Biasanya hujan lebih sering turun di sore dan malam hari. Namun sepagi ini sudah turun saja dan belum berhenti sejak sejaman yang lalu. Orang bilang bulan desember memang puncak derasnya musim hujan.
Kulihat Ed yang sudah bersiap keluar masih tertahan di ruang tamu sembari memeriksa ponselnya.
Kemarin dia pulang diantar seseorang sehingga tidak bisa membawa mobilnya. Sekarang harus menunggu hujan reda dulu agar bisa keluar memakai motor.
“Kenapa mobilnya ditinggal?” tanyaku sembari menyuguhkan kue cubit yang baru aku buat.
Suasana hujan begini pengennya nyemil mlulu. Ada tepung dan tape singkong. Bisalah kusulap menjadi kue sederhana itu dengan menambahi susu dan sedikit bahan lainnya.
“Kemarin ada sedikit urusan dengan seorang kawan, jadinya kutinggal mobilku di garasi,” ujar Ed meletakkan ponselnya di meja lalu beralih pada piring yang kusuguhkan. Namun tak kulihat gerakan tangannya mengambil kue d
Aku bangun lebih pagi menyiapkan diri untuk pelaksanaan wisuda.Sambil menyapukan foundation ke wajah, bayangan wajah ibu berkelebat di pikiranku. Membuatku menjadi sedih lagi.Apa iya ibu benar-benar tidak ingin melihatku diwisuda?Dulu dia yang menyemangatiku untuk melanjutkan kuliah agar bisa menjadi orang sukses. Lalu berkata sendiri, bahwa akan sangat bangga bila bisa mendampingiku diwisuda.Nyatanya, hanya karena segan dengan kerabat suaminya yang punya hajatan, Ibu melupakan kebanggannya sendiri.Ternyata tidak enak sekali rasanya kalau berbagi ibu dengan keluarga yang lain. Aku sama sekali tidak berpikir sampai begini ketika memaksa ibu untuk menikah lagi waktu itu. --hingga terbentik dalam hati, jangan sampai kelak anak-anakku harus merasakan hal seperti ini. Merasa disisihkan karena orang tuanya lebih mementingkan keluarga barunya.Astaga... jauh sekali pikiranku dan sudah kemana-mana saja. M
Apa katanya?Dia bilang acara wisudaku tidak akan dimulai sebelum aku datang?“Jangan banyak berkhayal. Memangnya siapa kita sampai acara sebesar itu tidak akan dimulai sebelum kedatanganku?” Aku ngedumel pada pria yang sudah meloncoku tadi.Kuletakkan Hair dryer yang selesai kugunakan mengeringkan rambut di tempatnya kembali. Lalu segera bergegas merias wajahku lagi dari awal. Aku sampai bingung mau melakukan apa dulu karena merasa waktu semakin sempit.Semua ini karena pria yang tidak tahu waktu itu. Bisa-bisanya mengajakku bercinta saat aku harus segera berangkat untuk wisuda.“Kau tanya siapa kita? Aku Edward Permana dan kau adalah istriku,” ujar Ed santai sambil mengusap rambutnya yang masih basah itu dengan handuk lalu malah bersantai di tempat tidur untuk memeriksa ponselnya.“Kenapa kalau namamu Edward Permana?” Sahutku kemudian. Tidak suka saja kalau sampai pria ini lupa diri bah
Setelah menurunkan aku, Ed berlalu hendak memarkir mobilnya.Nampak sangat kontras ketika bersamaan sebuah mobil mewah yang juga sedang menurunkan seseorang beserta keluarganya.Tapi aku tidak peduli dengan semua itu.Kutatap mobil pick up Ed dengan rasa syukur dan tidak peduli dengan beberapa ekspresi wajah di sana yang tampak meledek.“Mama, masih ingat ceritaku? Itu mahasiswa yang pernah aku ceritakan. Yang ngejar-ngejar dosen tampan dan berharap dinikahi, tapi sayangnya di hari pernikahan dosen tampan itu tidak datang.”Aku mendengar suara itu dari balik pungungku saat aku memutuskan menunggu Ed balik dari parkiran.Aku tidak mengerti, mengapa dia membicarakanku. Padahal aku masih ada di sekitarnya. Apa mungkin dia berpikir aku tidak mendengar ucapannya?“Oh, yang itu? Tidak tahu diri sekali mahasiswa seperti itu!” ujar satu wanita yang sepertinya tadi dipanggilnya mama.“Iya. Tapi dia sudah me
“Hai, Kamila!” panggilan Tante Desi membuatku menoleh ke sumber suaranya.Kulihat wanita itu tampak sangat anggun dengan kebaya yang mewah dan menenteng tas brandit. Aku ingat, tas itu dibelinya dengan harga 200 juta hanya untuk dipamerkan pada teman arisannya.“Tante di sini?”Aku menoleh ke kanan dan ke kiri namun tidak mendapati Paman Rasyid. Sempat berpikir bahwa mereka sengaja datang untuk menemaniku wisuda mengantikan ibuku yang tidak bisa datang.Sayangnya aku salah. Kehadiran seseorang yang memakai kebaya senada dengan Tante Desi mengingatkanku bahwa wanita itu punya keponakan yang juga kuliah di tempat ini. Hanya saja beda fakultas denganku.Namanya Reva. Dia mahasiswa transferan dari Jakarta baru setahun ini karena merasa lebih nyaman berkuliah di kota tempat tantenya tinggal.Meski Reva sendiri tidak tinggal serumah dengan Tante Desi, tapi hubungan tante dan keponakan
Acara Wisuda berjalan seperti yang sudah diatur. Meski aku tidak mengikuti gladi bersih pelaksanaannya, tapi aku bisa mengikutinya dengan baik tanpa ada masalah.Hanya satu yang menjadi beban pikiranku, ketika nama Tania di sebut di waktu pembacaan nama wisuda tadi, aku tidak melihatnya berjalan ke panggung untuk diwisuda.Apa dia tidak datang?Ah. Bodoh amat.“Tidak ikut foto bersama teman-teman seangkatanmu?” tanya Ed yang melihatku menghampirinya.Aku mengedikan pundak. Melihat dari jauh teman-temanku yang befoto dengan penuh kebahagiaan, aku sama sekali tidak tertarik.“Kenapa?” Ed masih bertanya.“Tidak apa-apa, diantara mereka hanya 25% sekian yang tidak suka julid dan tidak peduli urusan orang lain. Tapi 75% hampir suka sekali menjulidiku.” Aku mengungkapkan analisa pemikiranku, kenapa aku tidak tertarik ada di tengah-tengah mereka.Bisa dibilang, kebanyakan angkatanku yang sekelas itu anak orang kaya dan bergengsi tingg
Karena pulangnya bersama ibu, jadinya aku ikut mobil yang mengantar ibu sementara Ed pulang sendiri dengan mobil pick upnya.Kebetulan sekali tidak bersama Ed, aku bisa menanyai sopir mobil mewah itu.“Mas temannya Ed?” tanyaku di tengah perjalanan pada pria yang menyupiri kami.“Oh, bukan, Nyonya.” Jawab pria itu dengan sopan.“Ah, jangan panggil nyonya. Aku bukan seorang nyonya,” kataku karena dipanggil nyonya oleh seseorang yang profesinya sama dengan suamiku, rasanya kurang nyaman. Apalagi pria ini tentu lebih tinggi stratanya karena menjadi sopir mobil mewah, bukan mobil truk atau pick up seperti Ed.“Baik, maaf, Bu.” Sopir itu merubah panggilan.“Duh, jangan panggil bu juga, panggil mbak sajalah.” Aku memberi ide.“Mila... terserah dia mau panggil kamu apa. Jangan bawel begitu.” Ibu yang di sampingku mengingatkan. “Iya, Bu,” sahutku lalu kembali pada sopir itu. “Jadi Ed menyewa mobil ini?”Pria y
Ed datang sedikit larut saat ibu sudah beristirahat di kamar. Sudah begitu dia tidak langsung masuk tapi malah duduk di teras memeriksa ponselnya. Aku yang sudah menunggunya sejak tadi tidak sabar segera menghampirinya.“Ed?” tegurku.Ed yang melihatku datang langsung menutup ponselnya dan bertanya, “Ibu di mana?”“Sudah istirahat. Ibu tidak biasa tidur larut, jadi jam 9 malam sudah ngantuk.” Seperti baru teringat sesuatu, Ed bangkit menghampiri mobil pick upnya. Dia balik lagi setelah mengambil sebuah buket indah dari dalam mobilnya.“Selamat Nyonya Kamila Edward Permana sarjana ekonomi.” Ed menyebutkan namaku lengkap dengan tempelan namanya dan gelar yang barusan aku dapatkan. Dia menyerahkan buket itu padaku.Aku tersenyum menerimanya lalu segera kupeluk pria baik itu. Aku tidak lupa pria inilah yang mengusahakan agar ibuku datang di hari wisudahku.“Terima kasih ya, Ed untuk semuanya,” ujarku menyerusuk ke dalam pelukannya. Nampak begitu terharu bahwa tuhan masih sangat baik pada
Aku harap Reva tidak berbuat macam-macam padaku.Sekarang sudah berbeda karena aku sudah punya suami. Dan suamiku yang masih menikmati makanan di sana pasti tidak terima kalau sampai Reva menghina-hinaku.Apalagi di media sosialnya dengan banyak pengikutnya.“Aku belum melihatnya, Sel. Kuharap dia tidak berbuat ulah. Terima kasih informasinya, Sella,” ujarku yang sudah tak sabar melihat postingan Reva.Namun, sepertinya Sella masih ingin menyampaikan sesuatu hal lagi. “Sebentar, Mila. Apa kau sudah buka grup kampus kita? Di sana ada berita tentang Pak Ramzi dan Tania.”“Aku tidak lagi ada di grup itu, Sel,” ujarku. Sudah malas kalau mendengar dua nama itu.Setelah kurasa urusan dengan pihak kampus kelar, aku tidak berniat lama-lama di grup pesan itu. baru sore tadi aku keluar dari grup itu.“Benar kau tidak mau tahu?” Sella bertanya sekali lagi, dan aku tetap dalam pendirianku. Tidak mau tahu lagi apapun tentang mereka. Saat ini, aku merasa tidak rela saja mengusik kenyamanan yang