Sah (2)Aku mencium tangan Pak Rafli dengan takzim sesaat setelah dia mengucapkan ijab kabul di depan ayahku. Rasa haru menyeruak saat melihat ayah dengan berlinangan air mata menyerahkan putrinya pada laki-laki yang bisa dibilang asing dalam kehidupannya. Pak Rafli mencium keningku dengan lembut. Kutahan agar tak meneteskan air mata. Aku malu sekali jika dia memelukku di depan banyak orang. Dan kulihat anak-anakku, mereka menyalami ayah baru mereka dengan senyum yang sulit kugambarkan. Apalagi saat Zoya memaksa berada di gendongan Pak Rafli. Tanpa merasa enggan, suamiku itu menggendong Zoya dan mencium pucuk kepala anakku. Aku terharu, mudah-mudahan dia benar-benar menerima anak-anakku sepenuh hati. Karena memang di rumah ini hanya akan digelar akad saja, jadi tamu yang hadir memang benar-benar keluarga dekat keluarga kami berdua. Rencana untuk mengadakan resepsi sesuai keinginan ibu mertuaku akan kami bicarakan lagi nanti. "Vinda… Terima kasih banyak, Sayang… kamu membawa kebaha
Awal Bersama (1)Kedatangan beberapa keluarga dekatku ke rumah membuatku tertahan di ruang tamu hingga lepas isya. Aku hanya istirahat untuk sholat maghrib dan isya. Beberapa kali aku beradu pandang dengan Pak Rafli, rasanya aku masih tak percaya dengan keberadaan laki-laki itu di rumahku sebagai seorang suami. Rasanya aneh mendatangi tempat peraduanku yang kini sah kuhuni bersama dengan Pak Rafli. Ibu sudah memberi isyarat padaku bahwa Zoya akan tidur dengannya. Itu yang justru membuatku teramat ragu masuk ke dalam kamar. Kubuka pintu kamar, Pak Rafli tengah memegang ponselnya. Nampaknya dia tak menyadari kedatanganku. Aku masuk ke kamar mandi, kubasuh wajahku dan berkali-kali menatap wajahku di cermin. Astaga. Aku sudah seperti ABG yang hendak bertemu dengan kekasihnya. Lucu sekali aku melihat kondisi wajahku saat ini. Rasanya sulit sekali menghapus rasa gugupku dari sana. Kutekan dadaku perlahan, mencoba menetralkan debaran jantung yang luar biasa menggila. Aku memutar kenop pin
Awal Bersama (2)"Suatu ketika, saat mobilku melintas di jalanan dekat pasar, aku melihat seorang perempuan dengan menaiki motor maticnya. Motornya itu penuh dengan barang belanjaan. Kanan, kiri dan depannya penuh. Yang membuatku tak habis pikir lagi, dia membawa satu anaknya. Dia mendudukkan anaknya di atas belanjaannya itu. Aku kagum sekali. Beberapa kali aku melihatnya. Hingga suatu ketika, aku melihat perempuan itu berada di restoran ini." Aku menunggu suamiku melanjutkan kalimatnya. Kudengar dia menarik napasnya cukup dalam. "Aku terkesan sekali dengan perempuan itu. Hingga kutahu statusmu seorang single parents, aku yakin satu hal. Aku makin jatuh cinta padamu. Aku jatuh cinta pada tekadmu. Aku jatuh cinta dengan caramu menjaga diri. Aku jatuh cinta dengan caramu mempertahankan anak-anak dari mantan suamimu. Kamu bisa lembut, tetapi kamu bisa sekuat itu berhadapan dengan para penyerangmu. Aku terkesan sekali denganmu. Dan sepertinya semesta berpihak padaku. Kulihat Mbak Fatma
Awal bersama (3)"Tidurlah. Aktivitasmu sangat melelahkan hari ini. Aku tak ingin kamu makin kelelahan." Mas Rafli memelukku kemudian menjadikan lengannya sebagai bantal kepalaku. Dia mencium keningku cukup lama. Kemudian matanya terpejam. Aku makin penasaran dengan isi ponselnya. Pasti ada sesuatu yang menganggunya. Sebelum aku keluar tadi, tak ada hal aneh seperti yang sekarang terjadi. "Jangan menatapku seperti itu." Kalimatnya membuatku tersentak. Aku yang memang sedang menelisik tiap inci sebentuk wajah yang rupawan itu refleks memejamkan mata dan menenggelamkan wajahku merapat ke pelukannya. "Mas. Bisakah kamu menceritakan isi ponselmu? Apakah ada yang mengganggumu?" Mas Rafli menatapku lekat. Tangannya meraih tanganku dan mengusapnya penuh kelembutan. "Tidurlah. Aku tak ingin membuatmu tersakiti setelah melihat pesan itu." Feelingku makin kuat. Aku rasa seseorang sudah menganggu perasaannya malam ini. Mas Rafli mengeratkan pelukannya yang justru membuatku makin memberontak p
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir (75) Keributan di MinimarketAku menggeliat saat kudengar alarm dari ponsel yang biasa kusetel jam tiga pagi. Saat aku hendak beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kulihat tangan Mas Rafli melingkar erat di pinggangku. Bahkan napasnya terasa hangat menerpa punggungku. Entah sejak kapan posisi tidurnya seperti ini. Aku mengusap lembut lengan laki-laki yang bergelar suamiku itu. Kurasakan tubuhnya bergerak dan makin mengeratkan pelukannya hingga membuatku sulit bernapas. "Mas, bangun… ." Aku berhasil melepaskan lilitan tangannya di perutku. Kutelusuri wajah di depanku. Berkali-kali aku harus meyakinkan diri, laki-laki ini memang benar suamiku sekarang. Entah keberanian dari mana, aku menyentuh hidungnya yang terbentuk sempurna. "Jam berapa, Sayang?" tanyanya yang otomatis membuat jari telunjukku buru-buru kutarik. "Jam tiga, Mas. Kita harus membersihkan diri untuk sholat tahajud. Bukankah terlalu banyak hal yang harus kita syukuri?"
"Serius kamu tadi lagi mikirin mantan suamimu?" Mas Rafli menautkan kedua alisnya yang tebal. Aku rasa dia benar-benar tak suka dengan kejujuranku tadi. "Maaf. Aku hanya bersyukur, Mas memperlakukanku dengan sangat baik. Aku punya masa lalu, begitupun kamu. Pasti suatu saat kita akan berada di masa yang membuat kita membandingkan pasangan kita dengan orang dari masa lalu. Maaf kalau aku membuat Mas tidak nyaman," ucapku sambil mengalungkan tanganku di lehernya. Mas Rafli tersenyum sangat manis, menampakkan lesung pipinya yang begitu menawan. "Baiklah, alasanmu kali ini kumaafkan," ucapnya sambil mengacak rambutku. "Libur beberapa hari ya. Jangan ke restoran. Minta Putri handle semua yang ada di sana. Aku masih ingin menghabiskan hariku denganmu." Mas Rafli meraih tanganku, kemudian menciumnya dengan lembut. Aku mengangguk, siapa yang tidak meleleh diperlakukan semanis itu. "Kamu sudah punya planning bulan madu kita? Ada tempat yang ingin kamu kunjungi?" tanyanya antusias. Jujur,
Mas Rafli sudah selesai melahap habis nasi goreng buatanku. Dia kelihatan puas dengan makanan yang tadi pagi kusiapkan. Untuk anak-anak, sudah kusiapkan sop jamur kesukaan mereka. Bakwan jagung hasil kreasiku juga sudah tersaji di atas meja. Aku tertawa saat Zoya dengan manjanya meminta Mas Rafli menyuapinya. Kulihat laki-laki itu telaten menyuapi Zoya makan. "Kemana rencana kalian hari ini?" tanya ayah saat selesai menghabiskan sarapannya. Aku menunggu respon Mas Rafli. "Aku ingin mengajak Vinda ke rumahku, Yah. Ibu sudah menanyakannya dan anak-anak. Setelah mengantar Zayn dan Ziyan sekolah, rencananya aku akan membawa Vinda dan Zoya ke rumah Ibu," jawabnya dengan yakin. Aku mengangguk setuju mendengar rencananya. Bukankah aku juga baru sekali ke rumah Mas Rafli? "Baiklah. Hati-hati. Ayah nanti sudah harus ke toko. Terlalu lama ditinggal, pasti banyak sekali menyisakan PR." "Jangan nakal di rumah eyang ya, Zoya!" pesan ibuku pada anak bungsuku. Entah siapa yang mencontohkannya,
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir (79) Tak Tahu DiriIbu mertuaku menyambut kedatangan kami dengan pelukan hangat. Dia mencium pipi kanan kiriku dengan lembut. Matanya berbinar melihat Zoya yang berada di pelukan Mas Rafli. "Aduhh… Eyang kangen banget sama Zoya. Sini sudah Eyang belikan es krim banyaakk…" ucapnya sambil meraih Zoya. Aku segera menyembunyikan es krim yang tadi dibelikan Mas Rafli di minimarket. Aku memberi isyarat pada suamiku agar tak berbicara. Kami harus menghargai perasaan ibu agar tak kecewa. "Lihat… banyak kan? Zoya bebas pilih yang mana." Aku dan Mas Rafli saling tatap. Tak menyangka es krim yang dimaksud ibu adalah satu freezer penuh es krim seperti yang dijual di toko. "Ibu mau jualan?" tanyaku heran. Kudengar suara tawa yang menggema di ruangan dapur. "Tidak… jaga-jaga kalau anak kalian ke mari. Mereka tak punya alasan buat pulang cepat-cepat." Kembali suara tawanya terdengar. "Tapi Zoya jangan banyak-banyak ya, Sayang. Nanti Eyang dimarahi ibumu!" uc