Share

Bab 4 : Wanita Yang Kasihan

“Ini tasmu?” ujar Ed menyadarkanku dari lamunan sembari menyodorkan tasku.

Pria itu ternyata mau juga mengambilkannya.

“Terima kasih, Ed,” tukasku.

Mungkin tadi dia masih makan dan harus menyelesaikannya dulu. Akulah yang kurang sabaran!

Hanya saja, saat aku hendak mengambil tas itu dari tangan Ed, pria itu malah menahan tanganku.

Bugh!

Tubuhku menubruk dada bidangnya.

Aku mendongakan pandangku memandangnya yang begitu dekat sekali di wajahku.

Namun, bibir Ed mendarat begitu saja di bibirku. Dia bahkan melumatnya tanpa membiarkan aku bisa protes.

“Ehhmmm…”

Kucoba untuk mendorong dadanya sekuat tenaga namun aku tetap tidak bisa bergerak.

Mengapa tubuh pria ini begitu keras dan setegar karang?

“Ed, lepaskan aku!” panikku.

Tanpa sadar, setitik air mata bahkan lolos di pipiku.

Anehnya, kulihat tatapan gelap Ed memudar dan dia mengendurkan dekapannya.

“Makan dulu, aku sudah pesankan makanan untukmu. Kalau kau menolak aku akan menciummu lagi seperti tadi!” tukasnya mengambil tasku dan membawanya berlalu ke kamar yang kutempati tadi.

Aku hanya berdiri terpaku untuk beberapa saat.

Benar-benar belum bisa memahami pria itu.

Mengapa sikapnya terkesan acuh, tetapi ada perhatian di baliknya?

“Jadi kau  lebih memilih aku menciummu?”

Suara Ed kembali mengejutkanku.

Cepat sekali pria ini keluar lagi dari kamar!

“Oh, aku—aku akan makan,” ujarku gegas ke meja makan dan mengambil sepotong pizza di sana—demi menghindari pria ini menciumku lagi.

Untungnya, Ed tidak mengusikku lagi.

Jujur, aku sedikit lega.

Seandainya Ed memang pria yang seperti dugaanku sebelumnya, tentu dia tidak akan membiarkan semauku. Apalagi akulah yang meminta pernikahan ini.

Meski demikian, aku memilih mengunci pintu kamar.

Drrt!

Ponselku tiba-tiba  berkedip. Aku menatap nanar benda pipih itu dan tidak kupungkiri masih berharap ada pesan masuk dari pria itu. Atau setidaknya sebuah penjelasan kenapa dia tidak datang.

Kuusap layar ponsel. Namun, aku justru menemukan puluhan chat tak sengaja terbaca dari grup teman kampusku.

[Kasihan banget nasib si Mila. Berharap jadi cinderella, malah nikahnya sama pria yang tidak jelas!]

[Itu pembelajaran bagi ciwi-ciwi, jangan cuma karena pengen ngubah nasib, tidak tahu diri ngebet menikah dengan dosen kaya raya. Ditinggalkan ‘kan dia?]

[Kira-kira kemana Pak Ramzi? Kenapa tidak datang?]

[Keluarganya malulah punya menantu miskin. Asal tahu saja, aku dengar orang tua Pak Ramzi sempat menentang pernikahan itu]

Dan sederet pesan yang justru lebih menambah rasa sakit berdarah-darah ini seperti disiram pertalite lalu dibakar hidup-hidup.

Membuatku tak bisa menahan diri untuk menangis.

Dosa apa yang sudah aku lakukan, hingga Tuhan menghukumku seperti ini?

“Mas, apa salahku?” isakku mengingat-ingat apa aku pernah berbuat salah atau menyinggung Mas Ramzi, hingga dia sekejam ini meninggalkanku.

Bahkan, aku masih ingat terakhir kali kami telponan dua hari sebelumnya, pria itu masih sempat menanyakan apakah aku sudah siap menjadi istrinya?

Tidak ada sesuatu yang menjadi pertanda buruk bahwa pria itu akan membatalkan pernikahan  dan lenyap tanpa bisa dihubungi.

Lama menangis menguarkan rasa pedih dan kecewa dalam dada entah sampai jam berapa.

Yang jelas, aku baru terbangun ketika jam digital di atas nakas samping tempat tidur menunjukan angka 11:35.

“Astaghfirullah!” tukasku segera berjingkat menuju kamar mandi.

Aku bahkan tidak mendengar saat Ed mengetuk pintu kamarku. Hingga aku keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk yang kulilitkan di dadaku.

Kulihat pria itu sudah berdiri di kamar menatapku dengan sedikit rasa lega. Namun karena keterkejutanku, aku malah memarahinya.

“Bagaimana kau bisa masuk? Bukankah aku sudah menguncinya?” omelku pada Ed .

“Aku sudah membangunkanmu sejak tadi pagi, tapi kau sama sekali tidak menyahut. Aku buka saja pintunya pakai kunci cadangan. Kupikir kau mencoba bunuh diri di kamar. Jadi ribet ‘kan urusannya nanti?”

Dengan entengnya, Ed mengiraku melakukan hal gila itu.

Apa dia pikir aku senaif itu hingga harus bunuh  diri segala?

Kalau memang aku punya niat bunuh diri, untuk apa harus menunggu dirinya menjadi pengantin pengganti calon suamiku dulu?

Sudah langsung saja saat mendengar Mas Ramzi membatalkan pernikahan.

“Aku bukan wanita bodoh yang melakukan hal itu, Ed. Jadi keluarlah dari kamar!”

Aku mendorong tubuh pria itu agar keluar dari kamar.

“Dengar dulu, temanku yang aku ceritakan itu, juga bunuh diri di kamar ini karena pacarnya berselingkuh. Bisa jadi dia merasukimu dan mendorong untuk bunuh diri juga!” ucap Ed sembari menahan tubuhnya agar aku tidak berhasil mendorongnya keluar.

“Ed! Please, keluar!” tukasku sebal dan tidak akan mempan dengan ucapan konyolnya itu. Dia kira aku anak kecil yang percaya dengan cerita seperti itu?

“Asal kau tahu saja, dia gentayangan sampai sekarang karena mau balas dendam pada pacar dan selingkuhannya itu, Mila” suara pria urakan ini dibuat terkesan horor.

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status