Aku tidak sadar dengan apa yang terjadi. Tidak bisa membedakan antara mimpi atau nyata. Seolah mendapati diriku sedang belari di atas hamparan rerumputan dengan bunga-buga bertebaran di atasnya. Tubuhku terasa ringan dan untuk sesaat aku tidak lagi terbebani rasa sakit hati dan kecewa yang dalam. Semuanya seperti menguap entah kemana. Rasanya aku ingin terbang lalu berguling-guling di atas awan untuk merayakannya.Kulihat Ed begitu menawan bak malaikat bersayap turun dari langit. Begitu gagah menampakan dada bidang dan perut roti sobeknya. Pria ini, sejak kapan jadi sesempurna ini?Hatiku menghangat teringat hanya pria ini yang selalu menemaniku menangis akhir-akhir ini.Ed tersenyum memanggilku namun terdengar delay seolah dia berada di tempat yang sangat jauh. Lalu kupanggil balik dirinya agar tidak jauh dariku. Aku jadi takut di tempat asing ini sendirian.“Jangan tinggalkan aku, Ed,” ujarku memeluknya agar dia tidak meninggal
Sudah seminggu kami pindah ke rumah kontrakan Ed. Aku yang menginginkannya. Karena semewah apapun apartemen yang ditempati Ed, itu bukanlah miliknya. Ada rasa malu jika harus menggunakan sesuatu yang bukan milik sendiri. Dan pria itu, ternyata mau juga menuruti kemauanku.Hampir seminggu ini juga aku sengaja tidak mengaktifkan ponselku. Tapi aku butuh informasi tentang kapan pastinya pelaksanaan wisuda di kampus. Karenanya kuambil benda itu di laci dan mengaktifkannya.Sejak dulu aku memang hanya memfungsikan benda itu sebagai sarana komunikasi saja. selebihnya kalau tidak perlu, maka bisa sampai berhari-hari pun aku tidak menyentuhnya.Apalagi sekarang ini aku sering dihinggapi rasa cemas saat hendak mengaktifkannya lagi. Karena sudah terbayang saja sakit hati yang akan aku rasakan jika melihat pesan-pesan di group teman-teman kampusku. Mereka sungguh menjadikan prahara gagalnya pernikahanku sebagai sebuah lelucon yang tidak akan pernah berhenti dibahas.
“Aku tidak malu, lho. Aku hanya pengen tahu pekerjaanmu saja.” Aku tidak terima dibilang malu.“Benarkah?” Ed menyipitkan mata menatapku.“Benar, Ed. Aku sudah kapok dihujat orang dengan mengistilahkanku bagai pungguk merindukan rembulan. Aku rasa hidup dalam kesederhanaan jauh lebih baik daripada dalam kemewahan namun banyak sekali masalah. Jadi, bahkan jika pun kau seorang tukang becak atau kuli sekalipun, aku tidak akan malu, kok.”“Kau lebih suka hidup seperti ini?” Ed terbelalak seolah tidak percaya aku mengatakan hal itu.“Aku sudah disadarkan keadaan, bahwa tempatku memang di sini, Ed. Jadi jangan berkecil hati kalau kau hanya seorang sopir truk. Saat ini, dengan apa yang sudah menimpaku, aku lebih nyaman tinggal bersama pria sederhana sepertimu,” kukatakan hal itu agar Ed tidak merasa kurang percaya diri lantaran tadi sudah berniat mencari pekerjaan yang membuatku tidak malu.
“Uhmmm...!”Aku menahan napasku dan menutup bibirku rapat-rapat, saat sesuatu memenuhi bagian tubuhku. Penuh dan sesak. Sedikit perih namun tidak ingin kuakui karena tidak rela Ed akan menghentikan kenikmatan yang baru kurasakan ini begitu saja.“Katakan kalau kau tidak nyaman, Sayang!” bisik Ed lirih di telingaku.“Tidak apa, Ed. Aku menyukainya,” jawabku jujur.Dalam kondisi sebegitu menyenangkan begini aku mana bisa berbohong. Kalaupun karena malu mulutku mengatakan tidak, toh desahan dan liukan tubuhku tak bisa menghianati apa yang kurasakan.“Katakan saja apa yang kau inginkan, Sayang. Aku suamimu... Jangan malu, jangan ditahan...” gumam mesra Ed semakin mengobarkan gairahku.“Arghhh...”Hanya satu kata itu yang berkali-kali lolos dari bibirku. Tak bisa mengungkapkan apapun lagi. Biar Ed bisa menerjemahkannya sendiri. Bahwa aku sudah tenggelam d
“Ed. Aku tidak sabar menunggumu pulang hanya untuk menanyakan sesuatu.” Aku melihat Ed baru keluar dari mobilnya dan sudah kupapah dengan pertanyaan itu.“Kenapa?” Ed terlihat keheranan sekaligus penasaran.“Masuk dulu!” kutarik lengan Ed agar lebih cepat masuk ke dalam rumah.Setelah membiarkannya minum aku langsung mengeluarkan kartu yang dia berikan padaku.“Aku tadi membeli sesuatu di mini market depan sekalian mau ambil uang tunai buat jaga-jaga beli sayur. Aku benar-benar tidak mengerti kau punya uang sebanyak itu, Ed!”Ed sejenak menatapku sambil menelisik. Kemudian dia bertanya balik, “Sebanyak apa itu?”Aku jadi bingung sendiri, bagaimana pria ini malah tidak tahu apa-apa tentang uangnya.“Ada 10 digit, Ed. Tanganku bahkan sampai gemetaran,” ujarku. Jujur uang terbanyak yang pernah aku pegang hanya 5 juta. Itupun buat bayar UKT kuliah. Ini 10 digit? Milya
“Enggak kebayang kalau beneran tadi ada uang nyasar sampai 9 milayaran. Mau buat jajan apa uang segitu?” kilahku setelah sudah bersantai dan menikmati minuman yang disuguhkan pihak kafe. “Haha, kalau kau punya uang segitu mau beli apa?” Ed bertanya padaku. Tangannya sejak tadi tidak ditariknya dari pinggangku.“Entahlah, aku tidak ingin berkhayal yang bukan-bukan,” jawabku mengedikan pundak.Sejak kecil aku memang sering berhalu kelak ketika dewasa bisa bertemu dengan pangeran yang akan membawaku kekerajaannya.Hingga ketika Ramzi menyatakan cintanya, kupikir tuhan sudah mengabulkan angan-anganku itu. Nyatanya, aku hanya memanjangkan angan-angan masa kecilku. Karena dunia nyata tidak semudah itu.Kehidupanku yang sebenarnya adalah bersama suamiku ini. Bukan seorang raja atau orang berkuasa, tapi dia kaya hati dan cinta untukku.Lalu tiba-tiba aku kembali teringat sesuatu.&l
Itu suara Tania!Teman baikku yang sungguh tega membuatku tercampakkan di hari perikahanku karena mengancam bunuh diri dan meminta calon suamiku menikahinya.Meski aku tidak ingin bertemu dan bertatap muka dengannya, namun demi memenuhi rasa penasaranku aku mencoba mencari tahu dengan berjalan lebih dekat.Dua wanita yang masih memilih-milih kebaya itu berdiri membelakangiku. Tapi aku tahu betul, wanita satunya itu adalah Tania. Dia teman dekatku selama empat tahun kuliah bareng. Tentu aku sudah hafal gelagatnya.Teringat tentang penghianatannya hatiku meradang. Tidakkah dia merasa bersalah sudah mengacaukan hidupku seperti ini? Bagaimana masih tanpa dosa menampakkan diri di kota ini? Oh, aku lupa. Sebentar lagi kami harus wisuda. Tentu saja dia akan datang.Lagi pula, siapalah aku? Mau bagaimaanapun menindasku toh bagi mereka aku bukanlah orang yang harus dipertimbangkaan perasaannya.“Kenapa Ramzi takut bertemu de
Lihatlah! Kedua wanita itu sungguh terperanjat melihatku ada di tempat yang sama dengan mereka. Lebih-lebih Tania. Mukanya memerah sudah seperti kepiting rebus.Aku tidak tahu apa dia malu ataukah marah melihatku di sini?Ah, mana mungkin dia malu pada wanita yang derajadnya jauh di bawahnya.“Kamila?” Tania menatapku tak berkedip.“Iya. Apa kabar, Nia?” tanyaku mencoba bersikap sewajarnya meski di dalam dada ini sudah tidak karuan gemuruhnya.“O-oh, Eng. Baik. Aku ikut prihatin atas gagalnya pernikahanmu dan Pak Ramzi.”Tania pasti merasa bahwa aku tidak mengetahui hubungannya dengan Mas Ramzi.“Benarkah? Bagaimana kau bisa prihatin kalau kau sendiri yang merebut calon suamiku itu? Bahkan di dalam perutmu itu sudah tumbuh hasil penghianatanmu padaku. Aku benar-benar tidak mengerti kau ini sahabatku tapi malah menusukku dari belakang.”Entahlah, kenapa aku bisa begitu