"Sudah sampai alamatnya, Kak."
Sopir taksi memberhentikan mobil di tepi jalan yang cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor. Di luar sana, suara klakson bersahutan dengan deru mesin yang memenuhi udara, sementara matahari yang terik mulai turun menuju cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye lembut. Aku memandang keluar, menatap bangunan yang menjadi tujuanku dengan perasaan campur aduk.Tanganku meremas erat pegangan tas yang ada di pangkuan, mencoba mengusir rasa cemas yang terus menggelayut sejak tadi. Ketika pintu taksi terbuka, udara panas menyapa kulitku, tetapi bukan itu yang membuat dadaku sesak—melainkan bayangan kemungkinan bahwa aku akan menemukan sesuatu yang selama ini kutakutkan.Sementara sopir taksi bergegas menurunkan koperku dari bagasi, aku diam-diam menarik napas dalam, berusaha menenangkan pikiran. Aku butuh fokus. Ini bukan waktu yang tepat untuk tenggelam dalam emosi. Semua ini adalah bagian dari rencana yang sudah k"Jalan Bungur I, gang Melati nomor 54. Vila 'Enchantez'. Bener kan?"Dari kursi penumpang, aku melirik pria yang bertanya itu lewat pantulan kaca spion tengah. Tepat saat dia juga melirikku sehingga tatapan kami bertemu. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapannya—entah rasa penasaran, atau mungkin sekadar kebiasaan orang asing yang belum terlalu akrab denganku. Tapi dalam situasi ini, setiap lirikan terasa mencurigakan.Aku segera membuang muka ke arah jendela, memilih untuk memandangi pemandangan yang berderet di luar. Deretan toko-toko kecil dan rumah-rumah sederhana berlalu satu per satu. Bayangan pepohonan yang meneduhkan jalan raya seolah tidak mampu meredakan ketegangan dalam hatiku. Angin yang berembus dari ventilasi mobil terasa dingin, tapi itu tak cukup menenangkan perasaanku. Dengan nada malas, aku menjawab, "Ya."Suara tawa tertahan terdengar lolos dari mulut Feri. Tawa yang samar tapi jelas terasa mengusik. Aku menoleh lagi hanya untuk m
"Sebenarnya kita ngapain sih di sini?!"Feri mendaratkan tinjunya ringan pada setir, suaranya menyiratkan rasa kesal. Tampak jelas bahwa dia sudah kehilangan kesabaran setelah tiga jam berdiam di sini tanpa ada pergerakan berarti. Bahkan dari tadi, setiap kali dia mengajakku bicara, aku hanya menjawab sekenanya, lebih banyak diam, dan larut dalam pikiranku sendiri. Aku mulai mengerti, Feri bukan tipe orang yang tahan dalam situasi seperti ini. Maka tak heran jika pria itu mulai gelisah dan merasa bosan. "Kalau emang itu tempat penginapan kamu, masuk aja kali. Saya janji nggak bakal ngapa-ngapain kok. Saya bakal tetap stay di mobil. Kalau perlu saya bakal tidur di pos ronda terdekat." Nada suaranya yang biasanya santai, kini terdengar seperti merengek di telingaku, seolah dia berusaha memancing respons lebih dari sekadar diam dariku.Aku tetap tak bergeming. Mata menatap lurus ke depan, meski pandanganku tak fokus."Siapa suruh mau ikut?
Sebelum berangkat, aku memang sudah memperkirakan kemungkinan kenyataan terburuk yang mungkin aku hadapi. Bayangan itu terus mengganggu pikiranku sepanjang perjalanan, seolah mempersiapkan hatiku untuk sesuatu yang menyakitkan. Namun, aku tidak pernah menduga, rasanya akan sesakit ini. Setelah berjam-jam menunggu dalam ketidakpastian dan dicekam kegelisahan yang menjengkelkan, apa yang kutunggu akhirnya muncul juga. Jantungku berpacu begitu kerasnya ketika penumpang dari mobil taksi yang berhenti di depan vila menunjukkan jati dirinya. Bulu kudukku meremang seketika. Dia tidak sendiri. Seorang wanita berdiri di sebelahnya. Meski sosok itu berusaha menyembunyikan diri dengan jaket ber-hoodie, masker, dan kacamata hitam, aku sangat mengenali postur tubuh dan gaya berjalannya. Sosok itu... adalah dia. Pria yang selama ini menemaniku dalam suka dan duka. Dan wanita yang dia bukakan pintu lalu digenggam tangannya adalah... "Sinta," gumamku lemah, suaraku nyaris tak terdengar. Aku y
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan cukup kencang. Terus terpuruk di saat seperti ini tentu tidak baik. Aku memang merasa hancur, tetapi aku masih perlu memikirkan langkah untuk kehidupanku ke depannya. Tidak boleh aku terus-terusan meratap dan membuang-buang waktu tanpa tujuan. Setelah beberapa kali mengatur napas dan mulai merasa sedikit lebih tenang, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, melewati kaca-kaca jendela mobil yang mulai berembun karena pendingin udara. Tempat kami berhenti saat ini cukup terang. Lampu-lampu jalan menerangi sekitar, memberi kesan aman di tengah malam yang sepi. Ada beberapa orang yang lalu lalang, sesekali mobil lewat, tetapi suasana tetap tenang. Tidak ada tanda-tanda kecurigaan, meski aku masih menyimpan sedikit kekhawatiran. Tempat ini terlalu terbuka untuk sebuah skenario buruk, pikirku. Feri sepertinya tidak berniat melakukan hal yang aneh-aneh. Tok! Tok! Aku sedikit terperanjat oleh suara ketukan pada kaca jendela tep
"Ini penginapan milik teman yang paling dekat dari sini. Mungkin nggak semegah tempat kamu menginap biasanya, tapi saya jamin di sini aman dan nyaman." Suara Feri terdengar mantap, namun suasana di sekitarku terasa dingin. Aku masih berdiri tegak di tengah ruangan sambil mengamati sekitar. Dinding penginapan ini didominasi cat putih gading yang mulai pudar di beberapa sudut, kontras dengan lampu-lampu kuning hangat yang dipasang rendah di langit-langit. Meja resepsionis di ujung lorong tampak sederhana, dengan dua pegawai yang berdiri berjaga. Mereka melirik kami sekilas sebelum kembali sibuk dengan catatan-catatan mereka. Feri sudah berbalik menghampiri meja resepsionis dan melakukan transaksi. Tidak sampai lima menit kemudian, dia kembali menghampiriku dengan membawa sebuah kunci logam bergantungan nomor "102" yang terlihat sudah sedikit usang. "Ayo," ajaknya sambil menyeret koperku. Rodanya bergemertak lembut di atas lantai keramik yang licin. Aku mengikutinya di belakang. Sepa
[Tolong kamu cepat ke sini. Saya mau ke bandara pagi ini juga]Aku mengirim pesan teks itu ke WhatsApp Feri, sebelum menggeletakkan ponselku di atas nakas. Udara di dalam kamar penginapan ini terasa sedikit pengap, meski pendingin ruangan sudah menyala sejak tadi malam. Kamar ini cukup sederhana, dengan jendela besar yang menghadap ke taman kecil, tapi pikiranku terlalu kusut untuk menikmati pemandangan.Lima belas menit kemudian, aku mengambil ponselku lagi. Tanda dua centang di pesan yang kukirim masih abu-abu. Belum dibaca. Aku mendengus kesal, melempar pandanganku ke jam dinding. Hampir pukul setengah tujuh pagi, tapi Feri belum juga membalas. Di usia seperti dia, masa sih masih bisa tidur nyenyak di jam segini?Kubuka tirai jendela, membiarkan sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar. Cahaya itu seolah menerangi kegelisahan yang merambat di kepalaku. Pikiran tentang apa yang mungkin sedang dilakukan Sandy di vila itu terus berputar. Bagaimana kalau benar apa yang kutaku
"Kamu ke mana aja kemarin?"Suara itu terdengar datar, tapi aku tahu persis nada ketidaksabaranku merayap di setiap kata. Pertanyaan itu yang membuka pertemuan pertamaku dengan Mas Sandy setelah tiga hari dia absen dari rumah. Saat itu, dia baru saja membuka pintu depan, dan aku sudah menunggu di sofa, merapatkan kedua lututku. Koper besar yang masih digenggamnya tampak berat, seolah menyiratkan banyak rahasia yang dia bawa pulang.Mas Sandy menatapku, jelas tidak menyangka akan disambut dengan interogasi. Tangan kirinya yang memegang gagang koper bergetar sedikit, mungkin karena kelelahan, tapi lebih mungkin karena gugup."Kamu itu kenapa, sih?! Aku kan udah bilang ada acara bareng rekan-rekan syuting di luar kota," jawabnya dengan nada ketus, alisnya merapat seakan aku telah mengganggu ruang pribadinya yang selama ini tak tersentuh.Aku menahan napas sejenak, merasakan amarah yang mulai merembet ke dalam. "Hah!" tawa sinis lepas begitu saja dari bibirku. Sampai kapan dia akan memper
Tanpa menunggu Mas Sandy menjawab, kulemparkan map berisi foto-foto hasil tangkapan layar kamera saat aku memergoki perselingkuhannya. Tidak hanya itu, aku juga sudah mencetak bukti tanda pembelian tiket pesawatnya ke Bali bersama Sinta dan penyewaan vila privat mewah atas namanya. Mas Sandy tidak sempat menghindar, sehingga map itu menghantam keras wajahnya sebelum jatuh berserakan di lantai. Aku melihatnya mengerjapkan mata, mungkin antara terkejut dan marah, tapi aku tidak peduli lagi. Foto-foto yang terlempar dari map berserakan di bawah kakinya, menampilkan semua bukti yang telah kukumpulkan selama ini. Gambar dirinya dan Sinta saat turun dari taksi dan masuk ke dalam vila sambil berangkulan mesra, serta tanda terima pembayaran booking vila dan pesawat. Semuanya sudah jelas. "Cukup, Mas! Aku udah capek pura-pura nggak tahu terus!" Suaraku menggelegar di ruang tamu yang sunyi."Sampai kapan kamu mau ngebodohin aku?! Sampai kapan kamu pikir aku bisa diam aja seperti orang bodoh?"