"Oke, guys! Seru banget tadi kita udah belajar bikin sup kacang merah sama-sama! Naomi juga seneng, kan, Sayang?"
Aku menoleh cepat pada putriku yang berdiri di sebelah. Namun, bukannya menjawab, dia malah merengek sambil menarik-narik tepi gamisku. "Undaa ... Nao capek, lapel!" Seketika aku melotot. "Cut! Cut! Dialognya nggak gitu, Naomi Sayaang ...," tegurku pelan-pelan meski aslinya gemas sekali. "Tapi Nao emang capek, lapel ..." Suara gadis 3 tahun itu mulai terdengar bergetar seperti akan menangis. Cepat-cepat aku berjongkok untuk menyamakan tinggi kami. Kuusap kepala Naomi lembut sambil berusaha membujuknya, "Iya Sayang ... Bunda tahu. Tapi, please ... tinggal dikiiit aja, ya?" Naomi menekuk wajah dengan bibir cemberut. Namun, ia tidak lagi merengek atau berontak. Kuanggap itu sebagai bentuk persetujuannya. Aku kembali berdiri dan memberi isyarat pada juru kamera di hadapan kami untuk bersiap mengambil gambar. Dia memberi aba-aba dengan hitungan mundur supaya kami siap berakting. Aku kembali mengulang dialog dengan ekspresi se-antusias mungkin. Namun, lagi-lagi Naomi hanya menjawab ala kadar. Bahkan menguap di akhir scene. "Kak Re, gimana ini? Apa mau take ulang?" tanya Aldo, juru kameraku yang tampaknya juga ikut bingung. "Nggak usah deh, Do. Biarin aja. Kayaknya Naomi emang kecapekan!" putusku usai melihat gerakan tangan Naomi yang mengucek-ucek mata. "Kita lanjut ke scene berikutnya aja!" sambungku kemudian. Aldo menurut. Ia menyalakan kamera dan aku pun kembali memasang wajah ceria yang berkebalikan dengan perasaanku saat ini. "Wah, Naomi sampe ngantuk nih, guys! Pasti kecapekan ya, bantu-bantu Bunda masak tadi? Utututu ... Anak Bunda Sayang kasian ...," ujarku sambil merangkum wajah Naomi dengan tangan dan menempelkannya ke pipiku. "Kalau gitu hari ini sampai di sini aja, ya! Terima kasih sudah mengikuti kegiatan Bund Re dan Naomi. Jangan lupa like, share, dan subscribe channel 'Ressayhank' biar nggak ketinggalan keseruan-keseruan lain bareng aku! Sampai jumpa lagi. Bye!" Aku melambai-lambaikan kedua tangan ke arah kamera dan berakhirlah syuting Vlog hari itu. Bahu dan otot-otot tubuhku lainnya langsung terasa lunglai ketika Aldo mematikan kamera. Dari pagi kami sudah sibuk menyiapkan syuting kegiatan memasak ini dan sampai menjelang sore baru selesai. Wajar jika Naomi sampai merasa capek. "Nah, sekarang Nao udah bisa minta disuapin makan sama Mbak Mala, ya," perintahku pada Naomi. Anak kecil itu mengangguk patuh. Sempat kuelus singkat kepalanya sebelum dia berbalik dan berlari menghampiri Mbak Mala, pengasuhnya yang menunggu bersama kru lain di belakang kamera. "Nanti malam ada gala premiere filmnya Kak Sandy di bioskop XXI Sinar Plaza ya, Kak? Naomi mau diajak juga?" Tika, make up artist-ku bertanya saat aku hendak duduk di kursi sebelahnya. Aku menggeleng sambil memijit pelipisku yang agak pening. "Nggak. Nanti malam aku ada jadwal live di Shopee." "Wah, jadi jadwalnya bentrok gitu ya, Kak." Nada bicara Tika terdengar menyesal, entah untuk apa. Memang film "Taaruf Sang Gus" yang akan diputar saat gala premiere nanti adalah debut pertama Mas Sandy, suamiku, di layar lebar. Namun, aku tidak bisa mengabaikan begitu saja tawaran kerja yang bisa menambah pundi-pundi tabunganku. Aku sudah mengatakan hal ini pada Mas Sandy dan dia pun tidak keberatan. Bukan hal yang mudah menjadi seorang content creator. Orang-orang di luar sana mungkin hanya melihat ketenaran dan banyaknya followers, tanpa melihat bagaimana proses di baliknya. Seperti aku yang perlu memeras otak untuk memikirkan ide-ide kreatif agar channel-ku tidak monoton dan berujung ditinggalkan. Mulanya mudah saja menjadi terkenal. Dengan membagikan foto-foto berekspresi anehku yang diberi tulisan lucu, lalu dibuat meme, sudah membuat akun @ressayhank milikku dibanjiri followers. Justru setelahnya yang sulit. Aku harus menjaga engagement kontenku agar bisa tetap tinggi. Sekarang saja sudah demikian sulit dengan kemunculan banyak influencer baru yang lebih atraktif. *** Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku sudah siap dengan beberapa anggota tim di sebuah ruangan khusus yang kusulap menjadi lokasi syuting di rumah. Naomi sudah tidur sejak lepas magrib tadi karena kelelahan. Jadi, aku tidak perlu khawatir terganggu. Apalagi ada Mbak Mala yang menemani di sebelahnya. Sambil menunggu waktu live, aku mengambil ponsel dan mengirimkan pesan W******p ke Mas Sandy. [Mas udah selesai syuting?] Selain bermain di layar lebar, suamiku memang lebih dulu mendapat tawaran peran di sebuah sinetron kejar tayang di sebuah televisi swasta. Jadi, tidak heran jika dia harus berangkat pagi-pagi buta dan menghabiskan banyak waktu di lokasi syuting daripada di rumah. "Kak, bentar lagi jam delapan. Udah siap, ya?" tanya Rina, manajerku yang tiba-tiba mendatangi di sebelah kursiku. Kuacungkan tanda jempol sebagai jawaban. Sudah 30 menit berselang dan Mas Sandy belum juga membalas pesanku. Padahal dia sudah membacanya. [Baru off. Mau siap-siap ke gala] balasnya kemudian. [Oh ... sama siapa aja?] Aku kembali mengirimkan pesan. Namun, lagi-lagi Mas Sandy tidak segera memberi tanggapan. Sampai jarum jam menunjukkan hampir pukul delapan tepat, tidak ada notifikasi pesan masuk darinya. [Hati-hati, ya. Semoga lancar dan sukses filmnya] Akhirnya aku hanya mengirimkan pesan itu meski lagi-lagi hanya centang dua tanpa dibaca, sebelum mengubah pengaturan notifikasi ponselku ke mode silent. *** Live Shopee-ku berakhir pukul sepuluh malam. Namun, aku baru bisa beristirahat setengah jam kemudian, saat semua anggota tim yang terlibat pulang dari rumahku. Melihat kondisi rumah yang sepi, aku langsung tahu kalau Mas Sandy masih belum kembali dari gala. Aku pun mengambil ponselku yang tertinggal di ruang syuting untuk memeriksa barangkali ada pesan darinya. Namun, saat membuka kunci layar, aku justru dikejutkan oleh yang lain. Notifikasi akun medsosku jebol. Banyak sekali pemberitahuan mention baru yang masuk, padahal aku yakin tidak mengunggah postingan baru. Terakhir, foto pergi ke pasar bersama Naomi kemarin pagi. Tidak hanya itu, pesan-pesan ke W******p pribadiku pun banyak sekali. Sebenarnya apa yang terjadi selama aku live tadi? [Re, lo nggak nemenin suami lo ke gala?] Itu pesan pertama dari Venita, sahabat dekatku. Entah mengapa, aku langsung merasakan firasat tidak enak. Segera saja kugulirkan layar membaca pesan keduanya. [Gila sih ini! Tadinya aku mau nggak percaya kalau itu Sandy. Tapi videonya jelas banget!] Di bawah pesan itu, Venita melampirkan sebuah video. Jantungku berdegup keras, mengira-ngira apa yang sebenarnya terekam dalam video yang masih berputar-putar itu dan kaitannya dengan Mas Sandy? Setelah proses mengunduh selesai, aku langsung mengeklik tombol putar dengan tak sabar. Seketika mataku terbelalak melihat apa yang dilakukan Mas Sandy di video.Aku mondar-mandir di ruang tamu, menunggu Mas Sandy pulang dengan perasaan gelisah. Entah sudah berapa kali aku mencoba menghubunginya, baik melalui telepon atau pesan, tetapi yang kudapati justru ponselnya tidak aktif. Padahal waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Sebenarnya ke mana laki-laki itu pergi? Suara deru mesin mobil yang memasuki pelataran rumah menghentikan gerakan kakiku. Aku terdiam demi menajamkan pendengaran. Suara itu kian jelas dan menghilang ketika memasuki car port yang ada di sebelah rumah. Aku yakin, itu adalah Mas Sandy yang akhirnya pulang."Lho, Re, kamu kok belum tidur?" Mas Sandy tampak terkejut saat membuka pintu dan mendapati aku yang berdiri di hadapannya. "Mas sendiri ke mana aja baru pulang?" tanyaku ketus. Meski berusaha untuk tetap tenang, nyatanya video yang memperlihatkan kebersamaan suamiku dan wanita lain di gala premiere tadi seolah terus berputar di kepala dan membuat emosiku mendidih. "Aku kan udah bilang, ada gala premiere film." Mas
"Kamu hari ini jadi dateng kan ke lokasi syuting?"Mas Sandy bertanya di sela-sela waktu sarapan kami. Entah sudah berapa lama kami tidak makan semeja bersama. Kebetulan dia bilang hari ini waktu syutingnya dimundurkan sehingga dia tidak perlu keluar rumah pagi-pagi buta.Aku yang sedang menyuapi Naomi hanya meliriknya sekilas. Lantas menjawab singkat, "Ya."Terhitung sudah tiga hari ini aku memberi silent treatment pada suamiku. Penyebabnya adalah Line yang dikirimkan Sinta waktu malam-malam kemarin. Bagaimana aku tidak marah kalau isi pesan yang kulihat sepintas itu menanyakan apakah Mas Sandy sudah mandi atau belum? Memang apa urusannya sama dia?Sayang, waktu itu aku tidak bisa memeriksa lebih jelas, termasuk riwayat obrolan-obrolan lain yang terjadi sebelumnya antara Mas Sandy dan Sinta. Sebab, Mas Sandy buru-buru keluar dari kamar mandi dan mengambil ponselnya lebih dulu. Ketika aku berusaha mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan, dia justru balik memarahiku lebih keras.Aku t
"Lain kali nggak usah lebay! Gitu aja pake teriak-teriak."Tanganku berhenti mengusap kepala Naomi yang sudah duduk di pangkuanku. Mataku memicing, menatap Mas Sandy tidak suka.Lebay katanya? Padahal beberapa saat yang lalu anaknya bisa saja sesak napas gara-gara disuapin kue cokelat oleh Sinta! Tapi kenapa malah aku yang dianggap berlebihan?"Mas," panggilku penuh penekanan. "Naomi itu alergi cokelat. Kamu ingat, kan, dia dulu pernah masuk UGD gara-gara makan roti yang ada selai cokelatnya!"Aku berusaha sekuat tenaga mengatur volume suaraku. Bagaimanapun juga, kami sekarang berada di tempat umum dan tidak baik menampilkan pertengkaran di depan orang banyak."Ya itu kan dulu. Siapa tahu sekarang udah enggak," jawab Mas Sandy enteng. Sampai-sampai mataku melotot, tak percaya dengan apa yang kudengar."Lagian Sinta mana tahu kalau Naomi alergi cokelat," imbuh dia lagi sambil mengalihkan pandangan.Justru itu masalahnya! teriakku dalam hati. Kalau memang tidak tahu punya alergi atau ti
"Kalau gitu, nanti Nao punya Unda dua, dong. Asyikk!" Aku melongo mendengar celotehan putriku. Bisa-bisanya dia bersorak senang saat tahu ayahnya akan menikah lagi. Ah, kurasa dia masih belum mengerti apa yang terjadi jika seorang suami memiliki dua istri sekaligus. Sebenarnya bukan hal yang salah, mengingat dalam agama poligami memang tidak dilarang. Namun, tentu harus memenuhi kriteria dan syarat-syaratnya. Di samping itu, sayang sekali sepertinya aku bukan termasuk istri yang bisa kuat dan ikhlas jika tahu suaminya memiliki madu. Haduh ... mikirin apa sih aku ini? Daripada itu, lebih baik aku bertanya saja pada Naomi, bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu. "Nao Sayang ... kok tanya gitu? Emang Nao dengar dari siapa?" "Dali Ayah," jawab anakku lugas. Perlu beberapa saat bagiku untuk mencerna perkataan Naomi. "Ooh ... " Lantas aku tersenyum lebar. "Itu cuma akting, Sayang." Dahi Naomi berkerut. "Akting?" "Iya, akting. Pura-pura. Kayak Bunda dan Naomi biasanya kalau Om
[Kok kontennya berdua terus? Suaminya mana, Kak Re?] [Kalo ngontennya selalu bawa anak gini, bisa masuk eksploitasi nggak, sih?] Aku mengembuskan napas lelah membaca komentar-komentar di video Youtube terbaruku. Padahal dalam VLog yang baru diunggah oleh timku, aku dan Naomi sedang bersenang-senang bersama membuat salad buah. Video itu menampilkan saat kami mulai pergi ke pasar, memilih buah, mengupas, memotong-motong, sampai mengolahnya menjadi semangkuk salad yang menggoda. Meski cukup melelahkan, tetapi sepanjang proses syuting waktu itu pun Naomi menikmatinya dengan ceria. Namun, yang namanya orang telanjur tidak suka, pasti akan terus mencari-cari cela orang lain.Ya, beginilah kehidupanku yang tak lepas dari sorot kamera. Menampilkan hal baik di depan kamera saja masih ada yang mencibir, apalagi kalau sampai terang-terangan kepergok berbuat salah. Rasanya seperti tidak ada yang aman, kecuali jika aku mengunci diri sendirian di rumah. Sedangkan begi
"Unda!" Aku sedikit terperanjat dari lamunan. Mataku mengerjap dan buru-buru mencari sumber suara. Senyumku otomatis melebar saat penglihatanku akhirnya menemukannya.Di belokan dekat kamar, gadis kecilku berlari menghampiri sambil membawa boneka beruang merah muda kesayangannya. Boneka itu adalah hadiah ulang tahun keempat Naomi yang kubelikan bersama Mas Sandy saat kami berjalan-jalan bersama ke Singapura tahun lalu. Saat itu, tentu saja suasana hangat di antara kami jauh berbeda dengan sekarang. Aku segera menyambut Naomi dengan merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan membawanya ke dalam pelukan. Dia balas melingkarkan kedua tangan mungilnya di leherku. "Nda, Ayah pelgi lagi yah?" tanyanya dengan nada sedih. Bola mata bulat Naomi yang biasanya tampak cerah kini sinarnya meredup. "Ayah kok seling pelgi-pelgi telus, sih, nggak ngajakin Nao? Nao kan pengen sama Ayah," rengeknya lagi. Kali ini bis
"Kak? Kak Ressa?!" Aku terlonjak kaget saat Rina tiba-tiba mengguncang lenganku. Secara refleks, aku segera menutup laptop dengan gestur panik."Eh-eh, iya. Iya, Rin. Ada apa?" responsku gelagapan. Aku benar-benar tidak sadar kalau saat ini masih berada di tengah meeting. Anehnya, malah aku yang gugup seperti takut ketahuan melakukan tindak kejahatan. Barangkali itu refleks yang normal dari seorang istri yang khawatir orang lain juga mencium 'ketidakberesan' dari suaminya."Lho, kok malah ditutup laptopnya, Kak? Email proposal kerjasama yang aku kirim, udah Kak Ressa periksa?" Rina menatapku bingung dengan kedua alis berkerut."O-oh, iya, Rin. Belum. Sorry, sorry. Lupa," kataku seraya membuka laptop kembali. Dari sudut mata, aku bisa melihat rekan-rekanku saling berpandangan."Apa ada masalah, Kak?" tanya Bunga terdengar khawatir.Tentu saja 'ya'! Andai aku bisa menjawab jujur seperti itu dengan percaya diri. Sayangnya masalah r
Mendadak tubuhku terasa pusing dan lemas. Aku tidak masalah jika memang vila tersebut untuk keperluan kerjaannya dan hanya kebetulan saja suamiku yang dimintai tolong untuk memesan vila tersebut—dengan memakai nama dan uang pribadinya terlebih dahulu. Namun, tentu aku akan merasa sangat terkhianati jika yang terjadi justru di luar dari prasangka baikku itu. Jangan sampai kamu menyewa vila itu untuk main gila di belakangku, Mas! teriak batinku geram. Tanpa sadar, tanganku mencengkeram tetikus erat-erat. Gambaran masa lalu tentang aku yang mengajari Mas Sandy berakting berkelebat di kepala, layaknya potongan adegan-adegan film yang terputar acak dan tak utuh. "Re, kamu yakin aku bisa jadi artis? Rasanya kok aku nggak berbakat, ya?" keluh Mas Sandy saat pertama aku mendesaknya untuk mencoba berakting sesuai transkrip yang kuberi. "Yakiin ... percaya, deh! Wajah kamu itu menjual banget lho, Mas. Good looking! Rugi kalau cuma di