“Astaga! Bisa-bisanya kau menendang suamimu?!”
Kulihat Ed terduduk di lantai karena ulahku.
Aku jadi tak enak. Tapi, tadi itu gerakan refleks untuk perlindungan diri.
“Tentu saja aku menendangmu, apa yang kau lakukan?” tukasku masih enggan merasa bersalah malah melototi pria yang kini berjalan mendekatiku.
“Dengar Nona Mila! Aku tidak mungkin membiarkanmu tidur di mobil sepanjang malam, ’kan? Makanya aku menggendongmu ke kamar. Apa kau lupa kalau aku ini suamimu sekarang?” gerutunya tampak sebal sembari mencekal daguku tepat di kedua matanya.
Aku sudah berpikir pria ini akan langsung memaksa mendapatkan haknya saja lantaran sok merasa menjadi suami.
“Baik. Maafkan aku. Tapi jangan lakukan hal ini padaku. Kita harus bicara dulu,” ucapku penuh kecemasan.
Untungnya Ed terlihat kasihan. Dia melepasku, lalu berjingkat pergi keluar kamar begitu saja.
Baru saja aku bernapas lega, tapi pria pengganti calon suamiku itu sudah masuk lagi ke dalam kamar.
“Aku lapar. Kau mau makan apa biar aku pesankan sekalian?” tanyanya.
“Tidak perlu. Aku tidak lapar. Aku hanya lelah dan butuh beristirahat,” jawabku menolak tawarannya.
Meskipun perutku sejak tadi belum terisi, tapi aku benar-benar tidak nafsu makan.
Aku harap dia memahami diriku dan bisa meninggalkanku.
Namun, Ed justru tampak menatapku cukup lama. “Sebaiknya kau ganti bajumu, aku tunggu di depan. Temani aku makan!” ucapnya seolah tidak mau ditolak.
Setelahnya, ia pun pergi.
Aku menghela napas.
Ya sudahlah.
Nangisnya bisa nanti saja. Aku memang harus membicarakan banyak hal dengannya.
Hanya saja, aku baru menyadari sesuatu saat bangkit dan menemukan pintu kamar mandi di kamar Ed.
Ini, bukanlah rumah sederhana.
Kamar mandi Ed luas dan mewah. Apakah ini memang rumahnya?
Bukankah dia hanyalah sopir truk yang tidak begitu jelas kerjanya?
Sayangnya aku tidak tahu ke mana pria ini membawaku. Aku sedang tertidur saat Ed menggendongku ke kamar ini tadi.
Meski heran, tapi aku tidak ada niat berlama-lama di kamar mandi.
Jadi, aku segera membersihkan diri.
Hanya saja, aku tak bisa menemukan tas yang kubawa dari rumah.
Panik, kugunakan bathrobe yang kebetulan menggantung di lemari, lalu menyusul Ed yang sedang sibuk menata makanan yang dipesannya
“Ed, di mana tasku?” tanyaku sembari melongokkan kepala dari pintu kamar.
Jujur, aku tidak berniat keluar kamar dengan pakaian begini.
“Tas?” tanya balik Ed sambil mulutnya mencomot sepotong pizza. “Apa kau memasukkan sesuatu sebelum kita pergi tadi?”
“Iya, aku tadi letakan di bak mobil,” jelasku.
“Ya sudah, besok saja diambil. Keluarlah, kita makan dulu!” titahnya.
“Kalau begitu aku ambil sendiri saja tasku!” ujarku sedikit kesal karena Ed sepertinya tidak mau kesusahan mengambilkan tasku.
“Sudah malam juga, mau ambil apa sih? Kau juga sudah pakai bathrobe ‘kan?”
Karena melihatku bergeming, pria itu malah dengan santainya mengatakan, “Kalau tidak mau pakai bathrobe telanjang saja. Lebih asyik. Bukankah ini malam pertama kita?”
Hah?
Malam pertama?
Aku menggelengkan kepala cepat.
Lebih baik, aku mengambil barangku meski dalam balutan bathrobe ini dibanding harus berada dalam bahaya nanti malam.
Toh, mobilnya pasti di halaman dan tak jauh dari pintu keluar.
Hanya saja, aku tak menemukannya….
“Itu pintunya.” Seolah tahu kebingunganku, Ed menunjuk ke arah kanan.
Segera, aku keluar.
Namun, mataku membelalak saat tahu bahwa tempat tinggal Ed bukanlah di sebuah perumahan. Tapi … apartemen?
Entah di lantai berapa, tapi aku tidak mungkin turun dengan pakaian begini!
“Ed, kita di apartemen?” tanyaku saat kembali padanya.
“Hu-um,” jawabnya santai.
“Apartemen siapa ini?”
“Apatemenku lah!” jawabnya lagi.
“K-kau tinggal di sini?”
Alis mata Ed naik sebelah. “Memangnya ada yang aneh?”
“Aku pikir kau hanyalah sopir truk, bagaimana bisa kau tinggal di apartemen?”
Mendengar ucapanku, Ed meneguk minuman dan mengusap mulutnya dengan tisu. “Ini apartemen temanku. Dia sudah mati dan aku hanya menempatinya,” jawabnya tanpa beban dan dia bangkit berlalu melewatiku keluar.
Tunggu… tadi, dia bilang tempat tinggal ini miliknya.
Sekarang, dia bilang milik temannya.
Kepalaku seketika pening. ‘Astaga, aku memang tidak mengenal Ed!’
Yang kutahu, dia hanya pemuda yang sering mangkal di jalanan kampus bersama pria-pria urakan lainnya. Dia juga sering menggodaku dan menerorku dengan pesan-pesan cintanya di tengah malam.
Next
“Ini tasmu?” ujar Ed menyadarkanku dari lamunan sembari menyodorkan tasku.Pria itu ternyata mau juga mengambilkannya.“Terima kasih, Ed,” tukasku.Mungkin tadi dia masih makan dan harus menyelesaikannya dulu. Akulah yang kurang sabaran!Hanya saja, saat aku hendak mengambil tas itu dari tangan Ed, pria itu malah menahan tanganku.Bugh!Tubuhku menubruk dada bidangnya.Aku mendongakan pandangku memandangnya yang begitu dekat sekali di wajahku.Namun, bibir Ed mendarat begitu saja di bibirku. Dia bahkan melumatnya tanpa membiarkan aku bisa protes.“Ehhmmm…”Kucoba untuk mendorong dadanya sekuat tenaga namun aku tetap tidak bisa bergerak.Mengapa tubuh pria ini begitu keras dan setegar karang?“Ed, lepaskan aku!” panikku.Tanpa sadar, setitik air mata bahkan lolos di pipiku.Anehnya, kulihat tatapan gelap Ed memudar dan dia mengendurkan dekapannya.“Makan dulu, aku sudah pesankan makanan untukmu. Kalau kau menolak aku akan menciummu lagi seperti tadi!” tukasnya mengambil tasku dan memba
Aku menatapnya malas.Hari pernikahanku jelas lebih horor.Jadi, aku tidak akan takut dengan cerita konyol itu.“Tolong keluarlah!” pintaku sekali lagi pada pria ini.“Baiklah. Jangan lama-lama. Setelah ini kita keluar. Aku sudah lapar!” ujarnya kemudian tidak lagi mengangguku.Saat kutatap bayanganku di cermin, Ed pasti melihat wajah sembab ini. Karenanya dia tampak kasihan tadi. Aku malah tidak jadi berganti baju. Duduk kembali dan tercenung beberapa saat namun tidak tahu apa yang sedang kupikirkan. Hanya kehampaan hati yang kembali kurasa.Tiba-tiba sekelebat bayangan entah hanya tirai yang tertiup angin atau apa tadi tertangkap sekilas namun dengan cepat menghilang.Suasana kamar yang nampak biasa herannya kini membuatku begidik. Bahkan cerita Ed yang tadi, saat ini terngiang di benakku hingga berhasil mempengaruhiku.Sial!Aku lupa bahwa sebenarnya aku juga penakut.Segera, diriku bangkit untuk mengganti bajuku, namun tanpa sadar tanganku menyenggol sesuatu di meja hingga...Py
“Tapi bohong!” sambungya tergelak sembari mengambil makanan di meja dan mulai menyantapnya.Ck!Ketengilan pria ini hampir saja membuatku melempar sendok ke mukanya karena sudah memancing emosi saja.Ingin sekali kusumpal mulut pria ini dengan makanan-makanan yang tersaji di meja karena sekali lagi selalu membuatku kesal dan sebal.Kenapa aku menikahi pria ini, sih?“Kalau memang kau bukan orang kaya, jangan sok-sokan mengajakku ke restoran mahal ini. Juga tinggal di rumah apartemenmu yang berhantu itu. Aku bukan orang yang suka dengan semua hal tapi kenyataannya hanya fake belaka. Malu kalau nanti orang lihat sebenarnya siapa diri kita yang miskin ini!” omelku panjang lebar setelah menyelesaikan sarapan itu. Bukan sarapan, tapi makan siang mengingat ini sudah siang hari.Ed hanya nyengir lalu dengan santai mengatakan, “Uangku banyak. Jangan kuatir tentang hidupmu. Kalau kau mau beli restoran ini pun aku akan membelinya untukmu.”Aku memutar bola mataku mendengarnya membual lagi. Set
“Boleh, Istriku. Kau minta ambilkan bulan saja akan kuambilkan, kok!”Meski tampak bercanda, ucapan santai Ed membuatku tak enak.Jujur, aku tidak bermaksud menyinggung Ed dengan masih menanyakan sesuatu yang berkaitan mantan calon suamiku itu.Tapi, aku ingin semuanya clear agar aku bisa menjalani hidupku ke depannya dengan baik. Untungnya, sepanjang perjalanan Ed tetap terlihat santai.Hanya saja, ketenangan itu sementara.Tepat ketika mobil Ed memasuki pelataran rumahnya, teriakan Tante Desi sudah menggema begitu kencang.“Jangan parkir di depan rumahku. Mobil bututmu itu tidak pantas sekali nongkrong di sana!”“Aku tidak akan lama. Hanya mengantar istriku menemuimu sebentar.”Tante Desi tampak marah akan ucapan Ed. Namun lagi-lagi, pria itu tetap santai.Ed bahkan menunggu dengan tenang di dalam mobil setelah membukakan pintu mobil untukku.Kini, aku menarik napas panjang. Bersiap untuk “berperang”.Hanya saja, baru turun dari mobil, aku menemukan mobil mewah tak jauh dari mobil
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, kami sama-sama terdiam.Jujur, aku merasa canggung.Baru saja dua hari ini bersama Ed, rasanya pria ini tidak semenyebalkan itu.Pria itu baru menjawab setelah menyodorkan secangkir teh camomile yang hangat dan harum. “Kenapa?”“Apa kau tidak punya rumah?”“Ada, tapi takutnya kau tidak mau tinggal di sana.”Aku meliriknya.Ed sudah tahu aku wanita sederhana dan tidak menyukai kemewahan. Lalu seburuk apa rumahnya hingga membuatku tidak mau tinggal di sana?“Kau belum membawaku ke sana dan sudah berpikir aku tidak mau?” protesku, “Lagi pula, aku lebih baik tinggal di rumah sederhana daripada tinggal di tempat serba mewah tapi milik orang lain.”“Rumahku juga bukan milikku. Tapi, punya keluargaku.”Seketika saja, aku menatap Ed dengan serius.Aku baru ingat belum menanyakan tentang keluarga pria ini. Biar bagaimanapun, dia “suamiku”, kan?“Hemmm… Ed, ada siapa saja di keluargamu?”Ed menatapku dalam.Entah mengapa aku merasakan kesedihan di matanya
“Wah, sungguh malang nasibku ini. Kalau teman-temanku tahu, mereka pasti akan sangat kasihan padaku, Kamila.”Ed memecah keheningan. Namun, kata-katanya itu membuatku tersinggung.“Kenapa mereka kasihan padamu?” sahutku.“Karena mereka berpikir aku menikahi barang bekas orang.”“Astaghfirullah... jahat banget pikiranmu, Ed. Apa kau pikir aku perempuan murahan sampai harus membiarkan pria yang belum menjadi suamiku, memakaiku?” Dalam hal ini aku mudah sekali tersulut emosi.“Itu pikiran temanku, bukan aku. Ingat tadi aku bilang te-man-ku!”“Jangan munafik. Kau juga berpikir demikian ‘kan?”Ed tersenyum kecil dan itu sudah menunjukan bahwa dia memang berpikir demikian.“Dengar ya, Tuan Ed! Aku bukan perempuan seperti itu. Apa yang bisa membuatmu yakin kalau aku bukan perempuan seperti itu?”“Gampanglah. Ayo tidur denganku, biar aku tahu kau masih tersegel apa sudah di-unboxing!”“Oke!”…..Eh?Baru kusadari Ed tengah bertingkah manipulatif untuk mengajakku tidur.Bukankah sejak pertam
“E-Ed, aku-aku hanya...”Entah mengapa, aku jadi serba salah.Ibuku selalu mengajariku tata krama yang baik. Jadi hal seperti ini sangat membuatku tidak enak.Kutarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.“Maaf Ed, aku mengganggumu. Tadi aku mencarimu ke mana-mana.” Aku langsung menjelaskan apa yang terjadi agar Ed tidak menganggapku lancang, “Suer, deh. Aku tidak mendengar apapun, kok. Dan aku baru buka pintu saat kau menoleh.”Ed segera mengubah mimik mukanya dan terkekeh, “Kenapa kau setegang itu? Walau kau dengar pun tidak masalah juga. Hanya perbincangan antar sopir truk. Bukan hal penting.”Aku mengangguk sebelum Ed kembali menanyakan mengapa aku mendatanginya. “Eh, kenapa tadi?” “Jangan bilang kau berubah pikiran dan ingin tidur denganku, ya?”Duh… mulai lagi!“Jangan ngaco! Aku hanya heran bagaimana pecahan parfum di kamar sudah bersih? Bukankah kita berdua seharian di luar?”“Benarkah? Kok bisa?!” Ed terlihat terkejut.“Jangan-jangan arwah temanku yang membersihkannya, di
“Ed, jangan serius begitu. Aku hanya bercanda,” ujarku tidak enak.“Hahahaha, kamunya juga sih terlalu ketinggian imajinasinya. Ketemu saja belum.” Ed terkekeh. “Belum tentu, dia mau ketemu, kan?”Untung saja, Ed tipe yang santai.Kalau serius, sepertinya akan mengerikan.“Oh, iya. Aku penasaran satu hal. Kenapa Ramzi menganggap kamu matre hanya karena tantemu minta macam-macam? Seharusnya kalian saling mengenal ‘kan?”Benar juga.Kalau hanya alasan demikian, seharusnya Mas Ramzi tahu aku tidak seperti itu.Sepertinya, ucapan Ed benar.Mas Ramzi memang tidak serius denganku.“Sudah tidak apa, temui saja dia. Kau juga harus menuntaskan kisahmu dengannya. Sakit lho menjalani hubungan dengan pasangan yang belum tuntas dengan masa lalunya,” tukas Ed sedikit menampakan wajah teraniayanya.Aku justru ingin tertawa melihatnya.“Ed, singkirkan wajah itu!”Kami pun tertawa.Hanya saja, aku teringat satu masalah.“Ed, memangnya, kau bisa menghubungi Mas Ramzi?” tanyaku.Sejak peristiwa itu, ak
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar
Aku terkejut melihat Niko yang ada di tempat yang sama dengan kami. Dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita dan itu bukan Ceryl. Mereka duduk tidak jauh dari tempat duduk kami.Mau apa dia di sini? “Sopir truk? Kau yakin dia seorang sopir truk?” tanya wanita itu.Siapa juga yang percaya kalau suamiku yang tampan dan rapi dipanggil sopir truk oleh pria yang tidak tahu malu ini.Tidak tahu malu karena barusan sudah merencanakan hal buruk dengan mengirim perempuan ke suit pribadi kami dan berniat mengacaukan Ed.Untung aku yang lebih dulu sampai jadi mereka tidak punya kesempatan memanipulatif keadaan.Jangan-jangan dia di sini juga karena ingin memastikan rencananya berhasil.Sudah tahu atau belum kalau rencananya tidak berjalan dengan baik?Entahlah, dibawa ke mana dan diapakan dua wanita tadi oleh asisten suamiku.“Hallah, jaman sekarang apa yang tidak mungkin. Pemulung memakai baju mahal sudah banyak. Justru orang kaya yang sebenarnya malah berpenampilan apa adanya.” Niko me
“Sam yang akan mengurusnya,” tukasnya setelah menelpon Sam beberapa saat yang lalu.“Aku tidak mengerti?” aku masih belum puas dengan jawaban Ed. Dia tidak menjelaskan banyak hal padaku.“Temanmu itu pasti kesal karena investornya banyak yang berpindah ke perusahaan kita. Jadi, mungkin dia marah dan ingin berbuat ulah denganku. Apalagi saat ini bisnisnya mulai tersudut dengan banyaknya korban investasi yang melapor penipuan investasi bodong itu,” jelas Ed.Dan aku memang baru mendengar hal itu setelah beberapa bulan ini sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian itu. Pasti Ed sengaja meminta Sam membuat kacau bisnis Niko karena sudah mencoba melecehkanku. Tentang investor yang banyak berpindah ke perusahaan Lavidia aku pikir hanya trik saja dan bukannya sedang membutuhkannya.Kasihan sekali kalau benar itu terjadi. Dia baru saja bisa unjuk gigi dengan julukan crazy richnya. Istrinya yang matre itu pasti sekarang sangat kecewa padanya. Sayangnya aku sudah tidak lagi ada di group
“Siapa kalian?” tanyaku pada dua wanita itu sembari berkacak pinggang. Napasku sudah naik turun dan untuk sesaat aku hampir ingin berteriak-teriak menyerang mereka. “Saya hanya disewa untuk melayani pemilik hotel ini, Anda siapa?” ujar wanita itu yang dengan berani malah bertanya balik padaku.Pria yang katanya asisten baru itu tidak berani menyela dan memilih keluar.Biarlah. Biar dia memanggil bosnya agar cepat datang ke tempat ini dan melihat bahwa aku ada di tempat di mana dia sedang menyewa dua wanita ini untuk menghiburnya.Keterlaluan dia!Apa sangat tidak tahannya hingga menyewa dua wanita ini untuk memenuhi napsunya?!“Pekerjaan kami hanya melayani pria yang sudah membayar kami. Kalaupun Anda adalah kekasih atau istrinya, tolong hargailah pekerjaan kami,” ujar wanita satunya yang malah membuat isi kepalaku bertambah semrawut.Eh. Apa dia kata?Sadar atau tidak dia ngomong seperti itu?“Mana ada seorang istri yang harus menghargai pekerjaan orang yang ingin melayani suamin
Semenjak hamil aku berusaha bangun lebih pagi dan tidak tidur lagi selepas subuh seperti kebiasaan burukku. Kugunakan untuk berjalan-jalan santai di sekitar rumah dan melakukan yoga ringan agar otot-ototku tidak kaku karena seharian rebahan saja.Aku benar-benar menuruti nasihat dokter agar di trimester pertama si kembar di dalam rahimku ini bisa bertumbuh dengan baik dan optimal. Pengalaman hamil keduaku yang buruk, membuatku lebih disiplin pada kesehatanku sendiri.Biasanya makan sekedarnya asal perut terisi. Sekarang ingat ada dua mahluk mungil yang juga butuh nutrisi dalam tubuhku, akupun lebih bawel dan banyak berpesan ini dan itu pada Mbak Lilis yang bertanggung jawab soal dapur.“Loh, belum berangkat, Sayang?” ujarku melihat Ed yang masih di kamar saat aku keluar kamar mandi setelah mengeringkan rambutku dengan hanya melilitkan handuk di badan.“Belum, nanti saja tidak apa?” tukasnya tersenyum padaku dengan tatapan resah.“Kau tidak nyaman melihatku hanya memakai handuk?” du
“Ada yang tidak beres?” sahutku yang tidak kalah tegang dari Ed.Apa ini karena belum dua tahun aku sudah hamil lagi pasca operasi cesar sebelumnya? Pikirku dengan seribu kecemasan. Tapi kata Tante Atika ini tidak apa-apa asal rajin memeriksakan diri.“Haha, tenang, Ma, ini biasa di kehamilan trimester pertama. Saya hanya mendeteksi mulut rahimnya masih melunak. Dan itu biasa terjadi pembukaan yang berakibat pendarahan. Karenanya di trimester pertama ini harus hati-hatilah.”“Oh, begitukah?” aku menghela napas sedikit lega walau masih terbayang rasa cemas bayiku akan kenapa-kenapa.“Kasih tahu dia juga, Dok. Kita masih belum aman berhubungan, kan? Soalnya dia minta melulu.”Ed dengan polosnya mengadukan tentang hal itu pada dokter itu. Dengan cepat kucupit pinggangnya karena sebal dan malu. Bisa-bisanya dia bilang aku minta melulu. Apa coba yang dipikirkan dokter tentang aku? Dikira wanita gatel nanti, aku!“Hahaha, Itu hal biasa kok, Tuan. Wanita hamil itu hampir sama dengan wanita