Aku mondar-mandir di ruang tamu, menunggu Mas Sandy pulang dengan perasaan gelisah. Entah sudah berapa kali aku mencoba menghubunginya, baik melalui telepon atau pesan, tetapi yang kudapati justru ponselnya tidak aktif. Padahal waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Sebenarnya ke mana laki-laki itu pergi?
Suara deru mesin mobil yang memasuki pelataran rumah menghentikan gerakan kakiku. Aku terdiam demi menajamkan pendengaran. Suara itu kian jelas dan menghilang ketika memasuki car port yang ada di sebelah rumah. Aku yakin, itu adalah Mas Sandy yang akhirnya pulang. "Lho, Re, kamu kok belum tidur?" Mas Sandy tampak terkejut saat membuka pintu dan mendapati aku yang berdiri di hadapannya. "Mas sendiri ke mana aja baru pulang?" tanyaku ketus. Meski berusaha untuk tetap tenang, nyatanya video yang memperlihatkan kebersamaan suamiku dan wanita lain di gala premiere tadi seolah terus berputar di kepala dan membuat emosiku mendidih. "Aku kan udah bilang, ada gala premiere film." Mas Sandy menjawab dengan nada yang terdengar tidak senang. Dia berjalan melewatiku begitu saja sambil melepas tas selempangnya, lalu diletakkan asal di atas meja ruang tengah. "Gala premiere apa sampe jam segini? Bukannya udah selesai dari jam sepuluhan tadi?" Bahkan videomu bersama wanita lain sudah rilis, Mas! tambahku dalam hati. Aku sengaja tidak mengatakannya dulu dengan harapan Mas Sandy yang akan menjelaskannya sendiri padaku. Namun, tampaknya sia-sia karena Mas Sandy tetap bersikap tak acuh, seolah aku ini istri lugu yang tidak mengetahui apa pun. Akhirnya, aku pun mencegatnya sebelum masuk kamar kami. "Mas!" Mas Sandy menatapku dengan sebelah alis terangkat dan wajah terlihat kesal. "Apa?!" tanyanya tak sabar. "Kamu belum jawab pertanyaanku! Tadi di WA juga gitu, kamu nyuekin chat-ku!" "Oh, jadi kamu malam-malam jadi bawel gini cuma gara-gara chat nggak dibales?" Entah sungguhan atau pura-pura, Mas Sandy malah salah menangkap maksud protesku. "Tadi hp-nya aku silent, terus lupa nggak di set ulang. Aku masukin tas dan belum ngecek lagi dari tadi. Puas?!" Tentu saja jawaban itu masih belum menjelaskan akar dari pertanyaanku. Dia kembali mencoba melewatiku dan masuk kamar, tetapi sekali lagi aku menahan tangannya. Kali ini aku tidak lagi memancing-mancing penjelasannya dan langsung to the point. "Tadi aku lihat video kamu yang rame di internet. Ngapain kamu barengan sama Sinta?" Ya, Sinta Ayudia, artis cantik pendatang baru itulah yang ramai dibicarakan karena tertangkap kamera bersama suamiku di gala premiere tadi. Dia merupakan lawan main suamiku di sinetron "Setulus Cinta Kasih" yang masih tayang sampai saat ini. Masalahnya, Sinta tidak masuk dalam jajaran pemain film "Jodoh untuk Sang Gus." Jadi, seharusnya wanita itu tidak berada di sana. Apalagi duduk di sebelah suamiku. Ekspresi Mas Sandy tampak sedikit kaget. Namun, dengan cepat dia kembali mengubahnya menjadi dingin. "Kenapa memang? Tadi kebetulan syutingnya pas sebelum acara gala mulai. Jadi, sekalian aja temen-temen yang lain juga ikut datang sebagai bentuk dukungan." "Tapi nggak harus duduk sebelahan dan pakai gandengan tangan segala, kan, Mas?!" Nada bicaraku meninggi, teringat video yang merekam dari kejauhan saat Mas Sandy dan Sinta berbincang di meja gala. Jarak di antara mereka sangat dekat bahkan terlihat mesra selayaknya pasangan kekasih sungguhan. Tidak hanya itu, saat keluar dari gedung bioskop pun suamiku menggandeng tangannya sambil berjalan cepat untuk menghindari kepungan wartawan. Kalau memang kehadiran Sinta hanya sekadar bentuk saling support sesama rekan kerja, kenapa harus Mas Sandy yang seolah ketiban tanggung jawab untuk menjaganya? "Memang harus banget, ya, Mas Sandy yang nemanin Sinta? Emang manajer dan teman-teman Mas lainnya ke mana? Kayak nggak ada orang lain yang masih single aja!" gerutuku. Tentu saja aku keberatan. Mas Sandy adalah suamiku. Tidak seharusnya dia berinteraksi terlalu dekat dengan wanita lain di luar kepentingan syuting. Kulihat rahang Mas Sandy mengeras, tanda dia mulai terusik. "Kamu sendiri gimana? Udah tahu suami mau peluncuran film perdana malah asyik cari uang sendiri!" Seketika aku kehilangan kata-kata. Mulutku terbuka dan menutup, hendak mengatakan sesuatu tetapi lidah telanjur kelu. Mas Sandy tidak mau menunggu sampai aku kembali bisa berbicara. Dia segera mengambil kesempatan itu untuk masuk kamar dan meninggalkanku sendiri di luar. "Mas!" Aku bergegas menyusul masuk. Pembicaraan ini tidak bisa berhenti begitu saja. Bukankah harusnya aku yang marah karena dia ketahuan bersama wanita lain? Tapi kenapa justru sebaliknya? "Mas! Kamu nggak bisa nyalahin aku gitu aja! Bukannya kamu yang ngizinin aku ambil job itu?!" protesku tak terima. Mas Sandy yang sedang membuka kancing kemejanya menatap kedua mataku lurus dengan sorot dingin. "Kamu kan yang ambisius pengen dapat kerja, kerja, kerja terus. Mana mau dengerin kata-kataku? Apalagi nolak job 'cuma' buat nemenin ke gala premiere." Mas Sandy menekankan kata "cuma" dalam kalimatnya. Jelas sekali sedang menyindirku. Kugenggam kedua telapak tangan erat-erat. Ingin sekali rasanya aku meledak. Namun, aku tidak ingin pertengkaran kami ini sampai keluar dan terdengar oleh Naomi yang tidur di kamar sebelah. "Tapi apa lantas hal itu membenarkan kelakuan kamu yang berlebihan ke wanita lain, Mas?" tanyaku dengan suara rendah seperti geraman. Namun, masih bisa terdengar di telinga Mas Sandy. Buktinya, raut wajah pria itu langsung berubah tegas. "Kamu tuh yang berlebihan! Dengar ya, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Sinta, kecuali rekan kerja. Titik!" sembur Mas Sandy marah. "Udah, lah! Aku capek! Mau mandi terus langsung tidur. Besok pagi-pagi masih harus berangkat syuting lagi." Mas Sandy mengakhiri paksa perdebatan kami dengan berbalik pergi ke kamar mandi di dalam ruang tidur kami, yang berseberangan dengan ruang ganti. Sementara aku masih diam di tempat sambil memelotot, menatap punggung berbalut kaos singlet warna putihnya yang bergerak menjauh. Kuhela napas kasar. Adu urat ini tentu membuatku lelah. Melihat reaksi Mas Sandy seperti itu aku jadi berpikir, apa memang benar aku saja yang terlalu berlebihan menanggapi isu kebersamaan mereka? Bisakah aku mempercayai apa yang dikatakan suamiku? Baru saja tubuh Mas Sandy menghilang di balik pintu kamar mandi, terdengar suara dering bercampur getar singkat dari sebuah ponsel. Aku segera melirik meja kayu bulat yang berada tidak jauh di depanku. Layar benda pipih elektronik milik Mas Sandy itu menyala, menandakan ada sebuah notifikasi yang baru masuk. Refleks aku pun berjalan mendekat dengan niat hendak memeriksanya. Siapa tahu ada sesuatu yang penting. Aku belum menyentuh benda itu, tetapi dari layarnya yang masih menyala, bisa terlihat notifikasi apa yang masuk. Sebuah Line baru dengan nama Sinta Ayudia sebagai pengirim. Mataku seketika membelalak lebar. Astaga! Bisa-bisanya wanita itu mengirim pesan begitu kepada suamiku!"Kamu hari ini jadi dateng kan ke lokasi syuting?"Mas Sandy bertanya di sela-sela waktu sarapan kami. Entah sudah berapa lama kami tidak makan semeja bersama. Kebetulan dia bilang hari ini waktu syutingnya dimundurkan sehingga dia tidak perlu keluar rumah pagi-pagi buta.Aku yang sedang menyuapi Naomi hanya meliriknya sekilas. Lantas menjawab singkat, "Ya."Terhitung sudah tiga hari ini aku memberi silent treatment pada suamiku. Penyebabnya adalah Line yang dikirimkan Sinta waktu malam-malam kemarin. Bagaimana aku tidak marah kalau isi pesan yang kulihat sepintas itu menanyakan apakah Mas Sandy sudah mandi atau belum? Memang apa urusannya sama dia?Sayang, waktu itu aku tidak bisa memeriksa lebih jelas, termasuk riwayat obrolan-obrolan lain yang terjadi sebelumnya antara Mas Sandy dan Sinta. Sebab, Mas Sandy buru-buru keluar dari kamar mandi dan mengambil ponselnya lebih dulu. Ketika aku berusaha mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan, dia justru balik memarahiku lebih keras.Aku t
"Lain kali nggak usah lebay! Gitu aja pake teriak-teriak."Tanganku berhenti mengusap kepala Naomi yang sudah duduk di pangkuanku. Mataku memicing, menatap Mas Sandy tidak suka.Lebay katanya? Padahal beberapa saat yang lalu anaknya bisa saja sesak napas gara-gara disuapin kue cokelat oleh Sinta! Tapi kenapa malah aku yang dianggap berlebihan?"Mas," panggilku penuh penekanan. "Naomi itu alergi cokelat. Kamu ingat, kan, dia dulu pernah masuk UGD gara-gara makan roti yang ada selai cokelatnya!"Aku berusaha sekuat tenaga mengatur volume suaraku. Bagaimanapun juga, kami sekarang berada di tempat umum dan tidak baik menampilkan pertengkaran di depan orang banyak."Ya itu kan dulu. Siapa tahu sekarang udah enggak," jawab Mas Sandy enteng. Sampai-sampai mataku melotot, tak percaya dengan apa yang kudengar."Lagian Sinta mana tahu kalau Naomi alergi cokelat," imbuh dia lagi sambil mengalihkan pandangan.Justru itu masalahnya! teriakku dalam hati. Kalau memang tidak tahu punya alergi atau ti
"Kalau gitu, nanti Nao punya Unda dua, dong. Asyikk!" Aku melongo mendengar celotehan putriku. Bisa-bisanya dia bersorak senang saat tahu ayahnya akan menikah lagi. Ah, kurasa dia masih belum mengerti apa yang terjadi jika seorang suami memiliki dua istri sekaligus. Sebenarnya bukan hal yang salah, mengingat dalam agama poligami memang tidak dilarang. Namun, tentu harus memenuhi kriteria dan syarat-syaratnya. Di samping itu, sayang sekali sepertinya aku bukan termasuk istri yang bisa kuat dan ikhlas jika tahu suaminya memiliki madu. Haduh ... mikirin apa sih aku ini? Daripada itu, lebih baik aku bertanya saja pada Naomi, bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu. "Nao Sayang ... kok tanya gitu? Emang Nao dengar dari siapa?" "Dali Ayah," jawab anakku lugas. Perlu beberapa saat bagiku untuk mencerna perkataan Naomi. "Ooh ... " Lantas aku tersenyum lebar. "Itu cuma akting, Sayang." Dahi Naomi berkerut. "Akting?" "Iya, akting. Pura-pura. Kayak Bunda dan Naomi biasanya kalau Om
[Kok kontennya berdua terus? Suaminya mana, Kak Re?] [Kalo ngontennya selalu bawa anak gini, bisa masuk eksploitasi nggak, sih?] Aku mengembuskan napas lelah membaca komentar-komentar di video Youtube terbaruku. Padahal dalam VLog yang baru diunggah oleh timku, aku dan Naomi sedang bersenang-senang bersama membuat salad buah. Video itu menampilkan saat kami mulai pergi ke pasar, memilih buah, mengupas, memotong-motong, sampai mengolahnya menjadi semangkuk salad yang menggoda. Meski cukup melelahkan, tetapi sepanjang proses syuting waktu itu pun Naomi menikmatinya dengan ceria. Namun, yang namanya orang telanjur tidak suka, pasti akan terus mencari-cari cela orang lain.Ya, beginilah kehidupanku yang tak lepas dari sorot kamera. Menampilkan hal baik di depan kamera saja masih ada yang mencibir, apalagi kalau sampai terang-terangan kepergok berbuat salah. Rasanya seperti tidak ada yang aman, kecuali jika aku mengunci diri sendirian di rumah. Sedangkan begi
"Unda!" Aku sedikit terperanjat dari lamunan. Mataku mengerjap dan buru-buru mencari sumber suara. Senyumku otomatis melebar saat penglihatanku akhirnya menemukannya.Di belokan dekat kamar, gadis kecilku berlari menghampiri sambil membawa boneka beruang merah muda kesayangannya. Boneka itu adalah hadiah ulang tahun keempat Naomi yang kubelikan bersama Mas Sandy saat kami berjalan-jalan bersama ke Singapura tahun lalu. Saat itu, tentu saja suasana hangat di antara kami jauh berbeda dengan sekarang. Aku segera menyambut Naomi dengan merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan membawanya ke dalam pelukan. Dia balas melingkarkan kedua tangan mungilnya di leherku. "Nda, Ayah pelgi lagi yah?" tanyanya dengan nada sedih. Bola mata bulat Naomi yang biasanya tampak cerah kini sinarnya meredup. "Ayah kok seling pelgi-pelgi telus, sih, nggak ngajakin Nao? Nao kan pengen sama Ayah," rengeknya lagi. Kali ini bis
"Kak? Kak Ressa?!" Aku terlonjak kaget saat Rina tiba-tiba mengguncang lenganku. Secara refleks, aku segera menutup laptop dengan gestur panik."Eh-eh, iya. Iya, Rin. Ada apa?" responsku gelagapan. Aku benar-benar tidak sadar kalau saat ini masih berada di tengah meeting. Anehnya, malah aku yang gugup seperti takut ketahuan melakukan tindak kejahatan. Barangkali itu refleks yang normal dari seorang istri yang khawatir orang lain juga mencium 'ketidakberesan' dari suaminya."Lho, kok malah ditutup laptopnya, Kak? Email proposal kerjasama yang aku kirim, udah Kak Ressa periksa?" Rina menatapku bingung dengan kedua alis berkerut."O-oh, iya, Rin. Belum. Sorry, sorry. Lupa," kataku seraya membuka laptop kembali. Dari sudut mata, aku bisa melihat rekan-rekanku saling berpandangan."Apa ada masalah, Kak?" tanya Bunga terdengar khawatir.Tentu saja 'ya'! Andai aku bisa menjawab jujur seperti itu dengan percaya diri. Sayangnya masalah r
Mendadak tubuhku terasa pusing dan lemas. Aku tidak masalah jika memang vila tersebut untuk keperluan kerjaannya dan hanya kebetulan saja suamiku yang dimintai tolong untuk memesan vila tersebut—dengan memakai nama dan uang pribadinya terlebih dahulu. Namun, tentu aku akan merasa sangat terkhianati jika yang terjadi justru di luar dari prasangka baikku itu. Jangan sampai kamu menyewa vila itu untuk main gila di belakangku, Mas! teriak batinku geram. Tanpa sadar, tanganku mencengkeram tetikus erat-erat. Gambaran masa lalu tentang aku yang mengajari Mas Sandy berakting berkelebat di kepala, layaknya potongan adegan-adegan film yang terputar acak dan tak utuh. "Re, kamu yakin aku bisa jadi artis? Rasanya kok aku nggak berbakat, ya?" keluh Mas Sandy saat pertama aku mendesaknya untuk mencoba berakting sesuai transkrip yang kuberi. "Yakiin ... percaya, deh! Wajah kamu itu menjual banget lho, Mas. Good looking! Rugi kalau cuma di
Sinta Ayudia. Nama itu muncul lagi. Kali ini dari mulut Venita yang menjadi saksi melihat keberadaanya di kafe tadi sedang duduk santai sambil bercanda akrab dengan suamiku. Nama yang sama itu juga kudapati tercetak jelas pada tiket pesawat Jakarta-Denpasar di email Mas Sandy, bersandingan dengan tiket lain yang memuat nama suamiku. Aku menatap layar laptop di depanku dengan nanar, kedua tanganku mengepal. Kuabaikan rasa perih yang muncul akibat kuku-kuku jemariku terlalu dalam menancap di telapak tangan. Semakin aku mencoba mengenyahkan kecurigaan dari pikiran, semakin kuat pula rasa sesak yang menyeruak. Nama itu terus menghantuiku seperti bisikan halus yang berubah menjadi jeritan.Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan raut lelah. Sekali lagi, aku berusaha berpikir positif. Mungkin hubungan mereka tidak seperti yang aku khawatirkan. Mungkin Sinta hanyalah rekan kerja, mungkin mereka hanya sebatas teman. Tapi, setiap kali aku mencoba menguatkan hati, rasanya seperti
"Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka
Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.
Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y
"Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam
Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"
Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s
Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak
Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg
"Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca