Panggilan dari Tante Desi seketika membuatku berdebar. Tidak tahu mengapa, tapi rasanya ada firasat buruk saja. Ketika kuangkat, ternyata memang benar. Aku semakin gugup dan cemas karena mendengarnya tersedu.
“Tante kenapa?” tanyaku yang tidak mau menduga-duga.
“Mila, pamanmu sudah dipanggil yang kuasa. Dokter baru menyampaikan kabar ini, Mila...”
“Innalillahi... Ya Allah paman Rasyid!” kembali air mataku tumpah lagi.
Ya Allah, tidak bisakah satu-satu datangnya duka ini? Kenapa seolah tidak ada jeda untuk kesedihan yang bertubi-tubi menimpaku?
Kutenangkan diriku sambil mencari tahu di mana jenazah paman akan disemayamkan sebelum di makamkan.
Saat menghubungi Roni putra pamanku, Dia memberitahuku bahwa mereka sudah kembali menempati rumah mereka beberapa hari yang lalu.
Katanya lagi ada yang memberikan jaminan sehingga pihak bank mencabut status rumah yang disita itu.
Aku mendampingi ibuku yang masih begitu sedih ikut mengantar jenazah paman sampai dikebumikan di pemakaman umum.Tante Desi tidak ikut dengan alasan kepalanya pusing dan para tetangga memakluminya karena mengira tante sangat terpukul atas meninggalnya pamanku itu.Keluarga Tante Desi yang biasanya kalau ada apa-apa datang, kini satupun tidak ada yang terlihat.Seperti Reva yang pernah dibela-belain paman sampai memelas ke rumah pagi-pagi agar aku mau membantunya, sekarang di mana dia dan keluarganya?Hanya Toni putra bungsu paman yang berhasil kubujuk untuk ikut mengantar papanya sampai ke liang lahat.Sementara sang kakak, sudahlah, aku tidak mau menambah pening kepalaku dengan memikirkan sikap pemuda tanggung itu.Ketika acara pemakaman, aku bisa melihat bocah yang baru beranjak remaja itu tertunduk sedih melihat ayahnya dimasukan ke makam.Jadi, kubagi perhatianku antara ibu dan Toni. mengelus punggung Toni untuk menenangkannya.“Sabar ya, Ton. Ikhlaskan papa, ya?” tuturku sambil
“Mila, tasmu ada di mobilku. Kau dan ibu masuk saja di mobilku.”Deg!Aku terkejut ketika Ramzi dengan cepat menghampiri aku dan ibu. Padahal ada Ed di tempat yang sama.Tadi karena kedatangan kami bersamaan dengan jenazah paman yang diturunkan dari mobil ambulance, aku jadi terburu-buru keluar mobil Ramzi hingga melupakan tasku.Sampai-sampai aku tidak tahu ibu berulangkali menghubungiku. Karenanya ibu malah menghubungi Ed.Kehadiran Ramzi tentu saja membuat Ibu terkejut. Ibu pasti berpikir, bagaimana aku bisa menumpang di mobil Ramzi setelah pria ini sudah menggagalkan pernikahan kami. Padahal suamiku juga tidak sedang repot saat dihubunginya tadi. “Mila, kenapa ada Ramzi di sini?” Ibu berbisik sambil menyenggol lenganku meminta penjelasan. Dia baru menyadari keberadaan Ramzi karena sejak tadi hanya fokus pada pemakaman paman.“Nanti Mila jelaskan ya, Bu,” ujarku yang kemudian tidak sengaja bersitatap dengan Ed. Sekilas kuperhatikan ekspresi wajah dingin Ed menyeruak saat memba
“Ed lepaskan aku!”Aku tidak mengizinkan pria itu masih memperlakukanku sebagai istrinya setelah apa yang telah terjadi.Kucoba membuka kedua lengan kekar itu, namun Ed justru mengendus ceruk leherku.“Ed kau tidak mau kan aku berteriak-teriak lagi seperti tadi. Ada Ibu di dalam kamar.”Aku mengingatkan pria ini agar tidak terus melakukan semau hatinya.Hatiku sudah hancur dengan semua kenyataan ini, tidak akan mempan lagi dengan pelukan-pelukan yang dulu sangat kurindukan.Aku tidak lupa apa yang sudah kulihat kemarin. Dan karena hal itu, membuatku justru benci diperlakukan begini. Harus dipeluk oleh tangan yang juga memeluk wanita lain.Mendengarku mengeluh Ed melonggarkan kedua tangannya. Kuambil kesempatan ini untuk segera berlalu.“Intinya, kau lebih percaya Ramzi?” ucapnya memilih kata sederhana itu untuk meminta perhatianku.Karena pertanyaan itu, aku pun menghentikan langkah untuk sekedar menyangkalnya.Pria ini licik sekali memaksaku bersedia bicara dengannya dengan sangkaan
“Mila, suamimu hanya pergi menjemput bapakmu. Kau sudah tampak berat sekali.”Ibu tiba-tiba menghampiriku yang sedang menatap kepergian Ed. Dia mencandaiku dengan menyenggol bahuku.Melihat ibu yang malah senyum-senyum itu aku menduga pasti dia melihatku berlari memeluk Ed tadi. Lalu yang dibayangkannya, aku sedang bermanja-manja tidak mau berpisah dengannya.Kalau dalam situasi begini, hal itu sungguh menggelikan bagiku. “Oh, aku akan membuatkan teh untuk ibu.”Kualihkan pembicaraan dengan memilih tidak menyahuti candaan ibu. Aku berjalan ke meja dapur karena belum membuatkannya teh.Padahal ibu sudah selesai mandai semantara sejak tadi malah ribet dengan pria menyebalkan itu sampai belum sempat membuatkannya teh.Setelah kubuat, kusodorkan teh di meja dan ibu tersenyum menerimanya.“Siapa kira pamanmu pergi secepat ini, padahal dia sempat mengatakan pada ibu sebelum jatuh sakit ingin balik ke kampung saja dan tinggal di sana.” Ibu kembali sedih mengenang kakak laki-lakinya itu.
“Tidak ada yang tidur di luar,” tukas Ed yang ikut bangkit.Dia berjalan merangkul pinggangku dengan cepat membawaku masuk ke kamar dan tidak memberiku kesempatan menghindarinya.“Jangan begini, Ed!” aku menolak pria itu dengan sisa-sisa kesalku yang tidak rela kusudahi.“Apa lagi yang masih membuatmu kesal, Mila?”“Tidak perlu dibahas kalau kau amnesia. Aku juga tidak berniat membahasnya.”Karena muak aku mengabaikan Ed dan memilih masuk kamar mandi saja.Kuguyur tubuhku dengan shower dan membiarkan pria di luar kamar mandi itu jemu menungguku.Kalau masalah mandi, aku bisa kok sampai berjam-jam mandi. Jangan tanya tingkat ketahananku dengan suhu di kamar mandi. Kampungku ada di lereng gunung, jadi sedingin apapun suhu di kota ini, tidak terlalu ngaruh padaku.
“Mila, kau masih kembali ke rumah suamimu itu?” tanya Tante Desi saat panggilan tersambung.Untuk apa juga tiba-tiba wanita ini membahas tentangku.“Benar, Tante. Ada apa?” tanyaku sedikit malas.“Gila kamu! Dia sudah jelas-jelas berselingkuh untuk apa kau kembali padanya? Jangan bodoh deh, Mila!” “Tante, Ini sudah malam. Aku mengantuk!” aku tidak bersedia membahas hal itu ketika ragaku lelah.“Kalau begitu aku kasih tahu ibumu itu biar dia sadar, seperti apa menantunya itu. Heran saja sama kamu sudah nyata-nyata diselingkuhi tapi masih juga pulang ke suamimu. Jadi perempuan punya harga diri sedikit napa?”Aku menggeleng tidak mengerti kenapa wanita ini tiba-tiba sok perhatian dengan masalah rumah tanggaku.“Baiklah, Tante. Besok kita bicarakan hal ini lagi, ya. Aku lelah sekali,” kataku pada wanita itu agar tidak berlanjut membuatku tidak bisa tidur.Sepertinya tante tidak menyahut, jadi aku akhiri saja panggilan itu dengan merijeknya.Aku tidak berbohong saat mengatakan sedang lel
“Ibu apa-apaan sih? Apa boleh pergi begitu saja tanpa pamit?”Aku sedikit memprotes sikap kedua orang tuaku itu, sesaat sampai di rumah Tante Desi.Apa mereka tidak bisa sebentar menunggu Ed datang untuk berpamitan. Setidaknya membiarkanku menghubunginya dulu ‘kan bisa.Teringat itu aku langsung mencari-cari ponselku.Astaga,Bahkan ponselku tertinggal di rumah Ed.“Apa ponselmu ketinggalan?” Ramzi yang baru masuk ke rumah tante ikutan menyahut.“Tidak perlu dipikirkan lagi, nanti aku bisa membelikanmu ponsel baru. Sepertinya ponselmu itu masih sama dengan sebelumnya. Pria itu pelit sekali padamu,” tukas Ramzi belum-belum sudah menyindir Ed.“Aku yang tidak mau.” Kujelaskan itu pada Ramzi karena tidak sepakat dia menjuluki Ed pelit. Bahkan kartu keuangannya diberikan padaku.“Hhg, kalau benar dia mencintaimu, ya bagaimana caranya gitu bisa memberikan yang terbaik untukmu. Bukannya malah pura-pura miskin. Pasti dia takut kau mlorotin uangnya.” Ramzi terus membuat citra Ed semakin melor
Dokter yang menangani mengatakan aku megalamai Anemia Defisiensi dan menyarankan agar aku berhenti beraktifitas berat selama tiga sampai enam bulan.Padahal aku sudah berencana ingin mencari pekerjaan selepas ini agar bisa hidup mandiri tanpa nelangsa ketika merasa terbuang oleh pria-pria tak berperasaan itu.Lagi pula, tidak enak saja terus di rumah sakit ini karena Ramzilah yang menanggung biayanya.Meski aku sedang bermasalah dengan Ed, bukan berarti aku akan dengan rela kembali lagi padanya.“Besok kita keluar ya, Bu?” ujarku pada ibuku.Aku masih ada tempat kos untuk beristirahat di sana. Bapak sambungku juga sudah balik ke kampung karena harus menggarap kebunnya. Jadi kalau hanya dengan ibu, tempat kos itu masih cukuplah.“Kalau HB-mu sudah normal ibu juga sudah tidak betah terus di sini, Mila. Tapi kata dokter kamu masih lemah,” ujar ibu mengelus lenganku, sedih melihatku yang belum juga bisa dikatakan membaik.Beberapa saran d