“Jangan mendekat!” Kupanjangkan tanganku di depannya saat pria ini mencoba mendekatiku, agar dia tahu aku tidak mau disentuhnya. Benci sekali mengingat sentuhan-sentuhannya kala tahu bahwa cinta dan perhatiannya selama ini hanyalah palsu belaka. Aku sudah muak dengan sandiwaranya yang penuh kebohongan ini. “Apa yang kau lihat kemarin tidaklah seperti itu, Mila!” Ed berusaha menjelaskan. “Aku sudah tahu semuanya, Ed. Untuk apa masih mencoba berbohong?” sahutku. “Aku tidak membohongimu, Mila!” Masih dia berusaha. “Cukup!!!” Teriakku dengan begitu muak. Sudah jelas-jelas dia membohongiku tapi masih juga Ed menyangkalnya. Kenapa pria ini dengan tidak tahu malunya tidak mengakui saja kesalahannya. Kenapa masih harus menambahi rasa benci dan kesal di dadaku. Pertahananku sudah runtuh. Pecah sudah tangisku. Namun aku berusaha menggenggam erat-erat hatiku agar masih bisa kukendalikan. “Apa salahku padamu, Ed. Kenapa kau begitu tega mempermainkanku dengan pura-pura mencintaiku?” isa
“Kau mau ke mana?” tanya Sella setelah kami sudah sama-sama di mobil.Aku menerima tumpangan Sella karena kebetulan tujuan yang kusampaikan searah dengan tujuan mereka.Tidak enak saja harus banyak alasan menolak.“Eng, nanti aku turun di halte depan saja, ya?” ujarku tak mau mengatakan tujuanku. Takutnya Sella malah tanya macam-macam.“Kita sebenarnya lagi gabut, jadi kalau Mbak Mila mau sekalian diantar juga enggak apa-apa kok!” Indra yang sedang menyetir ikutan menyahut.“Benar, Mila. Bilang saja kau mau ke mana, nanti kita antar, deh!” Sella yang juga duduk di depan menoleh ke arahku.Sesaat tatapan Sella tampak menelisik. Seolah sedang menerka adakah yang terjadi padaku?Sisa-sisa tangisan itu pasti masih membekas di wajah murungku walau sudah berusaha kusembunyikan dengan senyuman.Pada akhirnya, akupun me
Panggilan dari Tante Desi seketika membuatku berdebar. Tidak tahu mengapa, tapi rasanya ada firasat buruk saja. Ketika kuangkat, ternyata memang benar. Aku semakin gugup dan cemas karena mendengarnya tersedu.“Tante kenapa?” tanyaku yang tidak mau menduga-duga.“Mila, pamanmu sudah dipanggil yang kuasa. Dokter baru menyampaikan kabar ini, Mila...”“Innalillahi... Ya Allah paman Rasyid!” kembali air mataku tumpah lagi.Ya Allah, tidak bisakah satu-satu datangnya duka ini? Kenapa seolah tidak ada jeda untuk kesedihan yang bertubi-tubi menimpaku?Kutenangkan diriku sambil mencari tahu di mana jenazah paman akan disemayamkan sebelum di makamkan.Saat menghubungi Roni putra pamanku, Dia memberitahuku bahwa mereka sudah kembali menempati rumah mereka beberapa hari yang lalu.Katanya lagi ada yang memberikan jaminan sehingga pihak bank mencabut status rumah yang disita itu.
Aku mendampingi ibuku yang masih begitu sedih ikut mengantar jenazah paman sampai dikebumikan di pemakaman umum.Tante Desi tidak ikut dengan alasan kepalanya pusing dan para tetangga memakluminya karena mengira tante sangat terpukul atas meninggalnya pamanku itu.Keluarga Tante Desi yang biasanya kalau ada apa-apa datang, kini satupun tidak ada yang terlihat.Seperti Reva yang pernah dibela-belain paman sampai memelas ke rumah pagi-pagi agar aku mau membantunya, sekarang di mana dia dan keluarganya?Hanya Toni putra bungsu paman yang berhasil kubujuk untuk ikut mengantar papanya sampai ke liang lahat.Sementara sang kakak, sudahlah, aku tidak mau menambah pening kepalaku dengan memikirkan sikap pemuda tanggung itu.Ketika acara pemakaman, aku bisa melihat bocah yang baru beranjak remaja itu tertunduk sedih melihat ayahnya dimasukan ke makam.Jadi, kubagi perhatianku antara ibu dan Toni. mengelus punggung Toni untuk menenangkannya.“Sabar ya, Ton. Ikhlaskan papa, ya?” tuturku sambil
“Mila, tasmu ada di mobilku. Kau dan ibu masuk saja di mobilku.”Deg!Aku terkejut ketika Ramzi dengan cepat menghampiri aku dan ibu. Padahal ada Ed di tempat yang sama.Tadi karena kedatangan kami bersamaan dengan jenazah paman yang diturunkan dari mobil ambulance, aku jadi terburu-buru keluar mobil Ramzi hingga melupakan tasku.Sampai-sampai aku tidak tahu ibu berulangkali menghubungiku. Karenanya ibu malah menghubungi Ed.Kehadiran Ramzi tentu saja membuat Ibu terkejut. Ibu pasti berpikir, bagaimana aku bisa menumpang di mobil Ramzi setelah pria ini sudah menggagalkan pernikahan kami. Padahal suamiku juga tidak sedang repot saat dihubunginya tadi. “Mila, kenapa ada Ramzi di sini?” Ibu berbisik sambil menyenggol lenganku meminta penjelasan. Dia baru menyadari keberadaan Ramzi karena sejak tadi hanya fokus pada pemakaman paman.“Nanti Mila jelaskan ya, Bu,” ujarku yang kemudian tidak sengaja bersitatap dengan Ed. Sekilas kuperhatikan ekspresi wajah dingin Ed menyeruak saat memba
“Ed lepaskan aku!”Aku tidak mengizinkan pria itu masih memperlakukanku sebagai istrinya setelah apa yang telah terjadi.Kucoba membuka kedua lengan kekar itu, namun Ed justru mengendus ceruk leherku.“Ed kau tidak mau kan aku berteriak-teriak lagi seperti tadi. Ada Ibu di dalam kamar.”Aku mengingatkan pria ini agar tidak terus melakukan semau hatinya.Hatiku sudah hancur dengan semua kenyataan ini, tidak akan mempan lagi dengan pelukan-pelukan yang dulu sangat kurindukan.Aku tidak lupa apa yang sudah kulihat kemarin. Dan karena hal itu, membuatku justru benci diperlakukan begini. Harus dipeluk oleh tangan yang juga memeluk wanita lain.Mendengarku mengeluh Ed melonggarkan kedua tangannya. Kuambil kesempatan ini untuk segera berlalu.“Intinya, kau lebih percaya Ramzi?” ucapnya memilih kata sederhana itu untuk meminta perhatianku.Karena pertanyaan itu, aku pun menghentikan langkah untuk sekedar menyangkalnya.Pria ini licik sekali memaksaku bersedia bicara dengannya dengan sangkaan
“Mila, suamimu hanya pergi menjemput bapakmu. Kau sudah tampak berat sekali.”Ibu tiba-tiba menghampiriku yang sedang menatap kepergian Ed. Dia mencandaiku dengan menyenggol bahuku.Melihat ibu yang malah senyum-senyum itu aku menduga pasti dia melihatku berlari memeluk Ed tadi. Lalu yang dibayangkannya, aku sedang bermanja-manja tidak mau berpisah dengannya.Kalau dalam situasi begini, hal itu sungguh menggelikan bagiku. “Oh, aku akan membuatkan teh untuk ibu.”Kualihkan pembicaraan dengan memilih tidak menyahuti candaan ibu. Aku berjalan ke meja dapur karena belum membuatkannya teh.Padahal ibu sudah selesai mandai semantara sejak tadi malah ribet dengan pria menyebalkan itu sampai belum sempat membuatkannya teh.Setelah kubuat, kusodorkan teh di meja dan ibu tersenyum menerimanya.“Siapa kira pamanmu pergi secepat ini, padahal dia sempat mengatakan pada ibu sebelum jatuh sakit ingin balik ke kampung saja dan tinggal di sana.” Ibu kembali sedih mengenang kakak laki-lakinya itu.
“Tidak ada yang tidur di luar,” tukas Ed yang ikut bangkit.Dia berjalan merangkul pinggangku dengan cepat membawaku masuk ke kamar dan tidak memberiku kesempatan menghindarinya.“Jangan begini, Ed!” aku menolak pria itu dengan sisa-sisa kesalku yang tidak rela kusudahi.“Apa lagi yang masih membuatmu kesal, Mila?”“Tidak perlu dibahas kalau kau amnesia. Aku juga tidak berniat membahasnya.”Karena muak aku mengabaikan Ed dan memilih masuk kamar mandi saja.Kuguyur tubuhku dengan shower dan membiarkan pria di luar kamar mandi itu jemu menungguku.Kalau masalah mandi, aku bisa kok sampai berjam-jam mandi. Jangan tanya tingkat ketahananku dengan suhu di kamar mandi. Kampungku ada di lereng gunung, jadi sedingin apapun suhu di kota ini, tidak terlalu ngaruh padaku.