“Uhmmm...!”
Aku menahan napasku dan menutup bibirku rapat-rapat, saat sesuatu memenuhi bagian tubuhku. Penuh dan sesak. Sedikit perih namun tidak ingin kuakui karena tidak rela Ed akan menghentikan kenikmatan yang baru kurasakan ini begitu saja.
“Katakan kalau kau tidak nyaman, Sayang!” bisik Ed lirih di telingaku.
“Tidak apa, Ed. Aku menyukainya,” jawabku jujur.
Dalam kondisi sebegitu menyenangkan begini aku mana bisa berbohong. Kalaupun karena malu mulutku mengatakan tidak, toh desahan dan liukan tubuhku tak bisa menghianati apa yang kurasakan.
“Katakan saja apa yang kau inginkan, Sayang. Aku suamimu... Jangan malu, jangan ditahan...” gumam mesra Ed semakin mengobarkan gairahku.
“Arghhh...”
Hanya satu kata itu yang berkali-kali lolos dari bibirku. Tak bisa mengungkapkan apapun lagi. Biar Ed bisa menerjemahkannya sendiri. Bahwa aku sudah tenggelam d
“Ed. Aku tidak sabar menunggumu pulang hanya untuk menanyakan sesuatu.” Aku melihat Ed baru keluar dari mobilnya dan sudah kupapah dengan pertanyaan itu.“Kenapa?” Ed terlihat keheranan sekaligus penasaran.“Masuk dulu!” kutarik lengan Ed agar lebih cepat masuk ke dalam rumah.Setelah membiarkannya minum aku langsung mengeluarkan kartu yang dia berikan padaku.“Aku tadi membeli sesuatu di mini market depan sekalian mau ambil uang tunai buat jaga-jaga beli sayur. Aku benar-benar tidak mengerti kau punya uang sebanyak itu, Ed!”Ed sejenak menatapku sambil menelisik. Kemudian dia bertanya balik, “Sebanyak apa itu?”Aku jadi bingung sendiri, bagaimana pria ini malah tidak tahu apa-apa tentang uangnya.“Ada 10 digit, Ed. Tanganku bahkan sampai gemetaran,” ujarku. Jujur uang terbanyak yang pernah aku pegang hanya 5 juta. Itupun buat bayar UKT kuliah. Ini 10 digit? Milya
“Enggak kebayang kalau beneran tadi ada uang nyasar sampai 9 milayaran. Mau buat jajan apa uang segitu?” kilahku setelah sudah bersantai dan menikmati minuman yang disuguhkan pihak kafe. “Haha, kalau kau punya uang segitu mau beli apa?” Ed bertanya padaku. Tangannya sejak tadi tidak ditariknya dari pinggangku.“Entahlah, aku tidak ingin berkhayal yang bukan-bukan,” jawabku mengedikan pundak.Sejak kecil aku memang sering berhalu kelak ketika dewasa bisa bertemu dengan pangeran yang akan membawaku kekerajaannya.Hingga ketika Ramzi menyatakan cintanya, kupikir tuhan sudah mengabulkan angan-anganku itu. Nyatanya, aku hanya memanjangkan angan-angan masa kecilku. Karena dunia nyata tidak semudah itu.Kehidupanku yang sebenarnya adalah bersama suamiku ini. Bukan seorang raja atau orang berkuasa, tapi dia kaya hati dan cinta untukku.Lalu tiba-tiba aku kembali teringat sesuatu.&l
Itu suara Tania!Teman baikku yang sungguh tega membuatku tercampakkan di hari perikahanku karena mengancam bunuh diri dan meminta calon suamiku menikahinya.Meski aku tidak ingin bertemu dan bertatap muka dengannya, namun demi memenuhi rasa penasaranku aku mencoba mencari tahu dengan berjalan lebih dekat.Dua wanita yang masih memilih-milih kebaya itu berdiri membelakangiku. Tapi aku tahu betul, wanita satunya itu adalah Tania. Dia teman dekatku selama empat tahun kuliah bareng. Tentu aku sudah hafal gelagatnya.Teringat tentang penghianatannya hatiku meradang. Tidakkah dia merasa bersalah sudah mengacaukan hidupku seperti ini? Bagaimana masih tanpa dosa menampakkan diri di kota ini? Oh, aku lupa. Sebentar lagi kami harus wisuda. Tentu saja dia akan datang.Lagi pula, siapalah aku? Mau bagaimaanapun menindasku toh bagi mereka aku bukanlah orang yang harus dipertimbangkaan perasaannya.“Kenapa Ramzi takut bertemu de
Lihatlah! Kedua wanita itu sungguh terperanjat melihatku ada di tempat yang sama dengan mereka. Lebih-lebih Tania. Mukanya memerah sudah seperti kepiting rebus.Aku tidak tahu apa dia malu ataukah marah melihatku di sini?Ah, mana mungkin dia malu pada wanita yang derajadnya jauh di bawahnya.“Kamila?” Tania menatapku tak berkedip.“Iya. Apa kabar, Nia?” tanyaku mencoba bersikap sewajarnya meski di dalam dada ini sudah tidak karuan gemuruhnya.“O-oh, Eng. Baik. Aku ikut prihatin atas gagalnya pernikahanmu dan Pak Ramzi.”Tania pasti merasa bahwa aku tidak mengetahui hubungannya dengan Mas Ramzi.“Benarkah? Bagaimana kau bisa prihatin kalau kau sendiri yang merebut calon suamiku itu? Bahkan di dalam perutmu itu sudah tumbuh hasil penghianatanmu padaku. Aku benar-benar tidak mengerti kau ini sahabatku tapi malah menusukku dari belakang.”Entahlah, kenapa aku bisa begitu
Tania dan ibunya saling berpandangan tidak suka karena aku yang akhirnya membayar kebaya itu.Mereka benar-benar tidak terima kebaya mahal dan elegan itu jatuh ketanganku. Apalagi aku membayarnya sesuai harga yang di minta Ibu Tania. Terlihat mereka sangat tidak mempercayainya.Setelah berhasil membayar kebaya itu, aku tidak berniat membawanya. Sudah ill feel aku dengan kebaya yang menjadi rebutan. Butik kebaya bukan hanya di tempat ini. Masih ada tempat lain yang lebih bagus.Ah. Harusnya aku juga menyampaikan hal itu pada diriku sendiri sejak dulu. Bahwa di dunia ini Ramzi juga bukanlah satu-satunya pria. Masih ada pria baik seperti Ed.“Tolong kasihkan saja pada Ibu dan Mbak itu, Kak. Sepertinya dia memang sangat tertarik dengan barang yang sudah dipilih orang lain. Bilang pada mereka ini hadiah pernikahan dariku,” sindirku. Seharusnya mereka bisa mendengar dengan jelas karena berdiri hanya beberapa langkah dariku.
“Halo? Wah ada pelanggan rupanya,” sapanya lalu berhenti tepat di hadapanku.“Oh, halo. Halo Mas Andra!” sapaku balik dengan menyebutnya seperti banyak fans memanggilnya.Aku sampai mencubit lenganku sendiri karena tidak percaya. Benarkah aku seberuntung bisa bertatap muka dengan artis papan atas ini?Padahal pria ini sangat sibuk dengan jadwal syuting program yang sedang dibawakannya.“Nyonya, Anda beruntung sekali bisa bertemu langsung dengan Mas Andra. Dia pasti akan memberikan saran terbaik untuk kebaya yang cocok untuk Nyonya.”“Oh, begitukah?”Kupaksakan tersenyum pada pegawai toko itu walau jantung semakin berdegup tidak menentu teringat berapa uang yang akan aku hamburkan.Artis itu pasti akan menyarankan kebaya yang paling mahal, dan aku pasti sungkan menolak. Daripada nanti malah dilema, segera kuputuskan saja untuk mengatakan apa adanya,”Mas Andra, ke
“Ed. Benar dia temanmu?” tanyaku pada Ed setelah kami sudah sampai rumah.Menikmati secangkir teh di meja makan dan berbincang kecil, hal seperti inilah yang membuat kami lebih cepat akrab satu sama lain semenjak sebulan lalu kami menikah.“Iya,” jawab Ed singkat.“Kenapa tidak cerita kalau kau punya teman seorang artis terkenal?”“Aku juga baru tahu hal itu. Kalau saja tidak mengantarmu ke sana aku pasti tidak tahu kalau dia itu artis ternama.”“Apa? Dia itu terkenal sekali, lho. Bagaimana kau tidak tahu hal itu?” “Aku bukan orang menganggur hanya agar tahu siapa saja artis terkenal, Mila!” ujarnya.Aku memutar bola mataku mendengarnya. Sesibuk apa sih pekerjaan seorang sopir truk sampai tidak mengerti bahwa teman SMAnya ada yang sudah menjadi artis besar. Kalau artis itu adalah temanku, sudah pasti aku berbangga dan pamerkan ke tetangga-tetang
Biasanya hujan lebih sering turun di sore dan malam hari. Namun sepagi ini sudah turun saja dan belum berhenti sejak sejaman yang lalu. Orang bilang bulan desember memang puncak derasnya musim hujan. Kulihat Ed yang sudah bersiap keluar masih tertahan di ruang tamu sembari memeriksa ponselnya.Kemarin dia pulang diantar seseorang sehingga tidak bisa membawa mobilnya. Sekarang harus menunggu hujan reda dulu agar bisa keluar memakai motor.“Kenapa mobilnya ditinggal?” tanyaku sembari menyuguhkan kue cubit yang baru aku buat.Suasana hujan begini pengennya nyemil mlulu. Ada tepung dan tape singkong. Bisalah kusulap menjadi kue sederhana itu dengan menambahi susu dan sedikit bahan lainnya.“Kemarin ada sedikit urusan dengan seorang kawan, jadinya kutinggal mobilku di garasi,” ujar Ed meletakkan ponselnya di meja lalu beralih pada piring yang kusuguhkan. Namun tak kulihat gerakan tangannya mengambil kue d