Share

3. Permintaan Suamiku

"Kamu hari ini jadi dateng kan ke lokasi syuting?"

 

Mas Sandy bertanya di sela-sela waktu sarapan kami. Entah sudah berapa lama kami tidak makan semeja bersama. Kebetulan dia bilang hari ini waktu syutingnya dimundurkan sehingga dia tidak perlu keluar rumah pagi-pagi buta.

 

Aku yang sedang menyuapi Naomi hanya meliriknya sekilas. Lantas menjawab singkat, "Ya."

 

Terhitung sudah tiga hari ini aku memberi silent treatment pada suamiku. Penyebabnya adalah Line yang dikirimkan Sinta waktu malam-malam kemarin. Bagaimana aku tidak marah kalau isi pesan yang kulihat sepintas itu menanyakan apakah Mas Sandy sudah mandi atau belum? Memang apa urusannya sama dia?

 

Sayang, waktu itu aku tidak bisa memeriksa lebih jelas, termasuk riwayat obrolan-obrolan lain yang terjadi sebelumnya antara Mas Sandy dan Sinta. Sebab, Mas Sandy buru-buru keluar dari kamar mandi dan mengambil ponselnya lebih dulu. Ketika aku berusaha mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan, dia justru balik memarahiku lebih keras.

 

Aku tidak mengerti. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Mengapa seolah aku yang berbuat kesalahan, karena justru Mas Sandy yang lebih emosi?

 

Karena hal itulah aku lantas memberikan silent treatment dengan tidak mengajak berbicara lebih dulu dan hanya menjawab seperlunya saat ditanya. Namun, Mas Sandy tetap saja tidak peka. Dia masih melakukan aktivitas seperti biasa dan tampak tidak terganggu sama sekali dengan aksi diamku. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya dia perhatian tidak sih denganku?

 

"Jangan lupa, VLog nanti bukan cuma penting buat image kamu, tapi juga karierku dan orang banyak," pesan Mas Sandy lagi.

 

Takk!!

 

Aku menaruh sendok cukup keras ke atas meja. Kulemparkan lirikan tak suka ke arah Mas Sandy. Aku sudah terlalu kesal padanya. Untunglah Naomi tidak menyadari atmosfer tidak menyenangkan di antara kami. Gadis kecilku itu masih asyik menjilati bekas bumbu ayam kecap di jemarinya yang jadi menu sarapan pagi ini.

 

"Mas, apa yang ada di pikiranmu itu cuma image dan karier aja?!" tanyaku ketus.

 

Mas Sandy mengangkat satu alis, tanda tak mengerti. Aku mendengkus melihat reaksinya.

 

"Bukannya kamu yang ngajarin supaya fokus kerja dan bangun image bagus biar cuan ngalir terus?"

 

Aku mendelik mendengar sindirannya. Memang benar, di awal-awal saat kuperkenalkan dengan dunia entertain, aku sering berpesan supaya Mas Sandy bisa bersikap profesional agar mendapat banyak tawaran job sehingga pemasukan mengalir. Tidak kusangka dia akan menggunakannya untuk menyerangku balik di saat seperti ini.

 

"Pokoknya kamu kudu bisa ngendaliin diri. VLog ini harus sukses. Ngerti?!"

 

Aku mencebik kesal, tetapi Mas Sandy lagi-lagi tak menghiraukan. Dia malah bangkit dan meninggalkan sarapannya yang masih separuh.

 

"Sudah! Aku berangkat dulu. Assalaamualaikum."

 

Tidak ada salim tangan, apalagi kecupan hangat di kening. Suamiku pergi begitu saja. Dia hanya sempat mengelus singkat kepala Naomi dan mengabaikanku yang masih dalam mode ngambek.

 

***

 

Meski masih ada rasa mengganjal di hati, pukul sepuluh tepat aku tetap membawa Naomi dan timku bertolak ke lokasi syuting sinetron "Setulus Cinta Kasih". Rencananya, kami akan membuat VLog kunjungan kejutan untuk Mas Sandy, meski tentu semua hanya setting-an. Malahan, ide pembuatan VLog kali ini datang dari dia, yang kemungkinan besar juga Mas Sandy dapatkan dari desakan rekan-rekan kerjanya.

 

Ya, sejak video Mas Sandy dan Sinta di gala premiere waktu itu membuat gempar, komentar-komentar miring mulai bermunculan. Tidak hanya ditujukan untuk mereka, bahkan aku juga terkena imbasnya. Ada saja orang yang menyeletuk bahwa sebagai wanita aku terlalu mandiri secara finansial dan dominan, sehingga suamiku merasa minder. Padahal apa salahnya menjadi wanita karier? Sampai kapan budaya patriarki mau dibiarkan melekat di masyarakat?

 

Gara-gara skandal tersebut, tentu membawa efek pula bagi pekerjaan Mas Sandy. Penonton film debutnya menurun, padahal sebelumnya promosi sudah dilakukan secara besar-besaran. Lebih-lebih sinetron yang dibintanginya bersama Sinta. Ratingnya turun drastis dan dipenuhi komentar julid. Yang rugi, tentu saja bukan hanya aku, Mas Sandy, dan Sinta, tetapi semua orang yang terlibat di dalamnya.

 

Oleh karena itulah aku tak sampai hati membiarkan semua berlarut dan menyetujui ide membuat VLog kejutan ini. Bagaimanapun juga, Mas Sandy masih suamiku, dan kewajiban seorang istri pula menutupi aib pasangannya. Meski itu berarti aku harus berdamai dengan segala rasa sakit dan kesal yang kurasakan.

 

"Kita sudah sampai, nih!"

 

Suara Aldo yang menjadi pengemudi rombongan kami membuyarkan lamunanku. Tidak lama kemudian, mesin mobil dimatikan. Satu per satu penumpang pun turun, termasuk aku dan Naomi.

 

"Nao, tunggu sini dulu, ya. Bunda mau bantu siap-siap," ucapku pada Naomi yang tampak asyik mengamati sekitar.

 

Aku lantas berbalik ke mobil dan membantu menurunkan beberapa peralatan syuting dan make up yang masih tersisa. Meski video yang direkam nanti 'hanya' diunggah di kanal Youtube, aku tidak mau jika hasilnya nanti seadanya. Semua peralatan itu aku butuhkan untuk menjamin pengambilan gambar dan suara yang jernih dan jelas. Aku juga memerlukan penata rias agar penampilanku tidak terlihat lusuh di kamera.

 

"Sudah diturunin semua, Kak. Ayo kita ke Kak Sandy," ajak Rina. Maksudnya untuk memberitahukan kalau tim kami sudah datang. Namun, aku buru-buru mencegahnya.

 

"Bentar, Rin! Aku mau benerin make up dulu." Lalu, aku beralih ke sosok perempuan yang ujung-ujung rambutnya dicat cokelat muda di sebelahku. "Tika, yuk ke mobil!"

 

Dengan bingung, Tika menjawab, "Lho, Kak, tadi kan udah make up-an sebelum berangkat."

 

"Udaah, yuk! Kamu kan udah saya bayar untuk ini!" tukasku dan Tika tak lagi memprotes. Aku pun menyeretnya masuk kembali ke mobil yang masih terbuka dan menutup pintunya rapat.

 

"Tolong benerin kerudungku yang bagus sama re-touch make up, ya. Kalau ada yang udah pudar, kamu tambahin lagi. Tapi jangan tebel-tebel!" perintahku memberi instruksi usai melepas jarum yang tersemat di kerudung bagian bawah daguku. Tika mengangguk cepat dan langsung mengeluarkan senjata—alat-alat riasnya.

 

Alasanku memaksa ingin di-make up lagi, tentu saja karena aku tidak mau kelihatan kalah cantik dibandingkan Sinta. Bisa ditebak, jika VLog-ku sudah diunggah nanti, pasti ada saja netizen yang akan mengomentari dan membanding-bandingkan paras kami berdua.

 

Lima belas menit kemudian, aku sudah keluar lagi dari mobil dengan tampilan yang lebih fresh dan beberapa semprotan minyak wangi di pakaian. Aku sudah siap mendatangi Mas Sandy dan sutradara yang membawahi sinetronnya, ketika kepalaku yang celingukan menyadari bahwa Naomi tidak kelihatan di sekitar.

 

"Naomi mana?" tanyaku pada para kru yang tadi menunggu di luar.

 

"Lho, kami kira sama Kak Ressa tadi di dalam," jawab salah satu dari mereka.

 

Kepanikan menyergapku seketika. Dengan ayunan kaki cepat, aku segera mencari sambil memanggil-manggil namanya. Namun, tidak ada respons dari putri kecilku. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh, sementara langkahku semakin dekat dengan lokasi syuting Mas Sandy.

 

"Naomi!!"

 

Refleks aku menjerit saat melihat apa yang hendak Naomi lakukan. Segera aku berlari sekencang-kencangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status