"Jalan Bungur I, gang Melati nomor 54. Vila 'Enchantez'. Bener kan?"
Dari kursi penumpang, aku melirik pria yang bertanya itu lewat pantulan kaca spion tengah. Tepat saat dia juga melirikku sehingga tatapan kami bertemu. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapannya—entah rasa penasaran, atau mungkin sekadar kebiasaan orang asing yang belum terlalu akrab denganku. Tapi dalam situasi ini, setiap lirikan terasa mencurigakan.Aku segera membuang muka ke arah jendela, memilih untuk memandangi pemandangan yang berderet di luar. Deretan toko-toko kecil dan rumah-rumah sederhana berlalu satu per satu. Bayangan pepohonan yang meneduhkan jalan raya seolah tidak mampu meredakan ketegangan dalam hatiku. Angin yang berembus dari ventilasi mobil terasa dingin, tapi itu tak cukup menenangkan perasaanku.Dengan nada malas, aku menjawab, "Ya."Suara tawa tertahan terdengar lolos dari mulut Feri. Tawa yang samar tapi jelas terasa mengusik. Aku menoleh lagi hanya untuk m"Sebenarnya kita ngapain sih di sini?!"Feri mendaratkan tinjunya ringan pada setir, suaranya menyiratkan rasa kesal. Tampak jelas bahwa dia sudah kehilangan kesabaran setelah tiga jam berdiam di sini tanpa ada pergerakan berarti. Bahkan dari tadi, setiap kali dia mengajakku bicara, aku hanya menjawab sekenanya, lebih banyak diam, dan larut dalam pikiranku sendiri. Aku mulai mengerti, Feri bukan tipe orang yang tahan dalam situasi seperti ini. Maka tak heran jika pria itu mulai gelisah dan merasa bosan. "Kalau emang itu tempat penginapan kamu, masuk aja kali. Saya janji nggak bakal ngapa-ngapain kok. Saya bakal tetap stay di mobil. Kalau perlu saya bakal tidur di pos ronda terdekat." Nada suaranya yang biasanya santai, kini terdengar seperti merengek di telingaku, seolah dia berusaha memancing respons lebih dari sekadar diam dariku.Aku tetap tak bergeming. Mata menatap lurus ke depan, meski pandanganku tak fokus."Siapa suruh mau ikut?
Sebelum berangkat, aku memang sudah memperkirakan kemungkinan kenyataan terburuk yang mungkin aku hadapi. Bayangan itu terus mengganggu pikiranku sepanjang perjalanan, seolah mempersiapkan hatiku untuk sesuatu yang menyakitkan. Namun, aku tidak pernah menduga, rasanya akan sesakit ini. Setelah berjam-jam menunggu dalam ketidakpastian dan dicekam kegelisahan yang menjengkelkan, apa yang kutunggu akhirnya muncul juga. Jantungku berpacu begitu kerasnya ketika penumpang dari mobil taksi yang berhenti di depan vila menunjukkan jati dirinya. Bulu kudukku meremang seketika. Dia tidak sendiri. Seorang wanita berdiri di sebelahnya. Meski sosok itu berusaha menyembunyikan diri dengan jaket ber-hoodie, masker, dan kacamata hitam, aku sangat mengenali postur tubuh dan gaya berjalannya. Sosok itu... adalah dia. Pria yang selama ini menemaniku dalam suka dan duka. Dan wanita yang dia bukakan pintu lalu digenggam tangannya adalah... "Sinta," gumamku lemah, suaraku nyaris tak terdengar. Aku y
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan cukup kencang. Terus terpuruk di saat seperti ini tentu tidak baik. Aku memang merasa hancur, tetapi aku masih perlu memikirkan langkah untuk kehidupanku ke depannya. Tidak boleh aku terus-terusan meratap dan membuang-buang waktu tanpa tujuan. Setelah beberapa kali mengatur napas dan mulai merasa sedikit lebih tenang, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, melewati kaca-kaca jendela mobil yang mulai berembun karena pendingin udara. Tempat kami berhenti saat ini cukup terang. Lampu-lampu jalan menerangi sekitar, memberi kesan aman di tengah malam yang sepi. Ada beberapa orang yang lalu lalang, sesekali mobil lewat, tetapi suasana tetap tenang. Tidak ada tanda-tanda kecurigaan, meski aku masih menyimpan sedikit kekhawatiran. Tempat ini terlalu terbuka untuk sebuah skenario buruk, pikirku. Feri sepertinya tidak berniat melakukan hal yang aneh-aneh. Tok! Tok! Aku sedikit terperanjat oleh suara ketukan pada kaca jendela tep
"Ini penginapan milik teman yang paling dekat dari sini. Mungkin nggak semegah tempat kamu menginap biasanya, tapi saya jamin di sini aman dan nyaman." Suara Feri terdengar mantap, namun suasana di sekitarku terasa dingin. Aku masih berdiri tegak di tengah ruangan sambil mengamati sekitar. Dinding penginapan ini didominasi cat putih gading yang mulai pudar di beberapa sudut, kontras dengan lampu-lampu kuning hangat yang dipasang rendah di langit-langit. Meja resepsionis di ujung lorong tampak sederhana, dengan dua pegawai yang berdiri berjaga. Mereka melirik kami sekilas sebelum kembali sibuk dengan catatan-catatan mereka. Feri sudah berbalik menghampiri meja resepsionis dan melakukan transaksi. Tidak sampai lima menit kemudian, dia kembali menghampiriku dengan membawa sebuah kunci logam bergantungan nomor "102" yang terlihat sudah sedikit usang. "Ayo," ajaknya sambil menyeret koperku. Rodanya bergemertak lembut di atas lantai keramik yang licin. Aku mengikutinya di belakang. Sepa
[Tolong kamu cepat ke sini. Saya mau ke bandara pagi ini juga]Aku mengirim pesan teks itu ke WhatsApp Feri, sebelum menggeletakkan ponselku di atas nakas. Udara di dalam kamar penginapan ini terasa sedikit pengap, meski pendingin ruangan sudah menyala sejak tadi malam. Kamar ini cukup sederhana, dengan jendela besar yang menghadap ke taman kecil, tapi pikiranku terlalu kusut untuk menikmati pemandangan.Lima belas menit kemudian, aku mengambil ponselku lagi. Tanda dua centang di pesan yang kukirim masih abu-abu. Belum dibaca. Aku mendengus kesal, melempar pandanganku ke jam dinding. Hampir pukul setengah tujuh pagi, tapi Feri belum juga membalas. Di usia seperti dia, masa sih masih bisa tidur nyenyak di jam segini?Kubuka tirai jendela, membiarkan sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar. Cahaya itu seolah menerangi kegelisahan yang merambat di kepalaku. Pikiran tentang apa yang mungkin sedang dilakukan Sandy di vila itu terus berputar. Bagaimana kalau benar apa yang kutaku
"Kamu ke mana aja kemarin?"Suara itu terdengar datar, tapi aku tahu persis nada ketidaksabaranku merayap di setiap kata. Pertanyaan itu yang membuka pertemuan pertamaku dengan Mas Sandy setelah tiga hari dia absen dari rumah. Saat itu, dia baru saja membuka pintu depan, dan aku sudah menunggu di sofa, merapatkan kedua lututku. Koper besar yang masih digenggamnya tampak berat, seolah menyiratkan banyak rahasia yang dia bawa pulang.Mas Sandy menatapku, jelas tidak menyangka akan disambut dengan interogasi. Tangan kirinya yang memegang gagang koper bergetar sedikit, mungkin karena kelelahan, tapi lebih mungkin karena gugup."Kamu itu kenapa, sih?! Aku kan udah bilang ada acara bareng rekan-rekan syuting di luar kota," jawabnya dengan nada ketus, alisnya merapat seakan aku telah mengganggu ruang pribadinya yang selama ini tak tersentuh.Aku menahan napas sejenak, merasakan amarah yang mulai merembet ke dalam. "Hah!" tawa sinis lepas begitu saja dari bibirku. Sampai kapan dia akan memper
Tanpa menunggu Mas Sandy menjawab, kulemparkan map berisi foto-foto hasil tangkapan layar kamera saat aku memergoki perselingkuhannya. Tidak hanya itu, aku juga sudah mencetak bukti tanda pembelian tiket pesawatnya ke Bali bersama Sinta dan penyewaan vila privat mewah atas namanya. Mas Sandy tidak sempat menghindar, sehingga map itu menghantam keras wajahnya sebelum jatuh berserakan di lantai. Aku melihatnya mengerjapkan mata, mungkin antara terkejut dan marah, tapi aku tidak peduli lagi. Foto-foto yang terlempar dari map berserakan di bawah kakinya, menampilkan semua bukti yang telah kukumpulkan selama ini. Gambar dirinya dan Sinta saat turun dari taksi dan masuk ke dalam vila sambil berangkulan mesra, serta tanda terima pembayaran booking vila dan pesawat. Semuanya sudah jelas. "Cukup, Mas! Aku udah capek pura-pura nggak tahu terus!" Suaraku menggelegar di ruang tamu yang sunyi."Sampai kapan kamu mau ngebodohin aku?! Sampai kapan kamu pikir aku bisa diam aja seperti orang bodoh?"
Mas Sandy menatapku dengan mata yang dingin. Kontak mata kami akhirnya putus ketika dia mengalihkan pandangannya ke arah lantai. Beberapa foto yang tersebar di sana, bukti nyata dari perselingkuhannya, seakan menyuarakan kenyataan yang selama ini aku coba abaikan. Matanya berkedip sekali, lama, seperti seseorang yang sedang mencoba menelan pahitnya kenyataan, atau justru sedang menyusun kebohongan baru.Dia menarik napas panjang, terdengar berat, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah yang menggema di ruangan. "Mau kamu apa sekarang?"Seolah aku yang harus menentukan apa yang terjadi selanjutnya, seolah aku yang berada dalam posisi memiliki kontrol atas situasi ini. Namun, setelah mendengar ucapannya, aku tahu sudah tak ada yang bisa diperbaiki. Sesuatu yang begitu penting telah rusak di antara kami—dan tak ada yang mampu menyatukannya kembali.Suara hatiku menggelegar, mendorong keluar satu kalimat yang selama ini mungkin aku tahan. Namun, dengan luka yang makin dalam, tak ada
"Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka
Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.
Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y
"Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam
Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"
Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s
Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak
Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg
"Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca