“E-Ed, aku-aku hanya...”Entah mengapa, aku jadi serba salah.Ibuku selalu mengajariku tata krama yang baik. Jadi hal seperti ini sangat membuatku tidak enak.Kutarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.“Maaf Ed, aku mengganggumu. Tadi aku mencarimu ke mana-mana.” Aku langsung menjelaskan apa yang terjadi agar Ed tidak menganggapku lancang, “Suer, deh. Aku tidak mendengar apapun, kok. Dan aku baru buka pintu saat kau menoleh.”Ed segera mengubah mimik mukanya dan terkekeh, “Kenapa kau setegang itu? Walau kau dengar pun tidak masalah juga. Hanya perbincangan antar sopir truk. Bukan hal penting.”Aku mengangguk sebelum Ed kembali menanyakan mengapa aku mendatanginya. “Eh, kenapa tadi?” “Jangan bilang kau berubah pikiran dan ingin tidur denganku, ya?”Duh… mulai lagi!“Jangan ngaco! Aku hanya heran bagaimana pecahan parfum di kamar sudah bersih? Bukankah kita berdua seharian di luar?”“Benarkah? Kok bisa?!” Ed terlihat terkejut.“Jangan-jangan arwah temanku yang membersihkannya, di
“Ed, jangan serius begitu. Aku hanya bercanda,” ujarku tidak enak.“Hahahaha, kamunya juga sih terlalu ketinggian imajinasinya. Ketemu saja belum.” Ed terkekeh. “Belum tentu, dia mau ketemu, kan?”Untung saja, Ed tipe yang santai.Kalau serius, sepertinya akan mengerikan.“Oh, iya. Aku penasaran satu hal. Kenapa Ramzi menganggap kamu matre hanya karena tantemu minta macam-macam? Seharusnya kalian saling mengenal ‘kan?”Benar juga.Kalau hanya alasan demikian, seharusnya Mas Ramzi tahu aku tidak seperti itu.Sepertinya, ucapan Ed benar.Mas Ramzi memang tidak serius denganku.“Sudah tidak apa, temui saja dia. Kau juga harus menuntaskan kisahmu dengannya. Sakit lho menjalani hubungan dengan pasangan yang belum tuntas dengan masa lalunya,” tukas Ed sedikit menampakan wajah teraniayanya.Aku justru ingin tertawa melihatnya.“Ed, singkirkan wajah itu!”Kami pun tertawa.Hanya saja, aku teringat satu masalah.“Ed, memangnya, kau bisa menghubungi Mas Ramzi?” tanyaku.Sejak peristiwa itu, ak
“Kamila?” tegur wanita itu.Tidak kusangka mantan kekasih Mas Ramzi itu ternyata masih menungguku di pintu keluar.Tidak mengerti apa yang ingin disampaikannya, tapi aku membuntut saja ketika dia memintaku mengikutinya.Di sebuah kafe kami memilih tempat di pojokan agar bisa leluasa bicara.“Kau tidak lupa siapa aku, ‘kan?” tanya wanita itu sembari mengaduk minumannya dengan sedotan.“Aku tahu kamu, tapi maaf aku lupa siapa namamu,” ujarku apa adanya yang mengundang sorot mata dingin itu.Aku sebentar menyesali sikapku. Tidak penting juga untuk menyampaikan tentang hal itu. Tahu atau tidak namanya seharusnya bukan menjadi masalah besar. Dan lagi, kulihat wanita itu tersinggung atas ucapanku.“Uhm. Baiklah, Nona Kamila yang sekarang ini menjadi buah bibir di kampus. Perkenalkan namaku Ceryl. Jika kau lupa namaku seharusnya kau tidak lupa bahwa wanita yang berbicara di depanmu
“Kenapa murung begitu? Apa ada yang mengusikmu?” Ed menghampiriku yang masih duduk dengan kegelisahan.“Ed, aku bertemu dengan seseorang. Dia bilang Mas Ramzi menghianatiku dengan temanku sendiri.”Ed menyipitkan matanya menatapku. “Menghianati bagaimana?”“Entahlah, Ed. Mungkin itu hanya hasutan Ceryl saja,” kataku. Bisa jadi memang seperti itu.“Kalau masih kepikiran sebaiknya tanyakan langsung pada temanmu itu?” saran Ed.“Tidak bisa, Ed. Sudah hampir sebulan ini kontaknya tidak aktif.”Ed kemudian mengingatkan tentang tujuaan kami keluar hari ini.“Jadi bagaimana? Masih ingin bertemu dengan Ramzi tidak?”“Memangnya dia ada di kota ini?”“Kita coba datangi rumahnya dulu.” Ed memberi ide.Aku tidak menolak. Kamipun segera keluar mall untuk menuju kediaman Mas Ramzi.Tadinya aku mau berta
Aku tidak berdaya mendengar hal itu.Bagaimana pria itu membatalkan pernikahan kami tapi malah menikah dengan wanita lain?Dan wanita lain itu adalah temanku sendiri...Ed yang melihatku lemas segera melepaskan pria itu dan menghampiriku. Dia memapahku untuk duduk di sebuah kursi.“Kau tidak apa-apa, Mila?” tanyanya cemas.Aku bahkan tidak mendengar pertanyan Ed demi bangkit kembali menghampiri penjaga rumah itu untuk meminta penjelasan atas ucapannya tadi.“Pak, benarkah begitu?” tanyaku bergetar.Sesaat tadi aku masih berharap ucapan Ceryl hanya mengada-ada. Begitu juga alasan yang dikemukakan Diana bahwa keluarga mereka memutuskan membatalkan pernikahan karena tuntutan Tante Desi.Ah, sekalian saja kali ini aku tuntaskan semuanya agar jelas, sejelas-jelasnya.Sakit sekali rasanya hati ini. Seolah tidak cukup pria itu mempermalukanku dengan pembatalan pernikahan kami. Ternyata dia ma
“Jangan dipikirkan lagi. Kau sudah tahu pria seperti apa dia ‘kan?”Ed mengusikku yang dua hari ini hanya termenung meratapi kemalangan yang terjadi dalam hidupku.Oh. Kasihan sekali diriku. Bukan hanya dipermalukan karena dicampakkan di hari pernikahan, tapi lebih dari sekedar itu, Mas Ramzi berselingkuh dengan teman dekatku sendiri.Tania bilang tidak dapat datang ke pernikahan dengan alasan menjaga neneknya yang sakit. Tidak tahunya malah dirinya sendirilah yang sakit. Dia sakit karena di dalam perutnya tumbuh mahluk hasil menelikung sahabatnya sendiri. Mungkin tepukan tangan penonton bola di stadion belum cukup menunjukan kehebatan mereka yang telah dengan sempurna sekali menghancurkanku sampai lembut seperti debu.“Mila?” panggil Ed sekali lagi karena aku belum juga terbangun dari lamunan yang sia-sia ini.“Apa sih, Ed. Aku sumpek sekali!” gerutuku merasa ingin sekali meledakan diriku sendiri.“Ya sudah, kita jalan-jalan, ya?” Ed menawarkan.Aku tidak banyak bicara. Hanya berd
Aku tidak sadar dengan apa yang terjadi. Tidak bisa membedakan antara mimpi atau nyata. Seolah mendapati diriku sedang belari di atas hamparan rerumputan dengan bunga-buga bertebaran di atasnya. Tubuhku terasa ringan dan untuk sesaat aku tidak lagi terbebani rasa sakit hati dan kecewa yang dalam. Semuanya seperti menguap entah kemana. Rasanya aku ingin terbang lalu berguling-guling di atas awan untuk merayakannya.Kulihat Ed begitu menawan bak malaikat bersayap turun dari langit. Begitu gagah menampakan dada bidang dan perut roti sobeknya. Pria ini, sejak kapan jadi sesempurna ini?Hatiku menghangat teringat hanya pria ini yang selalu menemaniku menangis akhir-akhir ini.Ed tersenyum memanggilku namun terdengar delay seolah dia berada di tempat yang sangat jauh. Lalu kupanggil balik dirinya agar tidak jauh dariku. Aku jadi takut di tempat asing ini sendirian.“Jangan tinggalkan aku, Ed,” ujarku memeluknya agar dia tidak meninggal
Sudah seminggu kami pindah ke rumah kontrakan Ed. Aku yang menginginkannya. Karena semewah apapun apartemen yang ditempati Ed, itu bukanlah miliknya. Ada rasa malu jika harus menggunakan sesuatu yang bukan milik sendiri. Dan pria itu, ternyata mau juga menuruti kemauanku.Hampir seminggu ini juga aku sengaja tidak mengaktifkan ponselku. Tapi aku butuh informasi tentang kapan pastinya pelaksanaan wisuda di kampus. Karenanya kuambil benda itu di laci dan mengaktifkannya.Sejak dulu aku memang hanya memfungsikan benda itu sebagai sarana komunikasi saja. selebihnya kalau tidak perlu, maka bisa sampai berhari-hari pun aku tidak menyentuhnya.Apalagi sekarang ini aku sering dihinggapi rasa cemas saat hendak mengaktifkannya lagi. Karena sudah terbayang saja sakit hati yang akan aku rasakan jika melihat pesan-pesan di group teman-teman kampusku. Mereka sungguh menjadikan prahara gagalnya pernikahanku sebagai sebuah lelucon yang tidak akan pernah berhenti dibahas.