“Boleh, Istriku. Kau minta ambilkan bulan saja akan kuambilkan, kok!”Meski tampak bercanda, ucapan santai Ed membuatku tak enak.Jujur, aku tidak bermaksud menyinggung Ed dengan masih menanyakan sesuatu yang berkaitan mantan calon suamiku itu.Tapi, aku ingin semuanya clear agar aku bisa menjalani hidupku ke depannya dengan baik. Untungnya, sepanjang perjalanan Ed tetap terlihat santai.Hanya saja, ketenangan itu sementara.Tepat ketika mobil Ed memasuki pelataran rumahnya, teriakan Tante Desi sudah menggema begitu kencang.“Jangan parkir di depan rumahku. Mobil bututmu itu tidak pantas sekali nongkrong di sana!”“Aku tidak akan lama. Hanya mengantar istriku menemuimu sebentar.”Tante Desi tampak marah akan ucapan Ed. Namun lagi-lagi, pria itu tetap santai.Ed bahkan menunggu dengan tenang di dalam mobil setelah membukakan pintu mobil untukku.Kini, aku menarik napas panjang. Bersiap untuk “berperang”.Hanya saja, baru turun dari mobil, aku menemukan mobil mewah tak jauh dari mobil
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, kami sama-sama terdiam.Jujur, aku merasa canggung.Baru saja dua hari ini bersama Ed, rasanya pria ini tidak semenyebalkan itu.Pria itu baru menjawab setelah menyodorkan secangkir teh camomile yang hangat dan harum. “Kenapa?”“Apa kau tidak punya rumah?”“Ada, tapi takutnya kau tidak mau tinggal di sana.”Aku meliriknya.Ed sudah tahu aku wanita sederhana dan tidak menyukai kemewahan. Lalu seburuk apa rumahnya hingga membuatku tidak mau tinggal di sana?“Kau belum membawaku ke sana dan sudah berpikir aku tidak mau?” protesku, “Lagi pula, aku lebih baik tinggal di rumah sederhana daripada tinggal di tempat serba mewah tapi milik orang lain.”“Rumahku juga bukan milikku. Tapi, punya keluargaku.”Seketika saja, aku menatap Ed dengan serius.Aku baru ingat belum menanyakan tentang keluarga pria ini. Biar bagaimanapun, dia “suamiku”, kan?“Hemmm… Ed, ada siapa saja di keluargamu?”Ed menatapku dalam.Entah mengapa aku merasakan kesedihan di matanya
“Wah, sungguh malang nasibku ini. Kalau teman-temanku tahu, mereka pasti akan sangat kasihan padaku, Kamila.”Ed memecah keheningan. Namun, kata-katanya itu membuatku tersinggung.“Kenapa mereka kasihan padamu?” sahutku.“Karena mereka berpikir aku menikahi barang bekas orang.”“Astaghfirullah... jahat banget pikiranmu, Ed. Apa kau pikir aku perempuan murahan sampai harus membiarkan pria yang belum menjadi suamiku, memakaiku?” Dalam hal ini aku mudah sekali tersulut emosi.“Itu pikiran temanku, bukan aku. Ingat tadi aku bilang te-man-ku!”“Jangan munafik. Kau juga berpikir demikian ‘kan?”Ed tersenyum kecil dan itu sudah menunjukan bahwa dia memang berpikir demikian.“Dengar ya, Tuan Ed! Aku bukan perempuan seperti itu. Apa yang bisa membuatmu yakin kalau aku bukan perempuan seperti itu?”“Gampanglah. Ayo tidur denganku, biar aku tahu kau masih tersegel apa sudah di-unboxing!”“Oke!”…..Eh?Baru kusadari Ed tengah bertingkah manipulatif untuk mengajakku tidur.Bukankah sejak pertam
“E-Ed, aku-aku hanya...”Entah mengapa, aku jadi serba salah.Ibuku selalu mengajariku tata krama yang baik. Jadi hal seperti ini sangat membuatku tidak enak.Kutarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.“Maaf Ed, aku mengganggumu. Tadi aku mencarimu ke mana-mana.” Aku langsung menjelaskan apa yang terjadi agar Ed tidak menganggapku lancang, “Suer, deh. Aku tidak mendengar apapun, kok. Dan aku baru buka pintu saat kau menoleh.”Ed segera mengubah mimik mukanya dan terkekeh, “Kenapa kau setegang itu? Walau kau dengar pun tidak masalah juga. Hanya perbincangan antar sopir truk. Bukan hal penting.”Aku mengangguk sebelum Ed kembali menanyakan mengapa aku mendatanginya. “Eh, kenapa tadi?” “Jangan bilang kau berubah pikiran dan ingin tidur denganku, ya?”Duh… mulai lagi!“Jangan ngaco! Aku hanya heran bagaimana pecahan parfum di kamar sudah bersih? Bukankah kita berdua seharian di luar?”“Benarkah? Kok bisa?!” Ed terlihat terkejut.“Jangan-jangan arwah temanku yang membersihkannya, di
“Ed, jangan serius begitu. Aku hanya bercanda,” ujarku tidak enak.“Hahahaha, kamunya juga sih terlalu ketinggian imajinasinya. Ketemu saja belum.” Ed terkekeh. “Belum tentu, dia mau ketemu, kan?”Untung saja, Ed tipe yang santai.Kalau serius, sepertinya akan mengerikan.“Oh, iya. Aku penasaran satu hal. Kenapa Ramzi menganggap kamu matre hanya karena tantemu minta macam-macam? Seharusnya kalian saling mengenal ‘kan?”Benar juga.Kalau hanya alasan demikian, seharusnya Mas Ramzi tahu aku tidak seperti itu.Sepertinya, ucapan Ed benar.Mas Ramzi memang tidak serius denganku.“Sudah tidak apa, temui saja dia. Kau juga harus menuntaskan kisahmu dengannya. Sakit lho menjalani hubungan dengan pasangan yang belum tuntas dengan masa lalunya,” tukas Ed sedikit menampakan wajah teraniayanya.Aku justru ingin tertawa melihatnya.“Ed, singkirkan wajah itu!”Kami pun tertawa.Hanya saja, aku teringat satu masalah.“Ed, memangnya, kau bisa menghubungi Mas Ramzi?” tanyaku.Sejak peristiwa itu, ak
“Kamila?” tegur wanita itu.Tidak kusangka mantan kekasih Mas Ramzi itu ternyata masih menungguku di pintu keluar.Tidak mengerti apa yang ingin disampaikannya, tapi aku membuntut saja ketika dia memintaku mengikutinya.Di sebuah kafe kami memilih tempat di pojokan agar bisa leluasa bicara.“Kau tidak lupa siapa aku, ‘kan?” tanya wanita itu sembari mengaduk minumannya dengan sedotan.“Aku tahu kamu, tapi maaf aku lupa siapa namamu,” ujarku apa adanya yang mengundang sorot mata dingin itu.Aku sebentar menyesali sikapku. Tidak penting juga untuk menyampaikan tentang hal itu. Tahu atau tidak namanya seharusnya bukan menjadi masalah besar. Dan lagi, kulihat wanita itu tersinggung atas ucapanku.“Uhm. Baiklah, Nona Kamila yang sekarang ini menjadi buah bibir di kampus. Perkenalkan namaku Ceryl. Jika kau lupa namaku seharusnya kau tidak lupa bahwa wanita yang berbicara di depanmu
“Kenapa murung begitu? Apa ada yang mengusikmu?” Ed menghampiriku yang masih duduk dengan kegelisahan.“Ed, aku bertemu dengan seseorang. Dia bilang Mas Ramzi menghianatiku dengan temanku sendiri.”Ed menyipitkan matanya menatapku. “Menghianati bagaimana?”“Entahlah, Ed. Mungkin itu hanya hasutan Ceryl saja,” kataku. Bisa jadi memang seperti itu.“Kalau masih kepikiran sebaiknya tanyakan langsung pada temanmu itu?” saran Ed.“Tidak bisa, Ed. Sudah hampir sebulan ini kontaknya tidak aktif.”Ed kemudian mengingatkan tentang tujuaan kami keluar hari ini.“Jadi bagaimana? Masih ingin bertemu dengan Ramzi tidak?”“Memangnya dia ada di kota ini?”“Kita coba datangi rumahnya dulu.” Ed memberi ide.Aku tidak menolak. Kamipun segera keluar mall untuk menuju kediaman Mas Ramzi.Tadinya aku mau berta
Aku tidak berdaya mendengar hal itu.Bagaimana pria itu membatalkan pernikahan kami tapi malah menikah dengan wanita lain?Dan wanita lain itu adalah temanku sendiri...Ed yang melihatku lemas segera melepaskan pria itu dan menghampiriku. Dia memapahku untuk duduk di sebuah kursi.“Kau tidak apa-apa, Mila?” tanyanya cemas.Aku bahkan tidak mendengar pertanyan Ed demi bangkit kembali menghampiri penjaga rumah itu untuk meminta penjelasan atas ucapannya tadi.“Pak, benarkah begitu?” tanyaku bergetar.Sesaat tadi aku masih berharap ucapan Ceryl hanya mengada-ada. Begitu juga alasan yang dikemukakan Diana bahwa keluarga mereka memutuskan membatalkan pernikahan karena tuntutan Tante Desi.Ah, sekalian saja kali ini aku tuntaskan semuanya agar jelas, sejelas-jelasnya.Sakit sekali rasanya hati ini. Seolah tidak cukup pria itu mempermalukanku dengan pembatalan pernikahan kami. Ternyata dia ma