“Mila, suamimu hanya pergi menjemput bapakmu. Kau sudah tampak berat sekali.”Ibu tiba-tiba menghampiriku yang sedang menatap kepergian Ed. Dia mencandaiku dengan menyenggol bahuku.Melihat ibu yang malah senyum-senyum itu aku menduga pasti dia melihatku berlari memeluk Ed tadi. Lalu yang dibayangkannya, aku sedang bermanja-manja tidak mau berpisah dengannya.Kalau dalam situasi begini, hal itu sungguh menggelikan bagiku. “Oh, aku akan membuatkan teh untuk ibu.”Kualihkan pembicaraan dengan memilih tidak menyahuti candaan ibu. Aku berjalan ke meja dapur karena belum membuatkannya teh.Padahal ibu sudah selesai mandai semantara sejak tadi malah ribet dengan pria menyebalkan itu sampai belum sempat membuatkannya teh.Setelah kubuat, kusodorkan teh di meja dan ibu tersenyum menerimanya.“Siapa kira pamanmu pergi secepat ini, padahal dia sempat mengatakan pada ibu sebelum jatuh sakit ingin balik ke kampung saja dan tinggal di sana.” Ibu kembali sedih mengenang kakak laki-lakinya itu.
“Tidak ada yang tidur di luar,” tukas Ed yang ikut bangkit.Dia berjalan merangkul pinggangku dengan cepat membawaku masuk ke kamar dan tidak memberiku kesempatan menghindarinya.“Jangan begini, Ed!” aku menolak pria itu dengan sisa-sisa kesalku yang tidak rela kusudahi.“Apa lagi yang masih membuatmu kesal, Mila?”“Tidak perlu dibahas kalau kau amnesia. Aku juga tidak berniat membahasnya.”Karena muak aku mengabaikan Ed dan memilih masuk kamar mandi saja.Kuguyur tubuhku dengan shower dan membiarkan pria di luar kamar mandi itu jemu menungguku.Kalau masalah mandi, aku bisa kok sampai berjam-jam mandi. Jangan tanya tingkat ketahananku dengan suhu di kamar mandi. Kampungku ada di lereng gunung, jadi sedingin apapun suhu di kota ini, tidak terlalu ngaruh padaku.
“Mila, kau masih kembali ke rumah suamimu itu?” tanya Tante Desi saat panggilan tersambung.Untuk apa juga tiba-tiba wanita ini membahas tentangku.“Benar, Tante. Ada apa?” tanyaku sedikit malas.“Gila kamu! Dia sudah jelas-jelas berselingkuh untuk apa kau kembali padanya? Jangan bodoh deh, Mila!” “Tante, Ini sudah malam. Aku mengantuk!” aku tidak bersedia membahas hal itu ketika ragaku lelah.“Kalau begitu aku kasih tahu ibumu itu biar dia sadar, seperti apa menantunya itu. Heran saja sama kamu sudah nyata-nyata diselingkuhi tapi masih juga pulang ke suamimu. Jadi perempuan punya harga diri sedikit napa?”Aku menggeleng tidak mengerti kenapa wanita ini tiba-tiba sok perhatian dengan masalah rumah tanggaku.“Baiklah, Tante. Besok kita bicarakan hal ini lagi, ya. Aku lelah sekali,” kataku pada wanita itu agar tidak berlanjut membuatku tidak bisa tidur.Sepertinya tante tidak menyahut, jadi aku akhiri saja panggilan itu dengan merijeknya.Aku tidak berbohong saat mengatakan sedang lel
“Ibu apa-apaan sih? Apa boleh pergi begitu saja tanpa pamit?”Aku sedikit memprotes sikap kedua orang tuaku itu, sesaat sampai di rumah Tante Desi.Apa mereka tidak bisa sebentar menunggu Ed datang untuk berpamitan. Setidaknya membiarkanku menghubunginya dulu ‘kan bisa.Teringat itu aku langsung mencari-cari ponselku.Astaga,Bahkan ponselku tertinggal di rumah Ed.“Apa ponselmu ketinggalan?” Ramzi yang baru masuk ke rumah tante ikutan menyahut.“Tidak perlu dipikirkan lagi, nanti aku bisa membelikanmu ponsel baru. Sepertinya ponselmu itu masih sama dengan sebelumnya. Pria itu pelit sekali padamu,” tukas Ramzi belum-belum sudah menyindir Ed.“Aku yang tidak mau.” Kujelaskan itu pada Ramzi karena tidak sepakat dia menjuluki Ed pelit. Bahkan kartu keuangannya diberikan padaku.“Hhg, kalau benar dia mencintaimu, ya bagaimana caranya gitu bisa memberikan yang terbaik untukmu. Bukannya malah pura-pura miskin. Pasti dia takut kau mlorotin uangnya.” Ramzi terus membuat citra Ed semakin melor
Dokter yang menangani mengatakan aku megalamai Anemia Defisiensi dan menyarankan agar aku berhenti beraktifitas berat selama tiga sampai enam bulan.Padahal aku sudah berencana ingin mencari pekerjaan selepas ini agar bisa hidup mandiri tanpa nelangsa ketika merasa terbuang oleh pria-pria tak berperasaan itu.Lagi pula, tidak enak saja terus di rumah sakit ini karena Ramzilah yang menanggung biayanya.Meski aku sedang bermasalah dengan Ed, bukan berarti aku akan dengan rela kembali lagi padanya.“Besok kita keluar ya, Bu?” ujarku pada ibuku.Aku masih ada tempat kos untuk beristirahat di sana. Bapak sambungku juga sudah balik ke kampung karena harus menggarap kebunnya. Jadi kalau hanya dengan ibu, tempat kos itu masih cukuplah.“Kalau HB-mu sudah normal ibu juga sudah tidak betah terus di sini, Mila. Tapi kata dokter kamu masih lemah,” ujar ibu mengelus lenganku, sedih melihatku yang belum juga bisa dikatakan membaik.Beberapa saran d
“Aku memilihkan nomor cantik untukmu, Mila. Kau bisa langsung menggunakannya. Sudah ada nomorku dan nomor ibu. “ Ramzi membuka box ponsel itu dan mengeluarkan benda pipih itu.Aku enggan menerimanya.Ibu kembali mengingatkan, “Ambil saja Mila. Ramzi sejak kemarin sudah membelikannya untukmu. Tapi menunggumu baikan dulu.”Kulirik ibuku dengan sedikit protes. Apa itu sebuah isyarat bahwa dia ingin aku kembali lagi pada Ramzi?Bagaimana aku bisa memikirkan tentang hal itu?Memikirkan rumah tanggaku saja aku pusing. “Aku sedih sekali kau tidak mau menerimanya, Mila.” Ramzi merajuk."Apa sebegitu buruknya aku di matamu hingga menerima pemberianku saja tidak mau?" tambahnya.Jadi, daripada malah berpanjang lebar, terpaksa aku menerimanya.“Terima kasih, Mas.”Kuambil benda pipih itu dari tangan Ramzi.“Ya sudah, Ibu mau beli sesu
“Gugatan cerai?!”Aku bertanya dengan tidak percaya atas apa yang aku dengar.Ramzi sudah mengatur semuanya?“Apa maksudmu, Mas?” tanyaku sangat tidak terima.“Aku sudah melayangkan gugatan ceraimu di pengadilan, Mila. Orangtua dan tantemu sangat mendukung hal ini.”Hah?!Siapa dia merasa punya hak untuk melayangkan gugatan ceraiku ke pengadilan?Apa benar ibu juga mendukungnya?“Bagaimana bisa kau melakukannya, Mas? Apa orang lain yang mengajukan gugatan dianggap sah di mata hukum?”“Kau sudah menandatangani surat pengajuan gugatan cerai, Mila. Dan berkasmu sudah masuk pengadilan. Itu sudah cukup untuk langkah awal bercerai.”“Aku menandatangani surat gugatan cerai? Kapan?” Aku benar-benar terlihat frustasi. Baru seminggu tenggelam dari dunia luar dan ada banyak hal yang tanpa sepengetahuanku sudah terjadi.Selepas
Suara teriakan anak-anak bisa kudengar lamat-lamat hingga mataku terbuka dan menyadari aku berada di sebuah tempat yang sama sekali asing.Kukumpulkan segenap kesadaranku dan aku masih tidak menemukan ingatan bagaimana aku bisa sampai di sini?Perlahan aku bangkit dan hendak menurunkan kakiku, namun rasanya sakit sekali. Kulihat lutut di kaki kiriku ada perbannya.Apa yang terjadi?Seketika aku ingat bahwa barusan ada mobil yang menabrakku. Setelahnya aku tidak tahu apa-apa lagi.‘Oh. Apa aku baik-baik saja?’Pintu kamar terbuka perlahan, lalu kulihat sebuah kepala kecil muncul memeriksa keadaan. Melihatku mata itu membulat dan segera menutup daun pintu itu lagi.“Maaa, Mbaknya yang di kamar sudah bangun!” teriaknya yang bisa kudengar dengan jelas.Tak berapa lama datanglah seorang wanita paruh baya tampak berjalan tergesa menghampiriku.“Mbak sudah bangun? Mbak tidak apa-apa ‘kan?” tanyanya memeriksa keadaanku.Aku yang tidak mengenalnya hanya menggeleng saja. Masih bingung sebenarny