnya. Ciuman Rafael intens, dalam, ditambah hidung mancung lelaki itu, mampu menutup akses pernapasan Nadine."Kamu kenal?" Rafael bertanya dengan netra tak lepas dari ponsel sang istri. Menatap apa yang perempuan itu kerjakan."Enggak, tapi dia baik. Sup tadi resep dari tante itu, enak banget kan?" Rafael te
Nadine melangkah riang keluar dari konter penerimaan paket, satu minggu sejak sistem baru diterapkan. Sejauh ini semua berjalan lancar. Sedikit kendala tapi masih bisa diatasi. Hari ini, Nadine pergi sendiri. Tia dan Rey kebagian briefing ke konter lain, sedang Nadine akhir-akhir ini kebagian tugas evaluasi.Wanita itu baru saja berjalan menuju mobilnya ketika seorang pria menepuk bahunya pelan. "Maaf, Mbak. Tuan ingin bertemu." Nadine mengerutkan dahi, mengingat siapa yang sedang bicara padanya. Sampai ingatannya menemukannya."Kakek yang itu?" Nadine bertanya senang. Dengan sang pria mengangguk, lantas membimbing Nadine menuju sebuah rumah makan tak jauh dari sana. Sebuah kedai gado-gado yang cukup legend di daerah itu."Selamat siang, Kek. Kakek apa kabar?" Si kakek melengkungkan senyum, menyambut tangan Nadine untuk disalimi. Ada hangat yang menjalar ketika Nadine mencium takzim punggung tangannya."Pilihannya tidak main-main," batin si kakek, lantas mengibaskan tangan untuk mengu
Beberapa hari bekerja sebagai kasir di kafe New Moon, membuat Sita mulai akrab dengan rekan kerja lain. Dia mulai punya teman bicara. Mulai saling bertukar cerita. Soal apapun, termasuk tentang tempat mereka bekerja. Desas desus berseliweran di sekitar Sita dan teman-temannya, mengenai pemilik kafe yang sangat misterius. Belum pernah ada rekan Sita yang melihat rupa sosok tersebut.Sita hanya pernah mendengar percakapan sang manager dengan seseorang bernama Rafael. Sangat mencurigakan. Namun tak menutup kemungkinan jika hal itu benar. Rafael bisa jadi adalah pemilik tempat ini.Namun Sita juga kembali berpikir ulang, yang namanya Rafael bukan hanya kakak iparnya seorang. Tapi lagi-lagi ragu menyeruak naik, ketika semua tindak tanduk Rafael yang memang bertanduk cukup mencurigakan.Ngakunya tukang paket, tapi keadaan lelaki itu bertolak belakang dari kata pas-pasan. Oke, untuk muka mungkin boleh disebut relevan. Tampang Rafael memang pas-pasan, pas tidak jelek, pas tidak tampan, alias