Share

2. Pesan di HP Suamiku

Aku mondar-mandir di ruang tamu, menunggu Mas Sandy pulang dengan perasaan gelisah. Entah sudah berapa kali aku mencoba menghubunginya, baik melalui telepon atau pesan, tetapi yang kudapati justru ponselnya tidak aktif. Padahal waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Sebenarnya ke mana laki-laki itu pergi?

 Suara deru mesin mobil yang memasuki pelataran rumah menghentikan gerakan kakiku. Aku terdiam demi menajamkan pendengaran. Suara itu kian jelas dan menghilang ketika memasuki car port yang ada di sebelah rumah. Aku yakin, itu adalah Mas Sandy yang akhirnya pulang.

"Lho, Re, kamu kok belum tidur?" Mas Sandy tampak terkejut saat membuka pintu dan mendapati aku yang berdiri di hadapannya.

 "Mas sendiri ke mana aja baru pulang?" tanyaku ketus. Meski berusaha untuk tetap tenang, nyatanya video yang memperlihatkan kebersamaan suamiku dan wanita lain di gala premiere tadi seolah terus berputar di kepala dan membuat emosiku mendidih.

 "Aku kan udah bilang, ada gala premiere film." Mas Sandy menjawab dengan nada yang terdengar tidak senang. Dia berjalan melewatiku begitu saja sambil melepas tas selempangnya, lalu diletakkan asal di atas meja ruang tengah.

 "Gala premiere apa sampe jam segini? Bukannya udah selesai dari jam sepuluhan tadi?"

 Bahkan videomu bersama wanita lain sudah rilis, Mas! tambahku dalam hati. Aku sengaja tidak mengatakannya dulu dengan harapan Mas Sandy yang akan menjelaskannya sendiri padaku. Namun, tampaknya sia-sia karena Mas Sandy tetap bersikap tak acuh, seolah aku ini istri lugu yang tidak mengetahui apa pun.

 Akhirnya, aku pun mencegatnya sebelum masuk kamar kami. "Mas!"

 Mas Sandy menatapku dengan sebelah alis terangkat dan wajah terlihat kesal. "Apa?!" tanyanya tak sabar.

 "Kamu belum jawab pertanyaanku! Tadi di WA juga gitu, kamu nyuekin chat-ku!"

 "Oh, jadi kamu malam-malam jadi bawel gini cuma gara-gara chat nggak dibales?" Entah sungguhan atau pura-pura, Mas Sandy malah salah menangkap maksud protesku.

 "Tadi hp-nya aku silent, terus lupa nggak di set ulang. Aku masukin tas dan belum ngecek lagi dari tadi. Puas?!"

 Tentu saja jawaban itu masih belum menjelaskan akar dari pertanyaanku. Dia kembali mencoba melewatiku dan masuk kamar, tetapi sekali lagi aku menahan tangannya. Kali ini aku tidak lagi memancing-mancing penjelasannya dan langsung to the point.

 "Tadi aku lihat video kamu yang rame di internet. Ngapain kamu barengan sama Sinta?"

 Ya, Sinta Ayudia, artis cantik pendatang baru itulah yang ramai dibicarakan karena tertangkap kamera bersama suamiku di gala premiere tadi. Dia merupakan lawan main suamiku di sinetron "Setulus Cinta Kasih" yang masih tayang sampai saat ini. Masalahnya, Sinta tidak masuk dalam jajaran pemain film "Jodoh untuk Sang Gus." Jadi, seharusnya wanita itu tidak berada di sana. Apalagi duduk di sebelah suamiku.

 Ekspresi Mas Sandy tampak sedikit kaget. Namun, dengan cepat dia kembali mengubahnya menjadi dingin. "Kenapa memang? Tadi kebetulan syutingnya pas sebelum acara gala mulai. Jadi, sekalian aja temen-temen yang lain juga ikut datang sebagai bentuk dukungan."

 "Tapi nggak harus duduk sebelahan dan pakai gandengan tangan segala, kan, Mas?!"

 Nada bicaraku meninggi, teringat video yang merekam dari kejauhan saat Mas Sandy dan Sinta berbincang di meja gala. Jarak di antara mereka sangat dekat bahkan terlihat mesra selayaknya pasangan kekasih sungguhan. Tidak hanya itu, saat keluar dari gedung bioskop pun suamiku menggandeng tangannya sambil berjalan cepat untuk menghindari kepungan wartawan.

 Kalau memang kehadiran Sinta hanya sekadar bentuk saling support sesama rekan kerja, kenapa harus Mas Sandy yang seolah ketiban tanggung jawab untuk menjaganya?

 

"Memang harus banget, ya, Mas Sandy yang nemanin Sinta? Emang manajer dan teman-teman Mas lainnya ke mana? Kayak nggak ada orang lain yang masih single aja!" gerutuku. Tentu saja aku keberatan. Mas Sandy adalah suamiku. Tidak seharusnya dia berinteraksi terlalu dekat dengan wanita lain di luar kepentingan syuting.

 Kulihat rahang Mas Sandy mengeras, tanda dia mulai terusik. "Kamu sendiri gimana? Udah tahu suami mau peluncuran film perdana malah asyik cari uang sendiri!"

 Seketika aku kehilangan kata-kata. Mulutku terbuka dan menutup, hendak mengatakan sesuatu tetapi lidah telanjur kelu. Mas Sandy tidak mau menunggu sampai aku kembali bisa berbicara. Dia segera mengambil kesempatan itu untuk masuk kamar dan meninggalkanku sendiri di luar.

 "Mas!" Aku bergegas menyusul masuk. Pembicaraan ini tidak bisa berhenti begitu saja. Bukankah harusnya aku yang marah karena dia ketahuan bersama wanita lain? Tapi kenapa justru sebaliknya?

 "Mas! Kamu nggak bisa nyalahin aku gitu aja! Bukannya kamu yang ngizinin aku ambil job itu?!" protesku tak terima.

 Mas Sandy yang sedang membuka kancing kemejanya menatap kedua mataku lurus dengan sorot dingin. "Kamu kan yang ambisius pengen dapat kerja, kerja, kerja terus. Mana mau dengerin kata-kataku? Apalagi nolak job 'cuma' buat nemenin ke gala premiere."

 Mas Sandy menekankan kata "cuma" dalam kalimatnya. Jelas sekali sedang menyindirku.

 Kugenggam kedua telapak tangan erat-erat. Ingin sekali rasanya aku meledak. Namun, aku tidak ingin pertengkaran kami ini sampai keluar dan terdengar oleh Naomi yang tidur di kamar sebelah.

 "Tapi apa lantas hal itu membenarkan kelakuan kamu yang berlebihan ke wanita lain, Mas?" tanyaku dengan suara rendah seperti geraman. Namun, masih bisa terdengar di telinga Mas Sandy. Buktinya, raut wajah pria itu langsung berubah tegas.

 "Kamu tuh yang berlebihan! Dengar ya, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Sinta, kecuali rekan kerja. Titik!" sembur Mas Sandy marah.

 "Udah, lah! Aku capek! Mau mandi terus langsung tidur. Besok pagi-pagi masih harus berangkat syuting lagi."

 Mas Sandy mengakhiri paksa perdebatan kami dengan berbalik pergi ke kamar mandi di dalam ruang tidur kami, yang berseberangan dengan ruang ganti. Sementara aku masih diam di tempat sambil memelotot, menatap punggung berbalut kaos singlet warna putihnya yang bergerak menjauh.

 Kuhela napas kasar. Adu urat ini tentu membuatku lelah. Melihat reaksi Mas Sandy seperti itu aku jadi berpikir, apa memang benar aku saja yang terlalu berlebihan menanggapi isu kebersamaan mereka? Bisakah aku mempercayai apa yang dikatakan suamiku?

 Baru saja tubuh Mas Sandy menghilang di balik pintu kamar mandi, terdengar suara dering bercampur getar singkat dari sebuah ponsel. Aku segera melirik meja kayu bulat yang berada tidak jauh di depanku. Layar benda pipih elektronik milik Mas Sandy itu menyala, menandakan ada sebuah notifikasi yang baru masuk. Refleks aku pun berjalan mendekat dengan niat hendak memeriksanya. Siapa tahu ada sesuatu yang penting.

 Aku belum menyentuh benda itu, tetapi dari layarnya yang masih menyala, bisa terlihat notifikasi apa yang masuk. Sebuah Line baru dengan nama Sinta Ayudia sebagai pengirim. Mataku seketika membelalak lebar.

 Astaga! Bisa-bisanya wanita itu mengirim pesan begitu kepada suamiku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status