Share

Bab 2 : Tidak Dapat Memilih

“Apa dia pria baik-baik?”

Ibuku cemas kala melihat Ed yang penampilannya 180 derajat berbeda dari Mas Ramzi.

Mantan calon suamiku itu memang merupakan pria berpendidikan dan seorang dosen di sebuah universitas ternama di kota ini.

Tapi, dalam situasi begini, apa aku masih bisa memilih pria lain?

Sungguh aku sudah sangat beruntung Ed menerima pernikahan ini.

Setelahnya, kuharap kami bisa kembali kehidupan masing-masing. 

“Semoga saja, Bu.” jawabku lelah, menyembunyikan kenyataan yang bertolak belakang tentang Ed.

Sesaat kemudian ibu mendekat dan memelukku erat. Mungkin dia sadar bahwa aku saat ini sedang hancur dan down. “Ibu hanya bisa berdoa agar Allah selalu melindungimu, Nak. Sabar ya...?”

Elusan di pundakku itu justru membuatku begitu lemah dan hancur. Aku lalu rebah di pundaknya dan menangis hingga tergugu di sana. Teringat betapa selama ini hidupku dipenuhi masalah yang bertubi-tubi. Aku bahkan tidak tahu hal apa lagi yang akan aku hadapi setelah ini.

Hanya saja, kulihat paman tiba-tiba masuk dan menutup pintu kamar sebelum kami sempat keluar. Tatapannya tampak serius padaku. “Mila!”

“Jadi, pria yang kau nikahi adalah Ed si supir itu?!” tanyanya tampak tak percaya. Mengundang rasa penasaran ibuku ada apa dengan pria yang akan menikahiku itu?

“Kenapa, Mas?” tanya ibuku ingin tahu.

“Bagaimana kau memilihnya yang menggantikan Ramzi? Sangat tidak sepadan sekali, Mila. Ramzi dosen terhormat dan anak seorang pengusaha.” Paman Rasyid tampak sangat tidak terima akan kenyataan itu. “Ed hanya sopir truk, Narti. Bahkan kudengar itupun bukan pekerjaan tetapnya. Mila kau bisa sangat menderita dengannya. Pikirkan sekali lagi!” Paman mencoba mempengaruhi keputusanku.

Aku hanya bisa menunduk. Paman sedikit banyak tahu tentang pria itu. Beberapa kali Ed pernah mengantar barang ke tokonya. 

“Mas, asal dia baik aku rela dan ikhlas melepas putriku. Tidak peduli kalau itu sopir truk,” sela ibuku.

Wanita yang kusayangi itu memang bukan orang yang gila harta. Jadi, baginya tentu tidak akan mempermasalahkan soal itu.

“Pria itu urakan. Aku tidak melihat sedikit hal baik darinya, Narti. Kasihan Mila yang baik ini kalau harus menikah dengannya.”

Ibuku tampak panik.

Dia tentu tidak akan setuju kalau paman saja sangat keberatan.

Segera saja, aku berbicara, “Sudah, Bu, Paman! Semua sudah Mila putuskan. Ed juga sudah datang dan pernikahan akan segera dilangsungkan. Apa Paman dan Ibu tidak lihat kemarahan Tante Desi tadi?”

Aku mengingatkan mereka agar tidak lagi membuatku berubah pikiran.

“Mana bisa begitu, Nak. Ini tentang hidupmu. Ayo selagi masih ada waktu, kita pergi saja!!”

Ibu bangkit dan menyeret lenganku.

Namun, Tante Desi sudah berkacak pinggang di depan pintu kamar. “Mau buat perkara apa lagi, hah?!” teriaknya.

“Aku tidak peduli Kamila menikahi sopir truk atau kuli bangunan sekalipun. Asal dia menikah saja dan jangan buat aku malu!” Tante Desi menyeret lenganku ke luar dengan ngedumel.

Masih sempat kulihat paman dan ibu yang hanya menatapku dengan sangat sedih, tapi tidak bisa berbuat apapun di hadapan Tante Desi.

Dan sesuai ucapan wanita itu, acara pernikahan pun dilaksanakan.

***

“Jangan berlama-lama di rumahku, nanti ketiban sial karena  bau kemiskinan kalian!”

Deg!

Begitu acara selesai dan tamu pulang, Tante Desi melemparkan barang-barangku di lantai.

Wanita itu sungguh tidak bisa dimengerti.

Bukankah tadi dia memintaku mencari sembarang orang agar mau menikahiku?

Sekarang setelah pernikahan sudah terjadi, masih juga aku disalahkan.

“Santai, Nyonya. Aku akan bawa pergi istriku.”

Suara Ed terdengar dari balik punggungku.

Entah sejak kapan pria ini ada di sana?

Jangan-jangan, dia juga mendengar cacian Tante Desi?

Jujur, kuharap Ed tidak shock mengetahui bagaimana tajamnya lidah wanita ini kalau sedang marah-marah.

Namun, pria itu ternyata tampak tenang.

Bahkan, tanpa basa-basi, Ed mengajakku pergi dari sana dengan mobil bak miliknya.

“Ed, aku ingin membicarakan sesuatu,” ucapku, sedikit ragu.

“Boleh. Tapi aku masih menyetir. Nanti bicaranya di rumah saja, ya?” tukas pria ini melirikku sebentar lalu kembali fokus menyetir.

Aku pun menahan diri dan bersabar.

Tadinya aku tidak ingin menunda menyampaikan alasan mengapa aku memintanya menjadi pengganti calon suamiku.

Tapi, dia benar.

Lelah raga dan batin setelah melewati ketegangan ini, membuatku merasa sungguh kelelahan, hingga tanpa sadar tertidur saat perjalanan itu.

Entah berapa lama, aku tak tahu.

Yang jelas, saat aku membuka mata, aku dapat melihat wajah Ed tepat di depanku!

Bahkan, aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat.

“Mau apa kau?!” panikku berjingkat dan mendorong tubuh itu.

Next

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status