Share

4. Serba Setting-an

"Lain kali nggak usah lebay! Gitu aja pake teriak-teriak."

 

Tanganku berhenti mengusap kepala Naomi yang sudah duduk di pangkuanku. Mataku memicing, menatap Mas Sandy tidak suka.

 

Lebay katanya? Padahal beberapa saat yang lalu anaknya bisa saja sesak napas gara-gara disuapin kue cokelat oleh Sinta! Tapi kenapa malah aku yang dianggap berlebihan?

 

"Mas," panggilku penuh penekanan. "Naomi itu alergi cokelat. Kamu ingat, kan, dia dulu pernah masuk UGD gara-gara makan roti yang ada selai cokelatnya!"

 

Aku berusaha sekuat tenaga mengatur volume suaraku. Bagaimanapun juga, kami sekarang berada di tempat umum dan tidak baik menampilkan pertengkaran di depan orang banyak.

 

"Ya itu kan dulu. Siapa tahu sekarang udah enggak," jawab Mas Sandy enteng. Sampai-sampai mataku melotot, tak percaya dengan apa yang kudengar.

 

"Lagian Sinta mana tahu kalau Naomi alergi cokelat," imbuh dia lagi sambil mengalihkan pandangan.

 

Justru itu masalahnya! teriakku dalam hati. Kalau memang tidak tahu punya alergi atau tidak, jangan asal kasih makanan ke anak orang! Bisa fatal akibatnya!

 

Aku terus menekuk wajah. Mood-ku benar-benar ambyar dan hancur berantakan. Ditambah lagi, si Sinta tadi tidak kelihatan menyesal sama sekali. Benar sih, dia minta maaf. Tapi ekspresinya itu sungguh dibuat-buat sekali!

 

"Tim kamu udah siap? Kalo udah, dimulai sekarang aja bikin VLog-nya. Masih banyak adegan yang belum diambil di syutingku," kata Mas Sandy kemudian. Dia benar-benar tidak memedulikan bagaimana perasaanku. Bahkan sekadar berpura-pura peduli dan menenangkanku saja tidak!

 

Mas Sandy pergi meninggalkanku dan Naomi lebih dulu tanpa berkata apa-apa lagi. Dia berjalan menuju tempat para kru-nya berkumpul. Dari kejauhan, aku bisa melihat dia mendekati Sinta yang sedang duduk. Mas Sandy tampak mengajaknya bicara lebih dulu. Entah apa, barangkali dia memintakan maaf atas sikapku yang menurutnya berlebihan, tetapi keduanya terlihat akrab dan dekat.

 

Kutarik napas dalam dan mengembuskannya kuat-kuat. Rasa cemburu yang seenaknya datang membuat dadaku terasa panas. Namun, aku berusaha menepisnya jauh-jauh. Sejak awal aku mendorong Mas Sandy ke dunia akting, tentu risiko semacam ini sudah kuprediksi. Aku tidak mau termakan emosi buta dan mengacaukan segalanya. Yang terpenting, Mas Sandy adalah suamiku. Ayah dari anakku.

 

Setidaknya itu yang kutahu.

 

"Yuk, sayang! Kita juga siap-siap!" kataku pada Naomi sambil menurunkannya dari pangkuan. Lantas menggandeng gadis kecil itu agar ikut ke tempat timku sendiri.

 

***

 

"1 ... 2 ... 3 .... Action!"

 

"Halo, guys! Hari ini aku sama Naomi mau kasih kejutan ke Mas Sandy dengan dateng ke lokasi syutingnya tanpa bilang-bilang. Kira-kira gimana ya, reaksi suami aku? Penasaran, kan? Ikuti aku, yuk! Ssstt ..."

 

Aku mulai berakting dengan suara rendah, seolah sedang berbisik-bisik pada para penonton di kanal Youtube-ku nanti. Tidak lupa kulambaikan tangan juga seperti sedang memberi isyarat mereka agar mengikutiku yang berjalan mengendap-endap sambil satu tangan menggandeng Naomi.

 

"Eh, eh, lihat tuh, di sana Mas Sandy."

 

Aku menunjuk tempat Mas Sandy dan Alexa yang sedang beradu akting dan kamera yang dipegang Aldo otomatis mengarah ke mereka. Selang beberapa saat kemudian, Aldo kembali memfokuskan padaku.

 

"Kita kagetin, yuk! Satu ... dua ..."

 

Aku segera berlari kecil sambil tetap menggandeng Naomi. Aku yakin suara kegaduhan yang kuciptakan pasti sampai ke telinga Mas Sandy dan kru-nya. Namun, mereka semua bersikap seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Hingga akhirnya ...

 

"Doorr!!!" 

 

Aku berteriak kencang dengan ekspresi seriang mungkin. Respons yang kudapat setimpal. Mas Sandy terlonjak sambil beristigfar, sedangkan Sinta menjerit kecil. Akting keduanya tampak natural sekali.

 

"Ayang! Kok kamu di sini, sih? Ngaget-ngagetin aja!" celetuk Mas Sandy sambil tersenyum lebar. Tidak tampak sama sekali kemarahan di wajahnya.

 

Aku membalas pertanyaan itu dengan bibir melengkung, meski dalam hati terasa kecut. "Ayang", panggilan spesial di antara kami saat masih di awal-awal masa pernikahan dulu. Entah sudah berapa lama aku tidak mendengar panggilan itu keluar dari mulutnya. Sayang sekali aku baru bisa mendengarnya lagi dalam posisi sedang berakting seperti sekarang.

 

"Hehe, kaget, ya? Sengaja, kan aku mau kasih kejutan buat Ayang," balasku dengan nada manja.

 

Mas Sandy melirik ke sisi sebelahku dan makin tampak bahagia saat melihat Naomi. "Eh, ada putri cantik kesayangannya Ayah juga!" ucapnya sambil mengangkat Naomi tinggi-tinggi, lalu menggendongnya.

 

Pemandangan harmonis ala keluarga cemara itu tentu sangat manis. Sayang, semua hanya di depan kamera. Seandainya setiap hari interaksiku dan Mas Sandy bisa sehangat ini, tentu aku tidak perlu merasa waspada pada wanita di depanku.

 

"Ehem! Aduh, mentang-mentang ada istri sah, yang KW jadi dilupain!" celetuk Sinta yang berpura-pura batuk, demi mengambil perhatian. Dalam sinetron, dia memang berperan sebagai kekasih Mas Sandy.

 

"Eh, iya, nih! Sampe lupa kalau lagi syuting. Yuk, kenalan dulu," kata Mas Sandy seraya menggeser tubuhnya sehingga kini aku dan Sinta saling berhadapan.

 

"Mas ini gimana, sih?! Kita kan udah saling kenal, masa kenalan lagi!" protes Sinta sambil mendaratkan pukulan manja ke lengan atas Mas Sandy. Aku hanya tersenyum lebar menahan dongkol.

 

"Eh, iya. Lupa, lupa lagi! Aduuh ... gini, deh, grogi kalo didatengin anak-istri! Salaman dulu, biar makin akrab."

 

Aku menuruti perintah Mas Sandy dan menyambut Sinta yang lebih dulu mengulurkan tangan. Wanita itu kemudian sedikit menarikku supaya kami bisa ber-cipika-cipiki.

 

Baiklah, mungkin kontak fisik manis seperti ini dibutuhkan kamera supaya lebih meyakinkan penonton nanti bahwa hubungan kami benar-benar baik.

 

Dua jam berikutnya, kuhabiskan dengan berakting layaknya istri pengertian yang mendukung penuh pekerjaan suaminya. Tidak ketinggalan juga, adegan mengobrol sambil bercanda tawa dengan Sinta, demi menunjukkan keakraban kami.

 

Tentu saja dalam semua rekaman itu, aku yang berperan menjadi sosok 'rame' dan 'petakilan' sebagaimana image yang dikenal masyarakat selama ini. Sedangkan Sinta tampil layaknya wanita cantik yang elegan. Biasanya aku tidak masalah dengan hal itu. Namun, entah kenapa kali ini aku merasa kesal karena menurut pandanganku, Sinta tidak sungguhan baik, seperti apa yang ditampilkannya di depan kamera.

 

Usai seluruh adegan yang diperlukan diambil, aku pun mengambil tempat duduk bersama Naomi untuk beristirahat. Udara Jakarta yang panas seolah membakar tubuhku yang berkeringat. Untunglah Rina juga menyiapkan sebuah kipas tangan yang cukup lebar di atas meja. Sebab udara yang diembuskan oleh kipas angin besar di dekat kami nyatanya tidak mampu mengusir rasa gerah.

 

"Undaaa!" panggil Naomi tiba-tiba sambil menggoyang-goyang badanku yang baru bersandar ke punggung kursi.

 

"Ayah kok nggak duduk baleng kita, sih?" tanyanya kemudian.

 

Aku melemparkan pandangan ke arah Mas Sandy yang cukup jauh dari kami, sedang bersama para kru sinetronnya. Setelah Rina mengatakan 'cut' tadi, sikapnya langsung berubah ke setelan awal—cuek, dingin, dan tak peduli. Aku sebenarnya ingin pura-pura bodoh saja dengan hal itu, tetapi karena dia turut mengabaikan Naomi, rasanya hatiku jadi sakit sekali.

 

"Ayah masih kerja, Sayang," ucapku sambil membelai kepala Naomi, berusaha memberi pengertian. Sekesal apa pun aku pada Mas Sandy, aku tidak ingin Naomi terkena dampaknya. Bagaimanapun juga, aku ingin anakku tetap melihat ayahnya sebagai sosok yang baik.

 

Naomi mengerjap-ngerjap. Mata bulatnya tampak menggemaskan sekali saat menatapku lurus. Pertanda ada sesuatu hal yang sedang mengganggu pikirannya.

 

Benar saja, tidak lama setelah itu, Naomi mengajukan pertanyaan yang membuat sekujur tubuhku seolah kebas, tidak bisa merasakan aliran angin dari kipas mana pun.

 

"Tapi, Nda. Apa benel Ayah mau menikah sama Tante Sinta?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status