"Sekali lagi kau berusaha menyakiti menantuku, kurontokkan habis gigimu itu. Kucabik wajah kemayumu agar kau tak punya keberanian lagi menampakkan wajahmu di depan banyak orang, j*lang!" Bu Maya mendorong tubuh Silvi hingga dia terduduk di sofa. Wajahnya merah padam saat melayangkan tatapannya ke wajah wanita tak tahu diri itu. "Dengarkan keputusan Dewi, karena apapun yang dia putuskan Ibu akan ikut!" Ardan tertunduk dengan lemas. "Tapi, Bu. Aku tak pernah menginginkan wanita itu! Dia menjebakku! Dia yang terus menerus menggodaku. Tolong, Bu. Bujuk Dewi. Aku tidak mau rumah tangga kami berantakan karena wanita sial*n ini!" Ardan menuding wajah Silvi dengan sangat kasar. Jika aku menjadi Silvi, sudah pasti aku tak mampu lagi menampakkan wajahku di depan orang karena begitu terhina diperlakukan seperti itu. "Kau sungguh pengecut, Mas! Aku tak menyangka kau akan bersikap seperti ini! Bahkan baru tadi pagi kita melakukannya, dan sekarang kau berkata begitu menghinaku? Kau keterlalua
Sama GilanyaAku menatap punggung Mas Rafli yang masih berdiri di atas balkon kamar. Bahkan Zoya sampai mengekornya ke balkon karena penasaran dengan apa yang dilakukan ayahnya di sana. Tak ada reaksi apapun dari laki-laki itu kecuali hanya senyuman yang tersungging untuk anak sambungnya. Dia mengelus puncak kepala Zoya dan memintanya untuk bermain denganku di kamar. Zoya yang penurut itu duduk di kasur lantai dan menggelar mainannya. Kubantu dia untuk menyusun replika rumah barbie yang kami beli tempo hari. Setelahnya aku meninggalkan dia bermain seorang diri dan menyusul suamiku. Kurengkuh pinggang Mas Rafli dan kubenamkan wajah di punggungnya. Kurasakan punggungnya naik turun saat bernapas. Mas Rafli menggenggam tanganku erat. Aku tahu sekali, seluruh keluarga ibu mertuaku pasti tengah galau dengan keputusan Dewi. Keteguhannya untuk melaporkan Ardan dan Silvi benar-benar membuat kami tercengang. Memang sebelumnya Mas Rafli pernah mengancam Silvi untuk melaporkannya ke polisi. N
"Mas Rafli nggak ikut, Mbak?" tanyanya sambil menyusun makanan di meja. Tangannya cekatan mengelap piring dan sendok. "Dia ada pekerjaan di luar. Lepas asyar dia baru kemari," jawabku seraya mendekati Dewi. Aku melihat Dewi memasukkan sup ke dalam mangkuk kecil di depannya. Aromanya benar-benar menggugah selera. "Tenang, Mbak. Aku nggak sebodoh itu memasukkan sianida ke dalam makananku. Aku masih waras dan sayang diriku sendiri." Ucapannya nampak lugas yang akhirnya membuatku tertawa. "Aku tak serapuh itu, Mbak. Aku masih punya anak yang butuh ibunya kuat. Mungkin memang seperti ini jalan yang harus kulalui. Meski ke depannya aku tak yakin akan nasib rumah tanggaku. Setidaknya aku pernah berusaha mempertahankannya. Bukankah yang ditakdirkan pergi akan tetap pergi meski sekuat tenaga kita menggenggamnya?" ucap Dewi dengan senyumnya yang merekah."Aku tak mau berpikir bahwa hidupku akan terhenti jika tak ada Mas Ardan. Aku tak boleh memposisikan diriku lemah. Tetapi memang melaporka
Keputusan Bulat Dewi"Maksud Ibu berbagi Mas Ardan dengan anakmu? Apakah aku terlihat sebodoh itu?" Dewi mulai terpancing setelah mendengar penuturan wanita itu. "Dewi, maksud Ibu bukan seperti itu. Kau cantik, cerdas dan keluargamu terpandang. Kau terlihat sangat berharga hingga banyak orang yang menyanjungmu. Kau akan dengan sangat mudah menemukan pengganti Ardan. Lepaskan dia untuk sahabatmu, Dewi. Kasihan, orang seperti kami akan sulit dilihat oleh orang lain. Apa yang akan terjadi dengan kami jika kau pun tak bisa membantu kami? Dewi yang Ibu kenal tak seegois ini. Dewi yang Ibu kenal tak seserakah ini." "Rupanya begitu pandangan kalian terhadapku selama ini?" Dewi mendecih sinis seraya menertawakan dirinya sendiri," rupanya aku sebodoh itu, dimanfaatkan kalian yang tiap saat menjual belas kasihan yang sayangnya tak mampu kutolak. Sepertinya mulai saat ini kalian pikiran nasib kalian sendiri. Yang jelas aku tak akan mencabut laporanku pada suami dan anak perempuanmu!" Silvi d
"Jangan berteriak di rumahku. Aku berkata kenyataan. Tak ada fitnah apapun di dalamnya. Aku hanya mengingatkan kalian, jangan-jangan kalian lupa hingga mampu menegakkan kepala setinggi itu padahal noda dan bau busuk mengikuti tubuh kemana pun tubuh kalian pergi!" Lagi-lagi Dewi mengatakan kalimat sarkas untuk kedua wanita beda generasi di depannya. "Aku tak akan pernah mencabut laporanku. Dan aku juga akan tetap menunggu suamiku dan mengembalikannya ke pelukan Tiara kembali sesuai perkataanmu di awal. Dia tak akan kehilangan ayahnya. Tetapi kalian… kupastikan kalian kehilangan semuanya tanpa kecuali. Apapun yang kalian curi akan menguap tanpa sisa."***Ibu mertuaku memeluk Dewi yang terisak hebat saat kedua wanita tak tahu diri itu meninggalkan rumah ini. Mereka kalah dalam perdebatan ini. Tak ada lagi belas kasihan yang biasa Dewi curahkan untuknya. Jika selama ini mereka memanfaatkan adik iparku yang kasihan akan nasib keluarga itu, kini tak lagi. Rasanya memang geram sekali deng
Apa Yang Terjadi Dengannku? Aku menegakkan tubuhku yang mulai merasa kaku di bagian punggung. Perutku yang membesar membuatku kesulitan bergerak. Meski begitu aku tak boleh mengikuti hawa malas. Apalagi ketiga anakku masih butuh bimbingan dariku. Beruntung Zayn dan Ziyan sudha paham dengan kondisi bundanya. Mereka lebih banyak membantuku mengurusi kebutuhan Zoya. Bahkan mereka akan berlari cepat saat mendengar aku yang muntah parah meski usia kandunganku sudah mendekati HPL. Zoya hanya akan tercengang di depan pintu kamar mandi saat dengan tergesa aku memasuki kamar mandi. Dengan lucunya dia akan mengatakan pada kedua anaknya bahwa adik bayi minta keluar dari perut bundanya. Zoya anak yang sangat lembut. Hatinya mudah koyak saat melihatku tak baik-naik saja. Apalagi menurutnya sang adik cukup bandel tak lekas keluar juga meski aku sudah mengeluarkan hampir seluruh isi perutku. Dengan sabar Zayn dan Ziyan memberi pengertian pada adiknya. Kulihat mereka berdua menuntun adiknya keluar
Aku menggelengkan kepala membayangkan hal menakutkan terjadi. Benar-benar aku takut hingga sentuhan Mas Rafli di kedua pundakku cukup membuatku bereaksi kaget. Aku hampir memelintir tangan kekar itu jika tak cepat-cepat mengingat bahwa aku memiliki suami dirinya. "Apa yang kau pikirkan? Kau tak ingin membaginya denganku?"Aku menggelengkan kepala dan menjauhi tubuhnya."Vinda. Apakah kau tak suka dengan kesibukanku akhir-akhir ini mengurusi kasus Dewi?" Pertanyaan bodoh itu sedikit membuatku tersinggung. Tentu saja aku tak keberatan, terlebih Dewi sudah menunjukkan sikap baiknya padaku. Sebagai sesama wanita aku paham dengan penderitaannya. Aku paham bahwa melalui semua ini sendiri akan sangat sulit. Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan, apalagi ada putri mereka yang sangat bergantung pada sang ayah. "Mas. Aku hanya lelah. Aku butuh rehat. Rasanya kehamilanku yang ketiga ini membuatku sedikit kepayahan. Atau memang aku yang terlalu manja. Tidak seperti kehamilan pertama dan kedu
ENDINGTerima Kasih, CintaKutatap wanita berhijab panjang berwarna abu-abu yang tengah menggendong anakku Zafran. Ditimangnya berulang kali sambil berceloteh riang melihat perkembangan anakku. Ya… Anakku yang kini belum genap berusaha sembilan bulan tengah digendong oleh tantenya, Dewi. Aku tersenyum haru melihat perubahan demi perubahan yang terjadi pada adik iparku itu. Jika tadinya Dewi hanya sekedar menutup auratnya saat berpakaian, kini dia benar-benar tak mempersilahkan laki-laki yang bukan mahramnya melihat lekuk tubuhnya. Pakaian syar'i yang dia kenakan sangat sejalan dengan sang suami, Ardan. Laki-laki itu nampak lebih baik sekembalinya dari penjara. Khayal memang, tak semua wanita menerima suaminya kembali yang bisa dibilang cacat moral. Dari Dewi aku belajar tentang kerendahan hati yang dia tunjukkan saat memaafkan Ardan. Bukan bodoh bertahan dengan suami yang sudah menghianati, tetapi memberi kesempatan pada orang yang sudah berubah pun tidak menjadi masalah. Tentu saj