“Apa dia pria baik-baik?”
Ibuku cemas kala melihat Ed yang penampilannya 180 derajat berbeda dari Mas Ramzi.
Mantan calon suamiku itu memang merupakan pria berpendidikan dan seorang dosen di sebuah universitas ternama di kota ini.
Sementara pria yang akan menggantikannya kali ini hanyalah pria yang bahkan aku sendiri tidak tahu persis bagaimana dia.
Tapi, dalam situasi begini, apa aku masih bisa memilih pria lain?
Sungguh aku sudah sangat beruntung Ed menerima pernikahan ini.
Setelahnya, kuharap kami bisa kembali kehidupan masing-masing.
“Semoga saja, Bu.” jawabku lelah, menyembunyikan kenyataan yang bertolak belakang tentang Ed.
Sesaat kemudian ibu mendekat dan memelukku erat. Mungkin dia sadar bahwa aku saat ini sedang hancur dan down. “Ibu hanya bisa berdoa agar Allah selalu melindungimu, Nak. Sabar ya...?”
Elusan di pundakku itu justru membuatku begitu lemah dan hancur. Aku lalu rebah di pundaknya dan menangis hingga tergugu di sana. Teringat betapa selama ini hidupku dipenuhi masalah yang bertubi-tubi. Aku bahkan tidak tahu hal apa lagi yang akan aku hadapi setelah ini.
Hanya saja, kulihat paman tiba-tiba masuk dan menutup pintu kamar sebelum kami sempat keluar. Tatapannya tampak serius padaku. “Mila!”
“Jadi, pria yang kau nikahi adalah Ed si supir itu?!” tanyanya tampak tak percaya. Mengundang rasa penasaran ibuku ada apa dengan pria yang akan menikahiku itu?
“Kenapa, Mas?” tanya ibuku ingin tahu.
“Bagaimana kau memilihnya yang menggantikan Ramzi? Sangat tidak sepadan sekali, Mila. Ramzi dosen terhormat dan anak seorang pengusaha.” Paman Rasyid tampak sangat tidak terima akan kenyataan itu. “Ed hanya sopir truk, Narti. Bahkan kudengar itupun bukan pekerjaan tetapnya. Mila kau bisa sangat menderita dengannya. Pikirkan sekali lagi!” Paman mencoba mempengaruhi keputusanku.
Aku hanya bisa menunduk. Paman sedikit banyak tahu tentang pria itu. Beberapa kali Ed pernah mengantar barang ke tokonya.
“Mas, asal dia baik aku rela dan ikhlas melepas putriku. Tidak peduli kalau itu sopir truk,” sela ibuku.
Wanita yang kusayangi itu memang bukan orang yang gila harta. Jadi, baginya tentu tidak akan mempermasalahkan soal itu.
“Pria itu urakan. Aku tidak melihat sedikit hal baik darinya, Narti. Kasihan Mila yang baik ini kalau harus menikah dengannya.”
Ibuku tampak panik.
Dia tentu tidak akan setuju kalau paman saja sangat keberatan.
Segera saja, aku berbicara, “Sudah, Bu, Paman! Semua sudah Mila putuskan. Ed juga sudah datang dan pernikahan akan segera dilangsungkan. Apa Paman dan Ibu tidak lihat kemarahan Tante Desi tadi?”
Aku mengingatkan mereka agar tidak lagi membuatku berubah pikiran.
“Mana bisa begitu, Nak. Ini tentang hidupmu. Ayo selagi masih ada waktu, kita pergi saja!!”
Ibu bangkit dan menyeret lenganku.
Namun, Tante Desi sudah berkacak pinggang di depan pintu kamar. “Mau buat perkara apa lagi, hah?!” teriaknya.
“Aku tidak peduli Kamila menikahi sopir truk atau kuli bangunan sekalipun. Asal dia menikah saja dan jangan buat aku malu!” Tante Desi menyeret lenganku ke luar dengan ngedumel.
Masih sempat kulihat paman dan ibu yang hanya menatapku dengan sangat sedih, tapi tidak bisa berbuat apapun di hadapan Tante Desi.
Dan sesuai ucapan wanita itu, acara pernikahan pun dilaksanakan.
***
“Jangan berlama-lama di rumahku, nanti ketiban sial karena bau kemiskinan kalian!”
Deg!
Begitu acara selesai dan tamu pulang, Tante Desi melemparkan barang-barangku di lantai.
Wanita itu sungguh tidak bisa dimengerti.
Bukankah tadi dia memintaku mencari sembarang orang agar mau menikahiku?
Sekarang setelah pernikahan sudah terjadi, masih juga aku disalahkan.
“Santai, Nyonya. Aku akan bawa pergi istriku.”
Suara Ed terdengar dari balik punggungku.
Entah sejak kapan pria ini ada di sana?
Jangan-jangan, dia juga mendengar cacian Tante Desi?
Jujur, kuharap Ed tidak shock mengetahui bagaimana tajamnya lidah wanita ini kalau sedang marah-marah.
Namun, pria itu ternyata tampak tenang.
Bahkan, tanpa basa-basi, Ed mengajakku pergi dari sana dengan mobil bak miliknya.
“Ed, aku ingin membicarakan sesuatu,” ucapku, sedikit ragu.
“Boleh. Tapi aku masih menyetir. Nanti bicaranya di rumah saja, ya?” tukas pria ini melirikku sebentar lalu kembali fokus menyetir.
Aku pun menahan diri dan bersabar.
Tadinya aku tidak ingin menunda menyampaikan alasan mengapa aku memintanya menjadi pengganti calon suamiku.
Tapi, dia benar.
Lelah raga dan batin setelah melewati ketegangan ini, membuatku merasa sungguh kelelahan, hingga tanpa sadar tertidur saat perjalanan itu.
Entah berapa lama, aku tak tahu.
Yang jelas, saat aku membuka mata, aku dapat melihat wajah Ed tepat di depanku!
Bahkan, aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat.
“Mau apa kau?!” panikku berjingkat dan mendorong tubuh itu.
Next
“Astaga! Bisa-bisanya kau menendang suamimu?!”Kulihat Ed terduduk di lantai karena ulahku.Aku jadi tak enak. Tapi, tadi itu gerakan refleks untuk perlindungan diri.“Tentu saja aku menendangmu, apa yang kau lakukan?” tukasku masih enggan merasa bersalah malah melototi pria yang kini berjalan mendekatiku.“Dengar Nona Mila! Aku tidak mungkin membiarkanmu tidur di mobil sepanjang malam, ’kan? Makanya aku menggendongmu ke kamar. Apa kau lupa kalau aku ini suamimu sekarang?” gerutunya tampak sebal sembari mencekal daguku tepat di kedua matanya.Aku sudah berpikir pria ini akan langsung memaksa mendapatkan haknya saja lantaran sok merasa menjadi suami.“Baik. Maafkan aku. Tapi jangan lakukan hal ini padaku. Kita harus bicara dulu,” ucapku penuh kecemasan.Untungnya Ed terlihat kasihan. Dia melepasku, lalu berjingkat pergi keluar kamar begitu saja.Baru saja aku bernapas lega, tapi pria pengganti calon suamiku itu sudah masuk lagi ke dalam kamar.“Aku lapar. Kau mau makan apa biar aku pes
“Ini tasmu?” ujar Ed menyadarkanku dari lamunan sembari menyodorkan tasku.Pria itu ternyata mau juga mengambilkannya.“Terima kasih, Ed,” tukasku.Mungkin tadi dia masih makan dan harus menyelesaikannya dulu. Akulah yang kurang sabaran!Hanya saja, saat aku hendak mengambil tas itu dari tangan Ed, pria itu malah menahan tanganku.Bugh!Tubuhku menubruk dada bidangnya.Aku mendongakan pandangku memandangnya yang begitu dekat sekali di wajahku.Namun, bibir Ed mendarat begitu saja di bibirku. Dia bahkan melumatnya tanpa membiarkan aku bisa protes.“Ehhmmm…”Kucoba untuk mendorong dadanya sekuat tenaga namun aku tetap tidak bisa bergerak.Mengapa tubuh pria ini begitu keras dan setegar karang?“Ed, lepaskan aku!” panikku.Tanpa sadar, setitik air mata bahkan lolos di pipiku.Anehnya, kulihat tatapan gelap Ed memudar dan dia mengendurkan dekapannya.“Makan dulu, aku sudah pesankan makanan untukmu. Kalau kau menolak aku akan menciummu lagi seperti tadi!” tukasnya mengambil tasku dan memba
Aku menatapnya malas.Hari pernikahanku jelas lebih horor.Jadi, aku tidak akan takut dengan cerita konyol itu.“Tolong keluarlah!” pintaku sekali lagi pada pria ini.“Baiklah. Jangan lama-lama. Setelah ini kita keluar. Aku sudah lapar!” ujarnya kemudian tidak lagi mengangguku.Saat kutatap bayanganku di cermin, Ed pasti melihat wajah sembab ini. Karenanya dia tampak kasihan tadi. Aku malah tidak jadi berganti baju. Duduk kembali dan tercenung beberapa saat namun tidak tahu apa yang sedang kupikirkan. Hanya kehampaan hati yang kembali kurasa.Tiba-tiba sekelebat bayangan entah hanya tirai yang tertiup angin atau apa tadi tertangkap sekilas namun dengan cepat menghilang.Suasana kamar yang nampak biasa herannya kini membuatku begidik. Bahkan cerita Ed yang tadi, saat ini terngiang di benakku hingga berhasil mempengaruhiku.Sial!Aku lupa bahwa sebenarnya aku juga penakut.Segera, diriku bangkit untuk mengganti bajuku, namun tanpa sadar tanganku menyenggol sesuatu di meja hingga...Py
“Tapi bohong!” sambungya tergelak sembari mengambil makanan di meja dan mulai menyantapnya.Ck!Ketengilan pria ini hampir saja membuatku melempar sendok ke mukanya karena sudah memancing emosi saja.Ingin sekali kusumpal mulut pria ini dengan makanan-makanan yang tersaji di meja karena sekali lagi selalu membuatku kesal dan sebal.Kenapa aku menikahi pria ini, sih?“Kalau memang kau bukan orang kaya, jangan sok-sokan mengajakku ke restoran mahal ini. Juga tinggal di rumah apartemenmu yang berhantu itu. Aku bukan orang yang suka dengan semua hal tapi kenyataannya hanya fake belaka. Malu kalau nanti orang lihat sebenarnya siapa diri kita yang miskin ini!” omelku panjang lebar setelah menyelesaikan sarapan itu. Bukan sarapan, tapi makan siang mengingat ini sudah siang hari.Ed hanya nyengir lalu dengan santai mengatakan, “Uangku banyak. Jangan kuatir tentang hidupmu. Kalau kau mau beli restoran ini pun aku akan membelinya untukmu.”Aku memutar bola mataku mendengarnya membual lagi. Set
“Boleh, Istriku. Kau minta ambilkan bulan saja akan kuambilkan, kok!”Meski tampak bercanda, ucapan santai Ed membuatku tak enak.Jujur, aku tidak bermaksud menyinggung Ed dengan masih menanyakan sesuatu yang berkaitan mantan calon suamiku itu.Tapi, aku ingin semuanya clear agar aku bisa menjalani hidupku ke depannya dengan baik. Untungnya, sepanjang perjalanan Ed tetap terlihat santai.Hanya saja, ketenangan itu sementara.Tepat ketika mobil Ed memasuki pelataran rumahnya, teriakan Tante Desi sudah menggema begitu kencang.“Jangan parkir di depan rumahku. Mobil bututmu itu tidak pantas sekali nongkrong di sana!”“Aku tidak akan lama. Hanya mengantar istriku menemuimu sebentar.”Tante Desi tampak marah akan ucapan Ed. Namun lagi-lagi, pria itu tetap santai.Ed bahkan menunggu dengan tenang di dalam mobil setelah membukakan pintu mobil untukku.Kini, aku menarik napas panjang. Bersiap untuk “berperang”.Hanya saja, baru turun dari mobil, aku menemukan mobil mewah tak jauh dari mobil
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, kami sama-sama terdiam.Jujur, aku merasa canggung.Baru saja dua hari ini bersama Ed, rasanya pria ini tidak semenyebalkan itu.Pria itu baru menjawab setelah menyodorkan secangkir teh camomile yang hangat dan harum. “Kenapa?”“Apa kau tidak punya rumah?”“Ada, tapi takutnya kau tidak mau tinggal di sana.”Aku meliriknya.Ed sudah tahu aku wanita sederhana dan tidak menyukai kemewahan. Lalu seburuk apa rumahnya hingga membuatku tidak mau tinggal di sana?“Kau belum membawaku ke sana dan sudah berpikir aku tidak mau?” protesku, “Lagi pula, aku lebih baik tinggal di rumah sederhana daripada tinggal di tempat serba mewah tapi milik orang lain.”“Rumahku juga bukan milikku. Tapi, punya keluargaku.”Seketika saja, aku menatap Ed dengan serius.Aku baru ingat belum menanyakan tentang keluarga pria ini. Biar bagaimanapun, dia “suamiku”, kan?“Hemmm… Ed, ada siapa saja di keluargamu?”Ed menatapku dalam.Entah mengapa aku merasakan kesedihan di matanya
“Wah, sungguh malang nasibku ini. Kalau teman-temanku tahu, mereka pasti akan sangat kasihan padaku, Kamila.”Ed memecah keheningan. Namun, kata-katanya itu membuatku tersinggung.“Kenapa mereka kasihan padamu?” sahutku.“Karena mereka berpikir aku menikahi barang bekas orang.”“Astaghfirullah... jahat banget pikiranmu, Ed. Apa kau pikir aku perempuan murahan sampai harus membiarkan pria yang belum menjadi suamiku, memakaiku?” Dalam hal ini aku mudah sekali tersulut emosi.“Itu pikiran temanku, bukan aku. Ingat tadi aku bilang te-man-ku!”“Jangan munafik. Kau juga berpikir demikian ‘kan?”Ed tersenyum kecil dan itu sudah menunjukan bahwa dia memang berpikir demikian.“Dengar ya, Tuan Ed! Aku bukan perempuan seperti itu. Apa yang bisa membuatmu yakin kalau aku bukan perempuan seperti itu?”“Gampanglah. Ayo tidur denganku, biar aku tahu kau masih tersegel apa sudah di-unboxing!”“Oke!”…..Eh?Baru kusadari Ed tengah bertingkah manipulatif untuk mengajakku tidur.Bukankah sejak pertam
“E-Ed, aku-aku hanya...”Entah mengapa, aku jadi serba salah.Ibuku selalu mengajariku tata krama yang baik. Jadi hal seperti ini sangat membuatku tidak enak.Kutarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.“Maaf Ed, aku mengganggumu. Tadi aku mencarimu ke mana-mana.” Aku langsung menjelaskan apa yang terjadi agar Ed tidak menganggapku lancang, “Suer, deh. Aku tidak mendengar apapun, kok. Dan aku baru buka pintu saat kau menoleh.”Ed segera mengubah mimik mukanya dan terkekeh, “Kenapa kau setegang itu? Walau kau dengar pun tidak masalah juga. Hanya perbincangan antar sopir truk. Bukan hal penting.”Aku mengangguk sebelum Ed kembali menanyakan mengapa aku mendatanginya. “Eh, kenapa tadi?” “Jangan bilang kau berubah pikiran dan ingin tidur denganku, ya?”Duh… mulai lagi!“Jangan ngaco! Aku hanya heran bagaimana pecahan parfum di kamar sudah bersih? Bukankah kita berdua seharian di luar?”“Benarkah? Kok bisa?!” Ed terlihat terkejut.“Jangan-jangan arwah temanku yang membersihkannya, di
“Danio sudah mati?” tanyanya pada Ed yang duduk di sofa panjang penunggu tak jauh dari ranjangnya.“Hmm, kami baru dari pemakamannya,” jawab Ed.Keduanya kembali terdiam ketika aku keluar dari toilet. Ed memintaku duduk di sampingnya dan Erik tampak menatapku dengan perasaan bersalah.Aku jadi tidak tahu harus ngomong apa?“Aku minta antar Sam atau Ari saja untuk pulang, ya?” Aku bicara pada suamiku.“Di luar hujan deras, Sayang. Dan Sam barusan mengabarkan ada truk besar terguling dan menyebabkan jalanan macet. Mending kita tunggu saja sebentar.”Aku baru tahu hal itu. Memang saat memasuki gedung ini tadi, sudah gerimis. Bisa jadi sekarang hujan deras teringat mendungnya yang pekat membuat langit Jakarta mengabu.“Oh, baiklah!” ujarku. Aku tidak menolak. Lagi pula ada Ed di sampingku. Kenapa juga aku masih merasa tidak enak?Setelah dokter memeriksa dan memberikan injection pada jarum infus Erik, pria itu menutup matanya. Sepertinya pengaruh obatnya membuatnya lebih banyak mengant
“Ed, mama dan papa kan sudah berpisah. Tapi mengapa...?”Belum tuntas pertanyaanku, Ed sudah menerima panggilan dari rumah sakit.Aku tidak akan menganggunya dulu.Lalu kupikir, nanti akan kutanyakan saja pada Paman Prabowo. Ed selalu pelit untuk menyampaikan tentang keluarganya.Kebanyakan aku mengetahui banyak hal pun bukan darinya. Dia hanya kebagian membenarkan saja saat kukonformasi apa yang disampaikan orang lain.Lagipula sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Tante Atika. Nanti sekalian mengajak ibu dan Mbak Lilis juga anak-anak ke rumahnya.“Kau mau aku antar pulang?” tanyanya. Padahal kudengar tadi dia mau ke rumah sakit.“Ada apa di rumah sakit?” aku tidak menjawabi pertanyaannya, tapi malah balik bertanya.“Erik sudah sadar, dia mencariku.” “Oh, syukurlah, Ed. Apa kau akan ke sana?”“Ya, aku akan menengoknya sebentar. Aku antar kau pulang dulu.”“Rumah sakit lebih dekat, Ed. Jadi kita ke rumah sakit saja dan nanti baru mengantarku pulang kalau sudah selesai dari meneng
Jenazah Danio disemayamkan di rumah duka sebelum akhirnya diberangkatkan ke pemakaman keluarga.Kami baru datang ketika beberapa mobil pengantar jenazah sudah berjalan keluar dari rumah duka. Sam menghampiri mobil dan Ed membuka kaca jendela. Aku tidak tahu apa maksud percakapan mereka yang hanya sepotong-sepotong itu. Apapun itu pasti hanya mengenai prosesi pemakaman Danio.“Siap, Tuan!” Sam melaporkan.“Datang?”“Datang, Tuan.”“Oke, kita langsung ke sana!”Dan kami kembali meluncur ke pemakaman keluarga. Ed memberitahu bahwa meski dalam satu arah dan berdekatan, tapi makam keluarga Ed dan Danio berbeda tempat.Padahal kalau Danio itu masih adik neneknya Ed, seharusnya masih dalam satu keluarga dan dimakamkan di tempat yang sama, kan? Tapi mungkin akulah di sini yang kurang mengerti. Nantilah aku menanyakan pada Ed. Aku menggandeng lengan Ed dengan sedikit erat ketika memasuki areal pemakaman yang sepi dan sedikit rimbun dengan bunga kamboja itu.Untungnya sepanjang jalan setapak
“Ahaha, Papa kalau tidur memang suka begitu, Meida. Sama kan kayak Gala. Suka jatuh dari tempat tidur,” aku menyahuti pertanyaan bocah itu. Padahal Ed sudah melirikku seolah mengatakan tidak perlu menjawabnya agar tidak terlihat bohongnya.“Tapi kok baju mama dan papa di lepas. Meida lihat kok baju mama dan papa di lantai?”Tuh kan? Bocah itu akan terus bertanya karena merasa tidak puas dengan jawabanku sebelumnya.Kali ini Ed bukannya membantuku, tapi malah memakai headseatnya dan bangkit pura-pura menerima panggilan.Entahlah, apa itu beneran ada panggilan atau hanya kamuflasenya saja agar terhindar dari pertanyaan Meida?Kulihat Nur dengan sopan tidak bereaksi apapun mendegar celoteh bocah asuannya itu. Dia langsung memakaikan Meida bathrobe kecil lalu mengendongnya duduk di sebelahku dan ganti mengurus gala yang belum mau mentas dari kolam renang.Kuambil kesempatan itu untuk mengajak putriku masuk ke dalam kamar dengan alasan memandikannya dan mengganti bajunya. Setelah itu ak
“Enggak jadi minta dipijitin dulu?” Aku masih mengingatkannya saat leherku sudah penuh gigitan lembutnya.“Tanggung, Beb. Aku saja yang sekarang pijitin kamu,” ujarnya sembari melorotkan tali lingeri yang kugenakan untuk bisa menangkupkan kedua tangan besarnya itu pada dua bagian yang katanya semakin mantap itu. Sejak dulu aku memang rajin merawat diri, apalagi untuk suamiku yang ganteng dan selalu menjadi incaran para wanita diluar sana.Ed duduk bertumpu pada kedua lututnya dan kedua kakiku melingkar di pinggangnya, sedangkan tangan besar itu sudah ayik mengadon dua benda yang membusung itu dengan remasan lembut dan nyaman. Tanpa kuperintah, bibirku sudah meloloskan suara desah manjalita yang membuat pria itu lebih tergoda. Napasku sudah naik turun menggilai kenyamanan yang diberikannya. Otot-otoku mengejang perlahan di bawah pada kenikmatan nirwana. Tahu aku sudah dimabuk kepayang, Ed berlanjut melumat dua puncak itu bergantian, sedangkan satu tangannya malah diturunkan menelu
“Berani dia pulang ke Indonesia saat status hukumnya masih sebagai narapidana?” tanyaku pada Ed yang sudah rebahan di tempat tidur.Dia sudah datang beberapa waktu yang lalu, namun karena Meida merengek memintanya menemani mereka di kamar sebelum tidur, jadinya Ed melenyapkan rasa lelahnya sementara sampai dua bocah kecil itu bersedia tidur. “Kenapa?” tanya Ed yang bisa kukatakan kurang fokus saja dengan pembicaraan tentang Jessica. Mungkin dia lelah. Karenanya, aku menunda acara pijit-pijit yang sudah kami rencanakan tadi.“Apa kasus Jessica sudah tuntas?” tanyaku.“Informasi yang aku dengar Danio meminta pengacara untuk bernegosiasi dengan pihak keluarga anak-anak yang diculik. Mereka memilih menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.”“Hah?! Serius, Ed?” Aku jadi merasa tidak terima wanita itu bisa lolos begitu saja dari jerat hukum. Pasti Danio tidak hanya menawarkan tentang kekeluargaannya itu. Bisa jadi pria itu juga mengancam.“Ya sudahlah, bukan urusan kita juga ‘kan?”“Walau
“Innalillahi...” ucapku mendengar berita duka itu.Walau pria itu sudah kejam dan memiliki niat jahat pada kami, sebagai sesama manusia aku juga ikut prihatin.“Paman di rumah sakit, Tante?” tanyaku.“Iya, dia tentu juga harus mengurus semua perkara ini, Mila. Tadinya suamimu memintanya segera mengusut tentang pembunuhan papanya, tak dinyana, Danio sudah menghembuskan napas terakhir sebelum menerima hukumannya di pengadilan negara.”Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Danio saat pengejaran. Karena sebelumnya Danio tidak kenapa-kenapa. Dia melompat dari jendela dan berhasil melarikan diri. Lalu setelahnya aku tidak mengikuti beritanya lagi.Sorenya aku mengirim pesan pada Ed dengan alasan anak-anaknya merindukannya dan ingin melakukan video call.Ed tidak menolak dan langsung menghubungi balik anak-anak untuk melakukan vidio call.Kubiarkan saja dua bocah itu berkomunikasi dengan papanya. Aku hanya memperhatikan keduanya dari jauh saja. Sesekali melirik Ed di layar ponsel. Walau wajah
“Penasaran kenapa, Mbak? Mereka kembar, jadi kalau mau tahu seperti apa, ya sama kaya Ed lah,” ujarku sembari menerima jus buah yang baru dibuatkan Mbak Lilis.“Lagipula, Erik sekarang masih di ICU. Kalau kita ke sana pun enggak bisa lihat. Nanti saja kalau sudah pindah di ruang perawatan.”Mbak Lilis duduk di sebelahku dengan menopang dagunya. Tidak berhenti bertanya. Kali ini sedikit berbisik sambil celingak-celinguk, “Memangnya ada kejadian apa kemarin sampai bajumu penuh cipratan darah?”Kuhela napas kemudian baru menjawab pertanyaan Mbak Lilis. Kalau padanya, aku tidak perlu terlalu cemas. Mbak Lilis tidak pernah heboh dengan apapun. Bahkan suaminya punya istri lagi saja dia tetap setenang dasar laut.“Sebenarnya sejak dulu ada orang yang ingin merusak keluarga Ed, Mbak. Dia yang selama ini mencoba membuat Ed dan saudaranya itu selalu bermusuhan. Saat ini keduanya baru menyadari dan merasa harus melawan pria itu. Jadinya ada sedikit baku hantam yang tidak bisa dielakan.” Kusampai
“Sebaiknya kau pulang dan beristirahat di rumah saja,” tukas Ed padaku.Kami sebentar keluar ruangan karena sesuai pesan dokter, di ruang ICU tidak boleh ada lebih dari seorang penunggu.“Pulang, Sayang?” ujarku seolah keberatan. Inginnya aku menemaninya ikut menunggui Erik yang belum keluar dari masa kritisnya ini.“Ari sudah menjemputmu.” Ed menunjuk ke arah Ari yang sudah berjaan mendekat.Aku tidak tahu apakah Ed kesal melihat tanganku yang digenggam Erik tadi? Tapi saat ini aku akan mematuhinya saja.“Baiklah, Sayang. Aku akan pulang. Tapi, apakah kau jadi mendonorkan darah untuk Erik?” tanyaku memastikan.“Iya, tapi dokter bilang nanti setelah semua stabil. Mungkin nanti pagi.” Ed menjelaskan.Aku mengangguk dan kulepas baju khusus pembesuk ruang ICU itu, lalu kehampiri Ed kembali.“Aku pulang dulu, ya? Kalau ada apa-apa kabari aku,” ujarku sembari berjinjit untuk menciumnya. Ed hanya bereaksi mengangguk padaku lalu memanggil Ari agar mengantarku pulang.Apa suamiku marah? Piki