"Lho, ada Ibu juga?" tanya Ardan sambil mencium tangan ibunya. Dia berusaha menutupi wajah gugupnya. "Dari mana kamu, Ardan?" tanya sang ibu dingin. Ardan mengusap dahinya yang mulai berkeringat. Sementara Silvi, dia terlihat santai duduk di antara kami tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Kedua anaknya terlihat mendekati Tiara yang masih dijaga ketat oleh ibunya. Bahkan kulihat Dewi menghalau tangan Zanita yang akan mengajak Tiara bermain. "Kebetulan pulang kerja Silvi bilang mau ke rumah ambil barang yang masih tertinggal saat liburan kemarin, tetapi di tengah perjalanan Dewi menghubungiku untuk langsung kemari, jadi… ""Jadi… apa?" Bu Maya kembali mencecar anaknya. "Jadi Silvi ikut kemari, Bu. Silvi bilang dia juga sering kemari." Ardan tertunduk memainkan kedua jemarinya. "Kau tak tahu jika pertemuan seperti ini hanya untuk anggota keluarga? Mengapa membawa orang lain? Jangan posisikan dia seolah menjadi bagian dari keluarga ini. Dia bukan siapa-siapa dan selamanya tak akan m
Keputusan Dewi"Apa? Kau bilang khilaf, Mas? Kita melakukannya berulang kali! Kau bilang servisku lebih baik dari Dewi! Dia terlalu kaku di atas ranjang! Kau ingat kata-kata itu yang selalu kau ucapkan!" Ucapan Silvi membuatku mual. Bahkan dia tak mempedulikan lagi harga dirinya. Dewi menepuk dadanya dengan kasar. Aku beringsut mendekatinya dan memberinya bahu untuk bersandar. "Lihatlah, bahkan kau berani mengatakan hal seharasia itu pada wanita ini. Kau berani memandingkan istrimu dnegan wanita lain. Kau sudah gila? Dimana nuranimu sebagai seorang suami dan ayah? Bahkan kau membuat Tiara harus bermain dengan anak pelakor ini? Kau tak takut anakmu akan sangat membencimu?" Bu Maya memberi pertanyaan yang tak mampu dijawab oleh anaknya. "Maaf, Mas. Aku sudah berkorban banyak. Bukankah konsekuensi hubungan ini sudah kita bahas berkali-kali? Bahkan Mas Dirga sudah melayangkan gugatannya untukku. Sekarang tinggal kau melakukannya untuk Dewi! Sampai kapan kita harus sembunyi-sembunyi? Ak
"Kau ingin mengatakan bahwa Zanita dan Kinan adalah anak suamiku? Begitu? Kau yakin? Barangkali kau lupa siapa lagi lelaki yang sudah berkelanan menjelajahi tubuh murahmu itu!" Silvi tersengal mendengar makian kasar dadi Dewi. Dia cukup tahu diri tak menyerang Dewi karena melihat semua orang yang ada di sana berada di pihak adik iparku itu. "Kau ingin diakui sebagai seorang istri oleh Mas Ardan?" Pertanyaan Dewi membuat kami semua menatap penuh tanya kepadanya. "Bukankah kau ingin mencicipi bagaimana rasanya menjadi nyonya Ardan Sudibyo? Kau ingin merasakan bagaimana rasanya menyandang nama besar Sudibyo?" Dewi menjeda kalimatnya sejenak." Bukankah anak pelakor sepertimu juga menginginkan pemujaan sebagai menantu keluarga terhormat?" Aku tercekat mendengar Dewi yang mulai mengungkit latar belakang keluarga Silvi. Cukup kaget setelah aku mendengar kenyataan bahwa ibunya Silvi yang seorang pelakor juga. "Bukankah ibumu yang rakus itu tak mendapat warisan apapun setelah ayahmu menin
Pilihan yang SulitKami semua terperangah dengan kalimat yang Dewi lontarkan. Apakah dia serius dengan hal itu? Dia rela dimadu oleh Ardan? "Dewi! Aku tak akan menikahi wanita rusak sepertinya!" Ardan berusaha menolak keinginan Dewi. Dia memeluk erat kaki istrinya. Tak ada yang mencegahnya melakukan itu, terlebih kami semua ingin mengetahui apa rencana Dewi selanjutnya. "Wanita rusak? Bukankah kau lebih menyukai wanita rusak ini daripada istrimu di rumah?" tanya Dewi dengan penuh sindiran. "Kau kuperbolehkan menikahinya," ucap Dewi tenang. Dia melirik ke arah ibu mertuanya yang tak kalah pucat. "Bukankah Ibu bilang akan mendepak Mas Ardan kalau dia lebih memilih Silvi dan menceraikanku? Mas Ardan keluar dari rumah hanya dengan pakaian yang melekat di tubuhnya?" Ucapan Dewi dijawab anggukan oleh sang mertua. "Aku masih punya rasa kasihan padamu, Mas. Aku tak akan membiarkanmu hidup terlunta-lunta. Kubiarkan kau menikahi Silvi tanpa harus menceraikanku. Dengan begitu kau tak akan h
"Sekali lagi kau berusaha menyakiti menantuku, kurontokkan habis gigimu itu. Kucabik wajah kemayumu agar kau tak punya keberanian lagi menampakkan wajahmu di depan banyak orang, j*lang!" Bu Maya mendorong tubuh Silvi hingga dia terduduk di sofa. Wajahnya merah padam saat melayangkan tatapannya ke wajah wanita tak tahu diri itu. "Dengarkan keputusan Dewi, karena apapun yang dia putuskan Ibu akan ikut!" Ardan tertunduk dengan lemas. "Tapi, Bu. Aku tak pernah menginginkan wanita itu! Dia menjebakku! Dia yang terus menerus menggodaku. Tolong, Bu. Bujuk Dewi. Aku tidak mau rumah tangga kami berantakan karena wanita sial*n ini!" Ardan menuding wajah Silvi dengan sangat kasar. Jika aku menjadi Silvi, sudah pasti aku tak mampu lagi menampakkan wajahku di depan orang karena begitu terhina diperlakukan seperti itu. "Kau sungguh pengecut, Mas! Aku tak menyangka kau akan bersikap seperti ini! Bahkan baru tadi pagi kita melakukannya, dan sekarang kau berkata begitu menghinaku? Kau keterlalua
Sama GilanyaAku menatap punggung Mas Rafli yang masih berdiri di atas balkon kamar. Bahkan Zoya sampai mengekornya ke balkon karena penasaran dengan apa yang dilakukan ayahnya di sana. Tak ada reaksi apapun dari laki-laki itu kecuali hanya senyuman yang tersungging untuk anak sambungnya. Dia mengelus puncak kepala Zoya dan memintanya untuk bermain denganku di kamar. Zoya yang penurut itu duduk di kasur lantai dan menggelar mainannya. Kubantu dia untuk menyusun replika rumah barbie yang kami beli tempo hari. Setelahnya aku meninggalkan dia bermain seorang diri dan menyusul suamiku. Kurengkuh pinggang Mas Rafli dan kubenamkan wajah di punggungnya. Kurasakan punggungnya naik turun saat bernapas. Mas Rafli menggenggam tanganku erat. Aku tahu sekali, seluruh keluarga ibu mertuaku pasti tengah galau dengan keputusan Dewi. Keteguhannya untuk melaporkan Ardan dan Silvi benar-benar membuat kami tercengang. Memang sebelumnya Mas Rafli pernah mengancam Silvi untuk melaporkannya ke polisi. N
"Mas Rafli nggak ikut, Mbak?" tanyanya sambil menyusun makanan di meja. Tangannya cekatan mengelap piring dan sendok. "Dia ada pekerjaan di luar. Lepas asyar dia baru kemari," jawabku seraya mendekati Dewi. Aku melihat Dewi memasukkan sup ke dalam mangkuk kecil di depannya. Aromanya benar-benar menggugah selera. "Tenang, Mbak. Aku nggak sebodoh itu memasukkan sianida ke dalam makananku. Aku masih waras dan sayang diriku sendiri." Ucapannya nampak lugas yang akhirnya membuatku tertawa. "Aku tak serapuh itu, Mbak. Aku masih punya anak yang butuh ibunya kuat. Mungkin memang seperti ini jalan yang harus kulalui. Meski ke depannya aku tak yakin akan nasib rumah tanggaku. Setidaknya aku pernah berusaha mempertahankannya. Bukankah yang ditakdirkan pergi akan tetap pergi meski sekuat tenaga kita menggenggamnya?" ucap Dewi dengan senyumnya yang merekah."Aku tak mau berpikir bahwa hidupku akan terhenti jika tak ada Mas Ardan. Aku tak boleh memposisikan diriku lemah. Tetapi memang melaporka
Keputusan Bulat Dewi"Maksud Ibu berbagi Mas Ardan dengan anakmu? Apakah aku terlihat sebodoh itu?" Dewi mulai terpancing setelah mendengar penuturan wanita itu. "Dewi, maksud Ibu bukan seperti itu. Kau cantik, cerdas dan keluargamu terpandang. Kau terlihat sangat berharga hingga banyak orang yang menyanjungmu. Kau akan dengan sangat mudah menemukan pengganti Ardan. Lepaskan dia untuk sahabatmu, Dewi. Kasihan, orang seperti kami akan sulit dilihat oleh orang lain. Apa yang akan terjadi dengan kami jika kau pun tak bisa membantu kami? Dewi yang Ibu kenal tak seegois ini. Dewi yang Ibu kenal tak seserakah ini." "Rupanya begitu pandangan kalian terhadapku selama ini?" Dewi mendecih sinis seraya menertawakan dirinya sendiri," rupanya aku sebodoh itu, dimanfaatkan kalian yang tiap saat menjual belas kasihan yang sayangnya tak mampu kutolak. Sepertinya mulai saat ini kalian pikiran nasib kalian sendiri. Yang jelas aku tak akan mencabut laporanku pada suami dan anak perempuanmu!" Silvi d