"Jangan berteriak di rumahku. Aku berkata kenyataan. Tak ada fitnah apapun di dalamnya. Aku hanya mengingatkan kalian, jangan-jangan kalian lupa hingga mampu menegakkan kepala setinggi itu padahal noda dan bau busuk mengikuti tubuh kemana pun tubuh kalian pergi!" Lagi-lagi Dewi mengatakan kalimat sarkas untuk kedua wanita beda generasi di depannya. "Aku tak akan pernah mencabut laporanku. Dan aku juga akan tetap menunggu suamiku dan mengembalikannya ke pelukan Tiara kembali sesuai perkataanmu di awal. Dia tak akan kehilangan ayahnya. Tetapi kalian… kupastikan kalian kehilangan semuanya tanpa kecuali. Apapun yang kalian curi akan menguap tanpa sisa."***Ibu mertuaku memeluk Dewi yang terisak hebat saat kedua wanita tak tahu diri itu meninggalkan rumah ini. Mereka kalah dalam perdebatan ini. Tak ada lagi belas kasihan yang biasa Dewi curahkan untuknya. Jika selama ini mereka memanfaatkan adik iparku yang kasihan akan nasib keluarga itu, kini tak lagi. Rasanya memang geram sekali deng
Apa Yang Terjadi Dengannku? Aku menegakkan tubuhku yang mulai merasa kaku di bagian punggung. Perutku yang membesar membuatku kesulitan bergerak. Meski begitu aku tak boleh mengikuti hawa malas. Apalagi ketiga anakku masih butuh bimbingan dariku. Beruntung Zayn dan Ziyan sudha paham dengan kondisi bundanya. Mereka lebih banyak membantuku mengurusi kebutuhan Zoya. Bahkan mereka akan berlari cepat saat mendengar aku yang muntah parah meski usia kandunganku sudah mendekati HPL. Zoya hanya akan tercengang di depan pintu kamar mandi saat dengan tergesa aku memasuki kamar mandi. Dengan lucunya dia akan mengatakan pada kedua anaknya bahwa adik bayi minta keluar dari perut bundanya. Zoya anak yang sangat lembut. Hatinya mudah koyak saat melihatku tak baik-naik saja. Apalagi menurutnya sang adik cukup bandel tak lekas keluar juga meski aku sudah mengeluarkan hampir seluruh isi perutku. Dengan sabar Zayn dan Ziyan memberi pengertian pada adiknya. Kulihat mereka berdua menuntun adiknya keluar
Aku menggelengkan kepala membayangkan hal menakutkan terjadi. Benar-benar aku takut hingga sentuhan Mas Rafli di kedua pundakku cukup membuatku bereaksi kaget. Aku hampir memelintir tangan kekar itu jika tak cepat-cepat mengingat bahwa aku memiliki suami dirinya. "Apa yang kau pikirkan? Kau tak ingin membaginya denganku?"Aku menggelengkan kepala dan menjauhi tubuhnya."Vinda. Apakah kau tak suka dengan kesibukanku akhir-akhir ini mengurusi kasus Dewi?" Pertanyaan bodoh itu sedikit membuatku tersinggung. Tentu saja aku tak keberatan, terlebih Dewi sudah menunjukkan sikap baiknya padaku. Sebagai sesama wanita aku paham dengan penderitaannya. Aku paham bahwa melalui semua ini sendiri akan sangat sulit. Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan, apalagi ada putri mereka yang sangat bergantung pada sang ayah. "Mas. Aku hanya lelah. Aku butuh rehat. Rasanya kehamilanku yang ketiga ini membuatku sedikit kepayahan. Atau memang aku yang terlalu manja. Tidak seperti kehamilan pertama dan kedu
ENDINGTerima Kasih, CintaKutatap wanita berhijab panjang berwarna abu-abu yang tengah menggendong anakku Zafran. Ditimangnya berulang kali sambil berceloteh riang melihat perkembangan anakku. Ya… Anakku yang kini belum genap berusaha sembilan bulan tengah digendong oleh tantenya, Dewi. Aku tersenyum haru melihat perubahan demi perubahan yang terjadi pada adik iparku itu. Jika tadinya Dewi hanya sekedar menutup auratnya saat berpakaian, kini dia benar-benar tak mempersilahkan laki-laki yang bukan mahramnya melihat lekuk tubuhnya. Pakaian syar'i yang dia kenakan sangat sejalan dengan sang suami, Ardan. Laki-laki itu nampak lebih baik sekembalinya dari penjara. Khayal memang, tak semua wanita menerima suaminya kembali yang bisa dibilang cacat moral. Dari Dewi aku belajar tentang kerendahan hati yang dia tunjukkan saat memaafkan Ardan. Bukan bodoh bertahan dengan suami yang sudah menghianati, tetapi memberi kesempatan pada orang yang sudah berubah pun tidak menjadi masalah. Tentu saj
Aku mengangguk. Kulihat Mas Rafli memeluk Ardan dan menepuk punggungnya. Entah apa yang dibicarakan kedua laki-laki itu. Sorot mata Mas Rafli tak bisa menyembunyikan rasa bangga sekaligus kekaguman pada adik iparnya. Laki-laki yang kini memutuskan membuka toko itu terlihat lebih dewasa dari sebelumnya. Aku menggendong Zafran dan Mas Rafli menuntun Zoya kami ke depan. Kami mengantar kepergian Dewi dan keluarganya hingga menaiki mobil. Tak lama, mobil sedan yang dikendarai Ardan melaju perlahan meninggalkan halaman rumah kami. Aku dan Mas Rafli terdiam, larut dalam pemikiran masing-masing. Kudengar embusan napas perlahan dari suamiku. Kulihat wajahnya yang memancarkan kebahagiaan melepas adik perempuan yang kini hidup sangat bahagia. Jika kakaknya saja bahagia luar biasa, apalagi ibu. Aku yakin Dewi yang kuat dan cerdas itu menuruni sifat ibu mertuaku. Dewi terbiasa sejak kecil melihat betapa kuat wanita yang telah melahirkan suamiku ke dunia ini. Didikan dari ibunya yang penuh kasih
EKSTRA PART ( Kami Membutuhkanmu, Mas)Dengkuran halus Mas Rafli sampai di telingaku. Jam di dinding yang menghadap langsung ke arah tempat tidur sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia hanya bangun sebentar untuk menunaikan salat subuh kemudian melanjutkan kembali tidurnya. Mas Rafli pulang hampir jam satu dini hari setelah meninjau proyek pembangunan swalayan yang akhir-akhir ini kudengar sedikit bermasalah. Aku mengetahui pembangunan tersebut bermasalah bukan darinya langsung, melainkan aku yang sempat mendengarnya secara tak sengaja saat dia tengah berbicara dengan orang kepercayaannya. Pantas saja wajahnya itu terlihat amat kelelahan. Bahkan dengkurannya pun bisa menunjukkan betapa letihnya dia menghadapi permasalahannya tanpa berniat membagikannya denganku. Terkadang aku membenci sifatnya yang satu itu. Entah karena khawatir dengan kondisi diriku yang menurutnya rawan stres akibat memiliki bayi kecil dan kakak-kakaknya yang masih membutuhkan ibunya, atau memang dia tak memp
Laki-laki itu menghentikan gerakan tangannya yang tengah mengeringkan rambutnya. “Lagi?” tanyanya dengan suara heran. Ya, Ibu memang baru dua hari yang lalu kemari. Pantas saja lelaki itu menampilkan wajahnya yang lucu. “Mas….”“Minta saja dia pindah kemari. Malah kalau bisa tidur di kamar kita, menggantikan posisiku tidur bersama kau dan Zafran,” ujarnya dengan suara menggerutu. Aku tersenyum. Ekspresi wajahnya benar-benar lucu. “Namanya juga baru punya cucu, Mas. Nggak boleh seperti itu. Nanti dia tersinggung,” jawabku sambil berlalu. Namun baru saja akan keluar, laki-laki itu meraih pinggangku hingga membuat gerakanku terkunci seketika. “Mumpung ada Ibu, ada yang jaga Zoya dan Zafran. Kau di sini, temani Mas.” Deru napas lelaki itu menerpa telingaku. Aku sedikit menjauhkan tubuhku darinya. “Maafkan aku, Vinda. Akhir-akhir ini aku terlampau sibuk. Banyak sekali hal yang harus kuselesaikan.” Wajah yang semula penuh senyum itu perlahan memudar. Sorot wajahnya terlihat serius. Kua
"Kan… Apa kubilang. Mas terlalu memikirkan orang lain. Mas Rafli orang yang amat penyayang pada siapapun. Tetapi tak bisakah kau menyayangi dirimu sendiri? Tidakkah Mas kasihan padaku dan anak-anak?" "Sayang….""Kalau Mas terus-menerus seperti ini maka secara tak langsung Mas Rafli sudah mendzolimi istri dan anak-anakmu."Laki-laki itu tercekat. Kalimatku berhasil menyentil dirinya. "Mas terlalu sibuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Memang uang itu untuk kami. Tapi waktu yang Mas berikan menjadi terpangkas. Bisakah Mas memikirkan sampai ke arah sana?" Wajah itu bersemu merah. Kurasa dia tengah menahan malu akibat kuungkit semua ini. "Saatnya meredakan beban pikiran. Saatnya merefresh pikiran. Saatnya Mas beristirahat. Luangkan waktu bermain dengan anak-anak. Kau tahu, bahkan Zoya berkali-kali kecewa mendapati ayahnya tak berada di kamar sesuai prediksinya. Mas sadar berapa lama Mas sibuk mengurusi proyek ini?" Mas Rafli menatapku dalam-dalam. Aku tersenyum sambil menunjukkan angka