Sama GilanyaAku menatap punggung Mas Rafli yang masih berdiri di atas balkon kamar. Bahkan Zoya sampai mengekornya ke balkon karena penasaran dengan apa yang dilakukan ayahnya di sana. Tak ada reaksi apapun dari laki-laki itu kecuali hanya senyuman yang tersungging untuk anak sambungnya. Dia mengelus puncak kepala Zoya dan memintanya untuk bermain denganku di kamar. Zoya yang penurut itu duduk di kasur lantai dan menggelar mainannya. Kubantu dia untuk menyusun replika rumah barbie yang kami beli tempo hari. Setelahnya aku meninggalkan dia bermain seorang diri dan menyusul suamiku. Kurengkuh pinggang Mas Rafli dan kubenamkan wajah di punggungnya. Kurasakan punggungnya naik turun saat bernapas. Mas Rafli menggenggam tanganku erat. Aku tahu sekali, seluruh keluarga ibu mertuaku pasti tengah galau dengan keputusan Dewi. Keteguhannya untuk melaporkan Ardan dan Silvi benar-benar membuat kami tercengang. Memang sebelumnya Mas Rafli pernah mengancam Silvi untuk melaporkannya ke polisi. N
"Mas Rafli nggak ikut, Mbak?" tanyanya sambil menyusun makanan di meja. Tangannya cekatan mengelap piring dan sendok. "Dia ada pekerjaan di luar. Lepas asyar dia baru kemari," jawabku seraya mendekati Dewi. Aku melihat Dewi memasukkan sup ke dalam mangkuk kecil di depannya. Aromanya benar-benar menggugah selera. "Tenang, Mbak. Aku nggak sebodoh itu memasukkan sianida ke dalam makananku. Aku masih waras dan sayang diriku sendiri." Ucapannya nampak lugas yang akhirnya membuatku tertawa. "Aku tak serapuh itu, Mbak. Aku masih punya anak yang butuh ibunya kuat. Mungkin memang seperti ini jalan yang harus kulalui. Meski ke depannya aku tak yakin akan nasib rumah tanggaku. Setidaknya aku pernah berusaha mempertahankannya. Bukankah yang ditakdirkan pergi akan tetap pergi meski sekuat tenaga kita menggenggamnya?" ucap Dewi dengan senyumnya yang merekah."Aku tak mau berpikir bahwa hidupku akan terhenti jika tak ada Mas Ardan. Aku tak boleh memposisikan diriku lemah. Tetapi memang melaporka
Keputusan Bulat Dewi"Maksud Ibu berbagi Mas Ardan dengan anakmu? Apakah aku terlihat sebodoh itu?" Dewi mulai terpancing setelah mendengar penuturan wanita itu. "Dewi, maksud Ibu bukan seperti itu. Kau cantik, cerdas dan keluargamu terpandang. Kau terlihat sangat berharga hingga banyak orang yang menyanjungmu. Kau akan dengan sangat mudah menemukan pengganti Ardan. Lepaskan dia untuk sahabatmu, Dewi. Kasihan, orang seperti kami akan sulit dilihat oleh orang lain. Apa yang akan terjadi dengan kami jika kau pun tak bisa membantu kami? Dewi yang Ibu kenal tak seegois ini. Dewi yang Ibu kenal tak seserakah ini." "Rupanya begitu pandangan kalian terhadapku selama ini?" Dewi mendecih sinis seraya menertawakan dirinya sendiri," rupanya aku sebodoh itu, dimanfaatkan kalian yang tiap saat menjual belas kasihan yang sayangnya tak mampu kutolak. Sepertinya mulai saat ini kalian pikiran nasib kalian sendiri. Yang jelas aku tak akan mencabut laporanku pada suami dan anak perempuanmu!" Silvi d
"Jangan berteriak di rumahku. Aku berkata kenyataan. Tak ada fitnah apapun di dalamnya. Aku hanya mengingatkan kalian, jangan-jangan kalian lupa hingga mampu menegakkan kepala setinggi itu padahal noda dan bau busuk mengikuti tubuh kemana pun tubuh kalian pergi!" Lagi-lagi Dewi mengatakan kalimat sarkas untuk kedua wanita beda generasi di depannya. "Aku tak akan pernah mencabut laporanku. Dan aku juga akan tetap menunggu suamiku dan mengembalikannya ke pelukan Tiara kembali sesuai perkataanmu di awal. Dia tak akan kehilangan ayahnya. Tetapi kalian… kupastikan kalian kehilangan semuanya tanpa kecuali. Apapun yang kalian curi akan menguap tanpa sisa."***Ibu mertuaku memeluk Dewi yang terisak hebat saat kedua wanita tak tahu diri itu meninggalkan rumah ini. Mereka kalah dalam perdebatan ini. Tak ada lagi belas kasihan yang biasa Dewi curahkan untuknya. Jika selama ini mereka memanfaatkan adik iparku yang kasihan akan nasib keluarga itu, kini tak lagi. Rasanya memang geram sekali deng
Apa Yang Terjadi Dengannku? Aku menegakkan tubuhku yang mulai merasa kaku di bagian punggung. Perutku yang membesar membuatku kesulitan bergerak. Meski begitu aku tak boleh mengikuti hawa malas. Apalagi ketiga anakku masih butuh bimbingan dariku. Beruntung Zayn dan Ziyan sudha paham dengan kondisi bundanya. Mereka lebih banyak membantuku mengurusi kebutuhan Zoya. Bahkan mereka akan berlari cepat saat mendengar aku yang muntah parah meski usia kandunganku sudah mendekati HPL. Zoya hanya akan tercengang di depan pintu kamar mandi saat dengan tergesa aku memasuki kamar mandi. Dengan lucunya dia akan mengatakan pada kedua anaknya bahwa adik bayi minta keluar dari perut bundanya. Zoya anak yang sangat lembut. Hatinya mudah koyak saat melihatku tak baik-naik saja. Apalagi menurutnya sang adik cukup bandel tak lekas keluar juga meski aku sudah mengeluarkan hampir seluruh isi perutku. Dengan sabar Zayn dan Ziyan memberi pengertian pada adiknya. Kulihat mereka berdua menuntun adiknya keluar
Aku menggelengkan kepala membayangkan hal menakutkan terjadi. Benar-benar aku takut hingga sentuhan Mas Rafli di kedua pundakku cukup membuatku bereaksi kaget. Aku hampir memelintir tangan kekar itu jika tak cepat-cepat mengingat bahwa aku memiliki suami dirinya. "Apa yang kau pikirkan? Kau tak ingin membaginya denganku?"Aku menggelengkan kepala dan menjauhi tubuhnya."Vinda. Apakah kau tak suka dengan kesibukanku akhir-akhir ini mengurusi kasus Dewi?" Pertanyaan bodoh itu sedikit membuatku tersinggung. Tentu saja aku tak keberatan, terlebih Dewi sudah menunjukkan sikap baiknya padaku. Sebagai sesama wanita aku paham dengan penderitaannya. Aku paham bahwa melalui semua ini sendiri akan sangat sulit. Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan, apalagi ada putri mereka yang sangat bergantung pada sang ayah. "Mas. Aku hanya lelah. Aku butuh rehat. Rasanya kehamilanku yang ketiga ini membuatku sedikit kepayahan. Atau memang aku yang terlalu manja. Tidak seperti kehamilan pertama dan kedu
ENDINGTerima Kasih, CintaKutatap wanita berhijab panjang berwarna abu-abu yang tengah menggendong anakku Zafran. Ditimangnya berulang kali sambil berceloteh riang melihat perkembangan anakku. Ya… Anakku yang kini belum genap berusaha sembilan bulan tengah digendong oleh tantenya, Dewi. Aku tersenyum haru melihat perubahan demi perubahan yang terjadi pada adik iparku itu. Jika tadinya Dewi hanya sekedar menutup auratnya saat berpakaian, kini dia benar-benar tak mempersilahkan laki-laki yang bukan mahramnya melihat lekuk tubuhnya. Pakaian syar'i yang dia kenakan sangat sejalan dengan sang suami, Ardan. Laki-laki itu nampak lebih baik sekembalinya dari penjara. Khayal memang, tak semua wanita menerima suaminya kembali yang bisa dibilang cacat moral. Dari Dewi aku belajar tentang kerendahan hati yang dia tunjukkan saat memaafkan Ardan. Bukan bodoh bertahan dengan suami yang sudah menghianati, tetapi memberi kesempatan pada orang yang sudah berubah pun tidak menjadi masalah. Tentu saj
Aku mengangguk. Kulihat Mas Rafli memeluk Ardan dan menepuk punggungnya. Entah apa yang dibicarakan kedua laki-laki itu. Sorot mata Mas Rafli tak bisa menyembunyikan rasa bangga sekaligus kekaguman pada adik iparnya. Laki-laki yang kini memutuskan membuka toko itu terlihat lebih dewasa dari sebelumnya. Aku menggendong Zafran dan Mas Rafli menuntun Zoya kami ke depan. Kami mengantar kepergian Dewi dan keluarganya hingga menaiki mobil. Tak lama, mobil sedan yang dikendarai Ardan melaju perlahan meninggalkan halaman rumah kami. Aku dan Mas Rafli terdiam, larut dalam pemikiran masing-masing. Kudengar embusan napas perlahan dari suamiku. Kulihat wajahnya yang memancarkan kebahagiaan melepas adik perempuan yang kini hidup sangat bahagia. Jika kakaknya saja bahagia luar biasa, apalagi ibu. Aku yakin Dewi yang kuat dan cerdas itu menuruni sifat ibu mertuaku. Dewi terbiasa sejak kecil melihat betapa kuat wanita yang telah melahirkan suamiku ke dunia ini. Didikan dari ibunya yang penuh kasih
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa