“Utusan Keluarga Ramzi datang. Katanya, mereka mau membatalkan pernikahan ini!”
Deg!
Rasanya duniaku berputar seketika. Hari ini adalah hari pernikahan kami. Penghulu, tamu, sampai kerabat jauh sudah berkumpul di sini.
Bagaimana bisa calon suamiku dan keluarganya itu membatalkan pernikahan ini secara sepihak? Padahal, kami sama sekali tidak ada masalah sebelum ini.
Bugh!
Tiba-tiba saja, Ibuku oleng. Dia bahkan sampai harus berpegangan pada dinding, saking syoknya.
“Bu?!”
Segera kupapah tubuh ringkih itu untuk masuk ke dalam kamar. Tapi, Ibu menolak. “Tidak usah, Mila. Ibu baik-baik saja!”
Jantungku mencelos mendengarnya. Seminggu sebelum acara pernikahan, ibu padahal sudah pontang-panting menyiapkan semuanya karena merasa tidak bisa menyumbang banyak untuk acara pernikahan putrinya ini.
Tunggu….
Bicara soal biaya pernikahan, pamanku dan istrinyalah yang membiayai semua keperluan pernikahan ini. Sebab, tanteku itu ingin kolega yang pernah dikasih sumbangan, balas memberi amplop yang banyak.
Katanya, kalau harus menunggu anak-anak mereka masih duduk di bangku sekolah untuk menikah, keburu banyak yang lupa.
Bagaimana ini?
Tante Desi bahkan sudah mengundang banyak kenalan, kerabat, bahkan sampai keluarga jauhnya….
Lalu, harga dirinya juga setinggi langit.
Sedikit hal yang membuatnya bisa dicela komunitasnya saja akan membuatnya sangat tidak terima.
Brak!
Tiba-tiba saja, pintu didobrak kasar.
Di depan pintu, Tante Desi menatapku marah. “Kamila, apa kau mau mempermainkanku? Aku sudah keluar uang ratusan juta dan calon pengantinmu itu tidak datang?!” ucapnya sembari menunjuk-nunjuk mukaku.
“Kak Desi, jangan salahkan Kamila. Dia mana tahu kalau calon pengantinnya tidak datang?” Ibu mencoba membelaku.
Namun, Tante Desi malah tampak semakin murka. “Aku tak peduli. Entah bagaimana caranya, pokoknya hari ini Kamila harus dapat laki-laki yang mau menikahinya!”
“Kalau tidak, biaya sekolah dan hidupnya sejak menumpang di rumahku harus dikembalikan!” peringatnya, “Dan jangan lupakan. Beban moril yang harus aku hadapi juga butuh kompensasi. Aku akan melaporkan ibumu itu atas pasal mencemarkan nama baikku dengan tidak berusaha mencari jalan keluar dari masalah ini!”
“Astaghfirullah, Ma... jangan berlebihan begitu!” Pamanku datang mencoba menenangkan istri tercintanya itu, “Tenangkan dirimu. Tidak baik kalau tensimu naik lagi”
“Tidak bisa, Pa. Keponakanmu ini harus bertanggung jawab!”
Terlalu syok untuk bereaksi, air mataku bahkan sampai tak tumpah sama sekali.
Kepalaku berdegung kencang, hingga akhirnya aku memutuskan sesuatu.
“Baik, Tante. Beri aku sedikit waktu, aku akan mencari seseorang untuk menikahiku hari ini.”
Ucapan itu membuat ibu dan pamanku melongo bersamaan ke arahku. “Jangan sembarangan, Mila!”
Tidak memperdulikan ucapan mereka, aku tetap pada pendirianku.
Kubawa ponsel menuju taman belakang.
Sayangnya, tak ada satu pun nama yang terlintas di kepalaku.
Jangankan teman laki-laki, teman perempuanku saja hanya satu orang. Dia pun tidak bisa datang karena neneknya sakit keras.
Memijat kepala yang pening di taman belakang rumah, aku mulai menyesali sedikit ucapan asalku tadi.
Tapi, apalagi yang bisa kulakukan?
Sungguh, aku tak sanggup melihat ibuku menderita.
“Ada apa, Nona Kamila? Kenapa acara pernikahanmu belum mulai juga?”
Deg!
Mendengar suara bariton itu, aku terkesiap.
Mengingat aku menamparnya saat terakhir bertemu karena kesal dengan sikap mengganggunya.
Diriku menghela napas panjang. Hendak mengusirnya.
Hanya saja, sebuah ide gila mendadak muncul di kepalaku.
“Ed...” Suaraku penuh keraguan. “Maafkan aku, tapi bisakah kau membantuku?”
Pria itu menaikkan alis membuatku semakin gugup.
Kutarik napas panjang.
“Menikahlah denganku,” pintaku, penuh harap.
Ya…
Setidaknya, aku bisa menyelesaikan pesta pernikahan ini secara formalitas, kan?
Next
“Apa dia pria baik-baik?”Ibuku cemas kala melihat Ed yang penampilannya 180 derajat berbeda dari Mas Ramzi.Mantan calon suamiku itu memang merupakan pria berpendidikan dan seorang dosen di sebuah universitas ternama di kota ini.Sementara pria yang akan menggantikannya kali ini hanyalah pria yang bahkan aku sendiri tidak tahu persis bagaimana dia.Tapi, dalam situasi begini, apa aku masih bisa memilih pria lain?Sungguh aku sudah sangat beruntung Ed menerima pernikahan ini.Setelahnya, kuharap kami bisa kembali kehidupan masing-masing. “Semoga saja, Bu.” jawabku lelah, menyembunyikan kenyataan yang bertolak belakang tentang Ed.Sesaat kemudian ibu mendekat dan memelukku erat. Mungkin dia sadar bahwa aku saat ini sedang hancur dan down. “Ibu hanya bisa berdoa agar Allah selalu melindungimu, Nak. Sabar ya...?”Elusan di pundakku itu justru membuatku begitu lemah dan hancur. Aku lalu rebah di pundaknya dan menangis hingga tergugu di sana. Teringat betapa selama ini hidupku dipenuhi mas
“Astaga! Bisa-bisanya kau menendang suamimu?!”Kulihat Ed terduduk di lantai karena ulahku.Aku jadi tak enak. Tapi, tadi itu gerakan refleks untuk perlindungan diri.“Tentu saja aku menendangmu, apa yang kau lakukan?” tukasku masih enggan merasa bersalah malah melototi pria yang kini berjalan mendekatiku.“Dengar Nona Mila! Aku tidak mungkin membiarkanmu tidur di mobil sepanjang malam, ’kan? Makanya aku menggendongmu ke kamar. Apa kau lupa kalau aku ini suamimu sekarang?” gerutunya tampak sebal sembari mencekal daguku tepat di kedua matanya.Aku sudah berpikir pria ini akan langsung memaksa mendapatkan haknya saja lantaran sok merasa menjadi suami.“Baik. Maafkan aku. Tapi jangan lakukan hal ini padaku. Kita harus bicara dulu,” ucapku penuh kecemasan.Untungnya Ed terlihat kasihan. Dia melepasku, lalu berjingkat pergi keluar kamar begitu saja.Baru saja aku bernapas lega, tapi pria pengganti calon suamiku itu sudah masuk lagi ke dalam kamar.“Aku lapar. Kau mau makan apa biar aku pes
“Ini tasmu?” ujar Ed menyadarkanku dari lamunan sembari menyodorkan tasku.Pria itu ternyata mau juga mengambilkannya.“Terima kasih, Ed,” tukasku.Mungkin tadi dia masih makan dan harus menyelesaikannya dulu. Akulah yang kurang sabaran!Hanya saja, saat aku hendak mengambil tas itu dari tangan Ed, pria itu malah menahan tanganku.Bugh!Tubuhku menubruk dada bidangnya.Aku mendongakan pandangku memandangnya yang begitu dekat sekali di wajahku.Namun, bibir Ed mendarat begitu saja di bibirku. Dia bahkan melumatnya tanpa membiarkan aku bisa protes.“Ehhmmm…”Kucoba untuk mendorong dadanya sekuat tenaga namun aku tetap tidak bisa bergerak.Mengapa tubuh pria ini begitu keras dan setegar karang?“Ed, lepaskan aku!” panikku.Tanpa sadar, setitik air mata bahkan lolos di pipiku.Anehnya, kulihat tatapan gelap Ed memudar dan dia mengendurkan dekapannya.“Makan dulu, aku sudah pesankan makanan untukmu. Kalau kau menolak aku akan menciummu lagi seperti tadi!” tukasnya mengambil tasku dan memba
Aku menatapnya malas.Hari pernikahanku jelas lebih horor.Jadi, aku tidak akan takut dengan cerita konyol itu.“Tolong keluarlah!” pintaku sekali lagi pada pria ini.“Baiklah. Jangan lama-lama. Setelah ini kita keluar. Aku sudah lapar!” ujarnya kemudian tidak lagi mengangguku.Saat kutatap bayanganku di cermin, Ed pasti melihat wajah sembab ini. Karenanya dia tampak kasihan tadi. Aku malah tidak jadi berganti baju. Duduk kembali dan tercenung beberapa saat namun tidak tahu apa yang sedang kupikirkan. Hanya kehampaan hati yang kembali kurasa.Tiba-tiba sekelebat bayangan entah hanya tirai yang tertiup angin atau apa tadi tertangkap sekilas namun dengan cepat menghilang.Suasana kamar yang nampak biasa herannya kini membuatku begidik. Bahkan cerita Ed yang tadi, saat ini terngiang di benakku hingga berhasil mempengaruhiku.Sial!Aku lupa bahwa sebenarnya aku juga penakut.Segera, diriku bangkit untuk mengganti bajuku, namun tanpa sadar tanganku menyenggol sesuatu di meja hingga...Py
“Tapi bohong!” sambungya tergelak sembari mengambil makanan di meja dan mulai menyantapnya.Ck!Ketengilan pria ini hampir saja membuatku melempar sendok ke mukanya karena sudah memancing emosi saja.Ingin sekali kusumpal mulut pria ini dengan makanan-makanan yang tersaji di meja karena sekali lagi selalu membuatku kesal dan sebal.Kenapa aku menikahi pria ini, sih?“Kalau memang kau bukan orang kaya, jangan sok-sokan mengajakku ke restoran mahal ini. Juga tinggal di rumah apartemenmu yang berhantu itu. Aku bukan orang yang suka dengan semua hal tapi kenyataannya hanya fake belaka. Malu kalau nanti orang lihat sebenarnya siapa diri kita yang miskin ini!” omelku panjang lebar setelah menyelesaikan sarapan itu. Bukan sarapan, tapi makan siang mengingat ini sudah siang hari.Ed hanya nyengir lalu dengan santai mengatakan, “Uangku banyak. Jangan kuatir tentang hidupmu. Kalau kau mau beli restoran ini pun aku akan membelinya untukmu.”Aku memutar bola mataku mendengarnya membual lagi. Set
“Boleh, Istriku. Kau minta ambilkan bulan saja akan kuambilkan, kok!”Meski tampak bercanda, ucapan santai Ed membuatku tak enak.Jujur, aku tidak bermaksud menyinggung Ed dengan masih menanyakan sesuatu yang berkaitan mantan calon suamiku itu.Tapi, aku ingin semuanya clear agar aku bisa menjalani hidupku ke depannya dengan baik. Untungnya, sepanjang perjalanan Ed tetap terlihat santai.Hanya saja, ketenangan itu sementara.Tepat ketika mobil Ed memasuki pelataran rumahnya, teriakan Tante Desi sudah menggema begitu kencang.“Jangan parkir di depan rumahku. Mobil bututmu itu tidak pantas sekali nongkrong di sana!”“Aku tidak akan lama. Hanya mengantar istriku menemuimu sebentar.”Tante Desi tampak marah akan ucapan Ed. Namun lagi-lagi, pria itu tetap santai.Ed bahkan menunggu dengan tenang di dalam mobil setelah membukakan pintu mobil untukku.Kini, aku menarik napas panjang. Bersiap untuk “berperang”.Hanya saja, baru turun dari mobil, aku menemukan mobil mewah tak jauh dari mobil
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, kami sama-sama terdiam.Jujur, aku merasa canggung.Baru saja dua hari ini bersama Ed, rasanya pria ini tidak semenyebalkan itu.Pria itu baru menjawab setelah menyodorkan secangkir teh camomile yang hangat dan harum. “Kenapa?”“Apa kau tidak punya rumah?”“Ada, tapi takutnya kau tidak mau tinggal di sana.”Aku meliriknya.Ed sudah tahu aku wanita sederhana dan tidak menyukai kemewahan. Lalu seburuk apa rumahnya hingga membuatku tidak mau tinggal di sana?“Kau belum membawaku ke sana dan sudah berpikir aku tidak mau?” protesku, “Lagi pula, aku lebih baik tinggal di rumah sederhana daripada tinggal di tempat serba mewah tapi milik orang lain.”“Rumahku juga bukan milikku. Tapi, punya keluargaku.”Seketika saja, aku menatap Ed dengan serius.Aku baru ingat belum menanyakan tentang keluarga pria ini. Biar bagaimanapun, dia “suamiku”, kan?“Hemmm… Ed, ada siapa saja di keluargamu?”Ed menatapku dalam.Entah mengapa aku merasakan kesedihan di matanya
“Wah, sungguh malang nasibku ini. Kalau teman-temanku tahu, mereka pasti akan sangat kasihan padaku, Kamila.”Ed memecah keheningan. Namun, kata-katanya itu membuatku tersinggung.“Kenapa mereka kasihan padamu?” sahutku.“Karena mereka berpikir aku menikahi barang bekas orang.”“Astaghfirullah... jahat banget pikiranmu, Ed. Apa kau pikir aku perempuan murahan sampai harus membiarkan pria yang belum menjadi suamiku, memakaiku?” Dalam hal ini aku mudah sekali tersulut emosi.“Itu pikiran temanku, bukan aku. Ingat tadi aku bilang te-man-ku!”“Jangan munafik. Kau juga berpikir demikian ‘kan?”Ed tersenyum kecil dan itu sudah menunjukan bahwa dia memang berpikir demikian.“Dengar ya, Tuan Ed! Aku bukan perempuan seperti itu. Apa yang bisa membuatmu yakin kalau aku bukan perempuan seperti itu?”“Gampanglah. Ayo tidur denganku, biar aku tahu kau masih tersegel apa sudah di-unboxing!”“Oke!”…..Eh?Baru kusadari Ed tengah bertingkah manipulatif untuk mengajakku tidur.Bukankah sejak pertam
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin
Semenjak hamil aku berusaha bangun lebih pagi dan tidak tidur lagi selepas subuh seperti kebiasaan burukku. Kugunakan untuk berjalan-jalan santai di sekitar rumah dan melakukan yoga ringan agar otot-ototku tidak kaku karena seharian rebahan saja.Aku benar-benar menuruti nasihat dokter agar di trimester pertama si kembar di dalam rahimku ini bisa bertumbuh dengan baik dan optimal. Pengalaman hamil keduaku yang buruk, membuatku lebih disiplin pada kesehatanku sendiri.Biasanya makan sekedarnya asal perut terisi. Sekarang ingat ada dua mahluk mungil yang juga butuh nutrisi dalam tubuhku, akupun lebih bawel dan banyak berpesan ini dan itu pada Mbak Lilis yang bertanggung jawab soal dapur.“Loh, belum berangkat, Sayang?” ujarku melihat Ed yang masih di kamar saat aku keluar kamar mandi setelah mengeringkan rambutku dengan hanya melilitkan handuk di badan.“Belum, nanti saja tidak apa?” tukasnya tersenyum padaku dengan tatapan resah.“Kau tidak nyaman melihatku hanya memakai handuk?” du
“Ada yang tidak beres?” sahutku yang tidak kalah tegang dari Ed.Apa ini karena belum dua tahun aku sudah hamil lagi pasca operasi cesar sebelumnya? Pikirku dengan seribu kecemasan. Tapi kata Tante Atika ini tidak apa-apa asal rajin memeriksakan diri.“Haha, tenang, Ma, ini biasa di kehamilan trimester pertama. Saya hanya mendeteksi mulut rahimnya masih melunak. Dan itu biasa terjadi pembukaan yang berakibat pendarahan. Karenanya di trimester pertama ini harus hati-hatilah.”“Oh, begitukah?” aku menghela napas sedikit lega walau masih terbayang rasa cemas bayiku akan kenapa-kenapa.“Kasih tahu dia juga, Dok. Kita masih belum aman berhubungan, kan? Soalnya dia minta melulu.”Ed dengan polosnya mengadukan tentang hal itu pada dokter itu. Dengan cepat kucupit pinggangnya karena sebal dan malu. Bisa-bisanya dia bilang aku minta melulu. Apa coba yang dipikirkan dokter tentang aku? Dikira wanita gatel nanti, aku!“Hahaha, Itu hal biasa kok, Tuan. Wanita hamil itu hampir sama dengan wanita
Saat berada di dalam mobil, kuraih tangan Ed yang menganggur dan menariknya ke pangkuanku sambil menggenggamnya erat. Ed hanya melirikku sejenak dan tertawa kecil.“Ada apa, Sayang?” tukasnya sambil fokus di jalan.“Tidak apa, pengen saja pegang tangan suamiku. Apa tidak boleh?” ujarku.“Iya, tapi biasanya kamu begini pasti ada sesuatu, kan?”“Memang sih. Sebenarnya aku ingin berterima kasih.” Ed sudah menebaknya jadi sekalian saja kusampaikan.“Untuk?”“Pokoknya pengen berterima kasih saja. Untuk semuanya.”“Kembali kasih, Sayangku...” Ed membalasnya.Saat lampu merah dan mobil Ed berhenti, terlihat beberapa pemuda bermotor di depan mobil membawa spanduk yang terbaca, ‘adili dan usut mantan bupati dan kroni-kroninya’Dari jas almamater yang dipakai, sepertinya mereka adalah mahasiswa perguruan tinggi swasta di kota ini yang menyerukan suara rakyat dalam aksi demo di gedung DPRD kota.“Salah satunya ini, Sayang. Kau sudah membuka jalan kebenaran sehingga anak-anak muda itu punya kesem
‘Biar saja semua tahu kebususkan suami saya?’ batinku membaca uang kalimat terakhir pesan wanita itu. Dari kata-katanya, sepertinya dia sudah tahu tentang kebusukan suaminya sejak lama.Aku menghela napas lega, karena sempat mencemaskannya sampai terluka dalam kalau mendengar hal ini.Tadinya aku melupakan tentang perasaan ibu yang baru melahirkan ini, dan baru saja terpikir untuk meminta Ed mengurungkan dulu niat membongkar aib bupati itu.Tapi, untunglah ternyata istri Pak Bupati sudah tahu lebih dulu tentang kebusukan suaminya. Artinya, dia juga menunggu ada yang berani mengungkap tentang aib ini di publik. Sehingga dia punya alasan menentukan sikapnya.“Kenapa senyum-senyum, Sayang?” Ed terheran melihatku menyunggingkan senyum melihat ponselku.Aku baru meletakkan di meja lalu menghampiri suamiku yang sudah menungguku di tempat tidur. Aku merebahkan kepalaku di sampingnya dan memeluk lengannya sembari menatapnya lembut.“Aku sudah mendengar berita tentang Pak Bupati. Kau bijak