Apa katanya?
Dia bilang acara wisudaku tidak akan dimulai sebelum aku datang?
“Jangan banyak berkhayal. Memangnya siapa kita sampai acara sebesar itu tidak akan dimulai sebelum kedatanganku?” Aku ngedumel pada pria yang sudah meloncoku tadi.
Kuletakkan Hair dryer yang selesai kugunakan mengeringkan rambut di tempatnya kembali. Lalu segera bergegas merias wajahku lagi dari awal. Aku sampai bingung mau melakukan apa dulu karena merasa waktu semakin sempit.
Semua ini karena pria yang tidak tahu waktu itu. Bisa-bisanya mengajakku bercinta saat aku harus segera berangkat untuk wisuda.
“Kau tanya siapa kita? Aku Edward Permana dan kau adalah istriku,” ujar Ed santai sambil mengusap rambutnya yang masih basah itu dengan handuk lalu malah bersantai di tempat tidur untuk memeriksa ponselnya.
“Kenapa kalau namamu Edward Permana?” Sahutku kemudian. Tidak suka saja kalau sampai pria ini lupa diri bah
Setelah menurunkan aku, Ed berlalu hendak memarkir mobilnya.Nampak sangat kontras ketika bersamaan sebuah mobil mewah yang juga sedang menurunkan seseorang beserta keluarganya.Tapi aku tidak peduli dengan semua itu.Kutatap mobil pick up Ed dengan rasa syukur dan tidak peduli dengan beberapa ekspresi wajah di sana yang tampak meledek.“Mama, masih ingat ceritaku? Itu mahasiswa yang pernah aku ceritakan. Yang ngejar-ngejar dosen tampan dan berharap dinikahi, tapi sayangnya di hari pernikahan dosen tampan itu tidak datang.”Aku mendengar suara itu dari balik pungungku saat aku memutuskan menunggu Ed balik dari parkiran.Aku tidak mengerti, mengapa dia membicarakanku. Padahal aku masih ada di sekitarnya. Apa mungkin dia berpikir aku tidak mendengar ucapannya?“Oh, yang itu? Tidak tahu diri sekali mahasiswa seperti itu!” ujar satu wanita yang sepertinya tadi dipanggilnya mama.“Iya. Tapi dia sudah me
“Hai, Kamila!” panggilan Tante Desi membuatku menoleh ke sumber suaranya.Kulihat wanita itu tampak sangat anggun dengan kebaya yang mewah dan menenteng tas brandit. Aku ingat, tas itu dibelinya dengan harga 200 juta hanya untuk dipamerkan pada teman arisannya.“Tante di sini?”Aku menoleh ke kanan dan ke kiri namun tidak mendapati Paman Rasyid. Sempat berpikir bahwa mereka sengaja datang untuk menemaniku wisuda mengantikan ibuku yang tidak bisa datang.Sayangnya aku salah. Kehadiran seseorang yang memakai kebaya senada dengan Tante Desi mengingatkanku bahwa wanita itu punya keponakan yang juga kuliah di tempat ini. Hanya saja beda fakultas denganku.Namanya Reva. Dia mahasiswa transferan dari Jakarta baru setahun ini karena merasa lebih nyaman berkuliah di kota tempat tantenya tinggal.Meski Reva sendiri tidak tinggal serumah dengan Tante Desi, tapi hubungan tante dan keponakan
Acara Wisuda berjalan seperti yang sudah diatur. Meski aku tidak mengikuti gladi bersih pelaksanaannya, tapi aku bisa mengikutinya dengan baik tanpa ada masalah.Hanya satu yang menjadi beban pikiranku, ketika nama Tania di sebut di waktu pembacaan nama wisuda tadi, aku tidak melihatnya berjalan ke panggung untuk diwisuda.Apa dia tidak datang?Ah. Bodoh amat.“Tidak ikut foto bersama teman-teman seangkatanmu?” tanya Ed yang melihatku menghampirinya.Aku mengedikan pundak. Melihat dari jauh teman-temanku yang befoto dengan penuh kebahagiaan, aku sama sekali tidak tertarik.“Kenapa?” Ed masih bertanya.“Tidak apa-apa, diantara mereka hanya 25% sekian yang tidak suka julid dan tidak peduli urusan orang lain. Tapi 75% hampir suka sekali menjulidiku.” Aku mengungkapkan analisa pemikiranku, kenapa aku tidak tertarik ada di tengah-tengah mereka.Bisa dibilang, kebanyakan angkatanku yang sekelas itu anak orang kaya dan bergengsi tingg
Karena pulangnya bersama ibu, jadinya aku ikut mobil yang mengantar ibu sementara Ed pulang sendiri dengan mobil pick upnya.Kebetulan sekali tidak bersama Ed, aku bisa menanyai sopir mobil mewah itu.“Mas temannya Ed?” tanyaku di tengah perjalanan pada pria yang menyupiri kami.“Oh, bukan, Nyonya.” Jawab pria itu dengan sopan.“Ah, jangan panggil nyonya. Aku bukan seorang nyonya,” kataku karena dipanggil nyonya oleh seseorang yang profesinya sama dengan suamiku, rasanya kurang nyaman. Apalagi pria ini tentu lebih tinggi stratanya karena menjadi sopir mobil mewah, bukan mobil truk atau pick up seperti Ed.“Baik, maaf, Bu.” Sopir itu merubah panggilan.“Duh, jangan panggil bu juga, panggil mbak sajalah.” Aku memberi ide.“Mila... terserah dia mau panggil kamu apa. Jangan bawel begitu.” Ibu yang di sampingku mengingatkan. “Iya, Bu,” sahutku lalu kembali pada sopir itu. “Jadi Ed menyewa mobil ini?”Pria y
Ed datang sedikit larut saat ibu sudah beristirahat di kamar. Sudah begitu dia tidak langsung masuk tapi malah duduk di teras memeriksa ponselnya. Aku yang sudah menunggunya sejak tadi tidak sabar segera menghampirinya.“Ed?” tegurku.Ed yang melihatku datang langsung menutup ponselnya dan bertanya, “Ibu di mana?”“Sudah istirahat. Ibu tidak biasa tidur larut, jadi jam 9 malam sudah ngantuk.” Seperti baru teringat sesuatu, Ed bangkit menghampiri mobil pick upnya. Dia balik lagi setelah mengambil sebuah buket indah dari dalam mobilnya.“Selamat Nyonya Kamila Edward Permana sarjana ekonomi.” Ed menyebutkan namaku lengkap dengan tempelan namanya dan gelar yang barusan aku dapatkan. Dia menyerahkan buket itu padaku.Aku tersenyum menerimanya lalu segera kupeluk pria baik itu. Aku tidak lupa pria inilah yang mengusahakan agar ibuku datang di hari wisudahku.“Terima kasih ya, Ed untuk semuanya,” ujarku menyerusuk ke dalam pelukannya. Nampak begitu terharu bahwa tuhan masih sangat baik pada
Aku harap Reva tidak berbuat macam-macam padaku.Sekarang sudah berbeda karena aku sudah punya suami. Dan suamiku yang masih menikmati makanan di sana pasti tidak terima kalau sampai Reva menghina-hinaku.Apalagi di media sosialnya dengan banyak pengikutnya.“Aku belum melihatnya, Sel. Kuharap dia tidak berbuat ulah. Terima kasih informasinya, Sella,” ujarku yang sudah tak sabar melihat postingan Reva.Namun, sepertinya Sella masih ingin menyampaikan sesuatu hal lagi. “Sebentar, Mila. Apa kau sudah buka grup kampus kita? Di sana ada berita tentang Pak Ramzi dan Tania.”“Aku tidak lagi ada di grup itu, Sel,” ujarku. Sudah malas kalau mendengar dua nama itu.Setelah kurasa urusan dengan pihak kampus kelar, aku tidak berniat lama-lama di grup pesan itu. baru sore tadi aku keluar dari grup itu.“Benar kau tidak mau tahu?” Sella bertanya sekali lagi, dan aku tetap dalam pendirianku. Tidak mau tahu lagi apapun tentang mereka. Saat ini, aku merasa tidak rela saja mengusik kenyamanan yang
Kulihat ada Kue Lapis Pahlawan dan Bandeng Presto di meja. Itu makanan kesukaan Ibu. Sepertinya paman saat ini mencoba mengambil hati ibu untuk mencapai tujuannya.Aku tidak lupa, Paman Rasyid Hanya dijadikan boneka saja oleh istrinya itu. Sebagai seorang suami dia sangat tidak memiliki kuasa apapun dalam rumah tangganya. Itu karena paman hanyalah pengangguran yang ikut numpang hidup pada istrinya.Sudah tahu begitu, saat mengunjungi ibu di kampung dia sok-sokan mengatakan sanggup membiayai sekolah dan hidupku di kota. Nyatanya aku hanya dijadikan pembantu juga sepertinya.“Mila. Setidaknya hargai Desi adalah istri pamanmu ini. Bantulah dia.” Paman Rasyid memohon-mohon padaku.“Kenapa sih paman juga ikutan bingung? Yang bermasalah ‘kan Reva bukan Tante Desi?” tukasku pada Paman Rasyid.“Tapi Reva itu keponakan Desi, Mila. Sejak dulu Desi sudah menganggapnya anak sendiri. Jadi Tantemu itu sejak semalam ikutan stres gara-gara mendapat kabar Reva tidak berhenti menangis dan teriak-teriak
Ibuku sudah kembali ke kampung sehari yang lalu dan rumah kembali terasa sepi. Ed juga sudah berangkat kerja. Seperti biasa rutinitasku sehari-hari adalah membereskan rumah. Memasak itupun kalau Ed bilang akan makan di rumah.Menghindari rebahan kadang aku menyibukan diri berkebun atau olahraga tipis-tipis di rumah. Kalau sudah semua, biasanya pilihan terakhir mengusir kejemuan hanyalah menonton televisi.Nantilah aku minta Ed mengizinkanku cari kerja. Tidak enak hanya nganggur di rumah. Saat melihat televisi, tiba-tiba aku jadi terusik dengan kabar masalah Reva dengan Andra. Entah bagaimana kelanjutan kasus itu. Dengar-dengar, Reva sudah tidak muncul lagi di media sosial sejak kejadian itu.Ed sudah memberiku saran agar tidak memperdulikannya. Paman juga tidak mengusikku lagi setelah Ed memintanya untuk tidak menggangguku dengan masalah yang sudah diciptakan istri dan keponakannya itu. Jadinya aku ikuti saran Ed saja dengan tidak kepo