Karena pulangnya bersama ibu, jadinya aku ikut mobil yang mengantar ibu sementara Ed pulang sendiri dengan mobil pick upnya.
Kebetulan sekali tidak bersama Ed, aku bisa menanyai sopir mobil mewah itu.
“Mas temannya Ed?” tanyaku di tengah perjalanan pada pria yang menyupiri kami.
“Oh, bukan, Nyonya.” Jawab pria itu dengan sopan.
“Ah, jangan panggil nyonya. Aku bukan seorang nyonya,” kataku karena dipanggil nyonya oleh seseorang yang profesinya sama dengan suamiku, rasanya kurang nyaman. Apalagi pria ini tentu lebih tinggi stratanya karena menjadi sopir mobil mewah, bukan mobil truk atau pick up seperti Ed.
“Baik, maaf, Bu.” Sopir itu merubah panggilan.
“Duh, jangan panggil bu juga, panggil mbak sajalah.” Aku memberi ide.
“Mila... terserah dia mau panggil kamu apa. Jangan bawel begitu.” Ibu yang di sampingku mengingatkan.
“Iya, Bu,” sahutku lalu kembali pada sopir itu. “Jadi Ed menyewa mobil ini?”
Pria y
Ed datang sedikit larut saat ibu sudah beristirahat di kamar. Sudah begitu dia tidak langsung masuk tapi malah duduk di teras memeriksa ponselnya. Aku yang sudah menunggunya sejak tadi tidak sabar segera menghampirinya.“Ed?” tegurku.Ed yang melihatku datang langsung menutup ponselnya dan bertanya, “Ibu di mana?”“Sudah istirahat. Ibu tidak biasa tidur larut, jadi jam 9 malam sudah ngantuk.” Seperti baru teringat sesuatu, Ed bangkit menghampiri mobil pick upnya. Dia balik lagi setelah mengambil sebuah buket indah dari dalam mobilnya.“Selamat Nyonya Kamila Edward Permana sarjana ekonomi.” Ed menyebutkan namaku lengkap dengan tempelan namanya dan gelar yang barusan aku dapatkan. Dia menyerahkan buket itu padaku.Aku tersenyum menerimanya lalu segera kupeluk pria baik itu. Aku tidak lupa pria inilah yang mengusahakan agar ibuku datang di hari wisudahku.“Terima kasih ya, Ed untuk semuanya,” ujarku menyerusuk ke dalam pelukannya. Nampak begitu terharu bahwa tuhan masih sangat baik pada
Aku harap Reva tidak berbuat macam-macam padaku.Sekarang sudah berbeda karena aku sudah punya suami. Dan suamiku yang masih menikmati makanan di sana pasti tidak terima kalau sampai Reva menghina-hinaku.Apalagi di media sosialnya dengan banyak pengikutnya.“Aku belum melihatnya, Sel. Kuharap dia tidak berbuat ulah. Terima kasih informasinya, Sella,” ujarku yang sudah tak sabar melihat postingan Reva.Namun, sepertinya Sella masih ingin menyampaikan sesuatu hal lagi. “Sebentar, Mila. Apa kau sudah buka grup kampus kita? Di sana ada berita tentang Pak Ramzi dan Tania.”“Aku tidak lagi ada di grup itu, Sel,” ujarku. Sudah malas kalau mendengar dua nama itu.Setelah kurasa urusan dengan pihak kampus kelar, aku tidak berniat lama-lama di grup pesan itu. baru sore tadi aku keluar dari grup itu.“Benar kau tidak mau tahu?” Sella bertanya sekali lagi, dan aku tetap dalam pendirianku. Tidak mau tahu lagi apapun tentang mereka. Saat ini, aku merasa tidak rela saja mengusik kenyamanan yang
Kulihat ada Kue Lapis Pahlawan dan Bandeng Presto di meja. Itu makanan kesukaan Ibu. Sepertinya paman saat ini mencoba mengambil hati ibu untuk mencapai tujuannya.Aku tidak lupa, Paman Rasyid Hanya dijadikan boneka saja oleh istrinya itu. Sebagai seorang suami dia sangat tidak memiliki kuasa apapun dalam rumah tangganya. Itu karena paman hanyalah pengangguran yang ikut numpang hidup pada istrinya.Sudah tahu begitu, saat mengunjungi ibu di kampung dia sok-sokan mengatakan sanggup membiayai sekolah dan hidupku di kota. Nyatanya aku hanya dijadikan pembantu juga sepertinya.“Mila. Setidaknya hargai Desi adalah istri pamanmu ini. Bantulah dia.” Paman Rasyid memohon-mohon padaku.“Kenapa sih paman juga ikutan bingung? Yang bermasalah ‘kan Reva bukan Tante Desi?” tukasku pada Paman Rasyid.“Tapi Reva itu keponakan Desi, Mila. Sejak dulu Desi sudah menganggapnya anak sendiri. Jadi Tantemu itu sejak semalam ikutan stres gara-gara mendapat kabar Reva tidak berhenti menangis dan teriak-teriak
Ibuku sudah kembali ke kampung sehari yang lalu dan rumah kembali terasa sepi. Ed juga sudah berangkat kerja. Seperti biasa rutinitasku sehari-hari adalah membereskan rumah. Memasak itupun kalau Ed bilang akan makan di rumah.Menghindari rebahan kadang aku menyibukan diri berkebun atau olahraga tipis-tipis di rumah. Kalau sudah semua, biasanya pilihan terakhir mengusir kejemuan hanyalah menonton televisi.Nantilah aku minta Ed mengizinkanku cari kerja. Tidak enak hanya nganggur di rumah. Saat melihat televisi, tiba-tiba aku jadi terusik dengan kabar masalah Reva dengan Andra. Entah bagaimana kelanjutan kasus itu. Dengar-dengar, Reva sudah tidak muncul lagi di media sosial sejak kejadian itu.Ed sudah memberiku saran agar tidak memperdulikannya. Paman juga tidak mengusikku lagi setelah Ed memintanya untuk tidak menggangguku dengan masalah yang sudah diciptakan istri dan keponakannya itu. Jadinya aku ikuti saran Ed saja dengan tidak kepo
“Mila, bisakah kita bertemu?”Mendengarnya membuatku membeku sesaat.Aku tidak lupa suara siapa itu.Perasaanku carut marut mendengarnya.Lalu daripada aku tidak bisa menguasai diriku, cepat-cepat kumatikan ponsel itu dan melemparnya di atas sofa.Astaga. Itu ‘kan suara Mas Ramzi? Untuk apa dia menghubungiku kembali? Bukankah dia sudah hidup bahagia bersama Tania. Apalagi sebentar lagi mereka akan memiliki seorang anak.“Tidak! Aku tidak mau lagi berhubungan dan terlibat apapun dengannya,” ucapku pada diri sendiri sambil mengatur napas, yang sesaat tadi sudah tidak karuan naik turun mendengar lagi suara yang dulu pernah begitu aku rindukan setiap hari.Namun, kejadian dia tidak datang di hari pernikahanku tentu tidak akan bisa aku lupakan seumur hidup. Layar ponsel kembali berkedip. Aku tidak meliriknya karena masih cemas bahwa itu adalah panggilan dari pria itu lagi.
“Hebat sekali dia, istrinya terkapar koma di rumah sakit sekarang mulai menghubungimu lagi?”Sella teringat tentang Ramzi yang menghubungiku, lalu kami membahasnya. Dia yang bersimpati atas gagalnya pernikahanku waktu itu, tentu saja tidak menyukai sikap Ramzi yang tanpa dosa tiba-tiba muncul ingin mengusikku.“Hati-hati, Mila. Kau seharusnya sudah tahu pria seperti apa dia setelah mengacaukan pernikahan kalian.” Sella mengingatkan.“Aku tidak lupa hal itu, Sel,” jawabku pasti.Sella benar, untuk apa juga Ramzi tiba-tiba menghubungiku saat ini setelah semuanya sudah berbeda dan masing-masing.Dia sudah menikah dengan Tania dan aku juga sudah mulai menemukan kebahagiaan dengan suamiku.Kemana saja dulu saat aku berkali-kali menghubunginya di detik-detik pernikahan kami sementara membiarkanku seperti orang bodoh yang ditertawakan banyak orang?&n
Ketika pagi menjelang, mendengar suara mobil di halaman aku buru-buru melipat sajadahku.Siapa yang pagi-pagi begini bertamu?Tidak mungkin juga Ed. Dia baru berangkat kemarin dan bilangnya bisa balik paling cepat 3 hari.Perlahan kuintip keadaan di luar dari tirai jendela. Sedikit takut jangan-jangan itu Mas Ramzi yang nekat datang karena panggilan dan pesannya tidak aku angkat.Tapi, bukan dia.Lagian darimana juga dia tahu aku tinggal di sini?Aku ini memang terlalu suka mengira-ngirakan sesuatu hal.Benar-benar sulit diubah.Itu kan Mas Sopir yang menjemput dan mengantar Ibu beberapa waktu yang lalu?Dari tempatku mengintip kulihat pria itu memencet bel untuk kesekian kalinya dan berdiri menungguku membuka pintu.Ada apa dia datang? Apa jangan-janga
“Dia bilang kau yang menyuruhnya datang, Ed.” Kujelaskan apa yang disampaikan sopir tadi.“Oh, benar. Maaf aku lupa hal itu. Sepagi tadi dia telpon mengingatkan bahwa aku belum memberinya tambahan ongkos yang kujanjikan. Lalu karena sekarang aku sedang di luar kota jadi kusuruh dia datang ke rumah untuk memintanya darimu. Kebetulan dia mau datang ke rumah, sekalian aku nitip pesan agar kau mengaktifkan ponselmu karena aku cemas kau ada apa-apa.” Ed menjelaskan dengan panjang dan terperinci.“Oh. Begitukah?” ujarku menghela puas dengan jawaban suamiku itu. Akhirnya terjawab juga yang sejak tadi membuatku heran.Benar dugaanku tadi, sopir itu memang datang untuk menagih kekurangan ongkos dari Ed.“Ya sudah kalau begitu, aku ambilkan uangnya dulu. Berapa?”Panggilan kami kuakhiri dulu lantaran aku harus segera mengambilkan uang untuk Mas Sopir itu. Tidak enak sejak tadi su
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua ha
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin