"Kalau gitu, nanti Nao punya Unda dua, dong. Asyikk!"
Aku melongo mendengar celotehan putriku. Bisa-bisanya dia bersorak senang saat tahu ayahnya akan menikah lagi. Ah, kurasa dia masih belum mengerti apa yang terjadi jika seorang suami memiliki dua istri sekaligus. Sebenarnya bukan hal yang salah, mengingat dalam agama poligami memang tidak dilarang. Namun, tentu harus memenuhi kriteria dan syarat-syaratnya. Di samping itu, sayang sekali sepertinya aku bukan termasuk istri yang bisa kuat dan ikhlas jika tahu suaminya memiliki madu. Haduh ... mikirin apa sih aku ini? Daripada itu, lebih baik aku bertanya saja pada Naomi, bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu. "Nao Sayang ... kok tanya gitu? Emang Nao dengar dari siapa?" "Dali Ayah," jawab anakku lugas. Perlu beberapa saat bagiku untuk mencerna perkataan Naomi. "Ooh ... " Lantas aku tersenyum lebar. "Itu cuma akting, Sayang." Dahi Naomi berkerut. "Akting?" "Iya, akting. Pura-pura. Kayak Bunda dan Naomi biasanya kalau Om Aldo pegang kamera itu loh ... Nggak beneran. Cuma bohongan," terangku berusaha menjelaskan. "Bohong?" gumamnya pelan, membeo ucapanku. Aku lantas mengangguk. Naomi terdiam sejenak. Tampak berpikir. "Kalau gitu waktu Ayah bilang sayang ke Unda dan Nao, juga bohong?" "Eh, nggak gitu konsepnya, Sayaang!" koreksiku cepat sambil mencubit pipi gembilnya gemas. "Ayah itu beneran sayang sama kita." Naomi menggaruk-garuk kepalanya dengan gaya imut. Meski sedang kebingungan, dia justru tampak lucu sehingga aku tertawa. "Udah, yuk, kita pulang! Syutingnya udah selesai. Nao pasti capek. Siapa yang mau makan terus bobok siang?" "Asyiikk!!" Sekali lagi putriku melompat kegirangan. Namun, untuk kali ini karena alasan yang tepat. *** Video VLog kejutan itu mendapat respons cukup bagus. Rating sinetron "Setulus Cinta Kasih" kembali naik dan mencapai puncaknya di akhir episode. Penjualan tiket film yang dibintangi Mas Sandy pun perlahan membaik sebelum habis masa edarnya di bioskop. Meski begitu, tetap saja ada netizen yang melempar komentar negatif padaku. Mereka bilang aku bodoh karena bersikap baik dan ramah pada Sinta yang digosipkan dengan suamiku. Ada juga yang mencibir kalau 'pura-pura tak melihat' ada batasnya. Maksudnya, aku tidak boleh tutup mata dengan hubungan rahasia yang mungkin terjalin antara Mas Sandy dan Sinta. Namun, aku mengabaikan itu semua. Memangnya siapa orang-orang itu yang sok tahu dengan kehidupan rumah tangga kami? Padahal aku yang istrinya Mas Sandy saja tidak menemukan bukti konkret kalau dia menyeleweng. Walau kuakui sikapnya memang tidak sehangat dulu, seperti saat di awal pernikahan kami. Bohong kalau bilang aku tidak merasa sedih. Namun, selama Mas Sandy masih menjalankan kewajibannya sebagai suami dan ayah, kurasa aku masih bisa menolerir sikap dinginnya itu. Aku juga masih berpegang teguh pada keyakinan kalau dia tetap setia padaku. Seperti janji yang diucapkannya saat ijab qabul dulu. "Mas, f*e syuting kamu udah cair?" tanyaku pada Mas Sandy saat kami sarapan bersama. Sudah seminggu sejak sinetron "Setulus Cinta Kasih" tamat. Harusnya pembayaran gaji para pemainnya sudah masuk ke rekening masing-masing. Namun, sampai detik ini Mas Sandy belum mengatakan apa-apa padaku. Mungkin dia lupa, pikirku mencoba ber-positive thinking. "Oh ya, dapat bonus juga nggak?" imbuhku lagi. Mengingat pada syuting judul sinetron lain sebelumnya, Mas Sandy mendapat bonus cukup banyak karena rating yang bagus. Padahal dia hanya mendapat peran pembantu di sana. Apalagi sekarang saat dia menjadi peran utama. Ditambah rating dan jumlah episode sinetron "Setulus Cinta Kasih" jauh lebih banyak daripada yang dulu. Seharusnya bonus yang didapat Mas Sandy lebih besar, bukan? "Kamu ini kenapa tanya-tanya soal duit, sih?!" tukas Mas Sandy tiba-tiba. Kentara sekali nada tidak suka dalam suaranya. "Aku tuh juga punya keperluan sendiri! Mau ngirimin orang tuaku, saudara-saudaraku di Palembang!" Volume suara Mas Sandy yang keras sontak membuatku terkejut. Padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah marah jika aku menanyakan penghasilannya. Dan bukankah wajar jika aku, sebagai istri, ingin tahu berapa uang yang diperoleh sang suami sehingga bisa mengatur dan merencanakan pengeluaran ke depannya? "Sudahlah! Kamu kan juga bisa dapat uang sendiri dari adsense channel kamu. Kalo masih kurang banyak, bikin aja konten lagi bareng Naomi. Naik jetski, kek, paralayang, kek. Yang modelan-modelan gitu pasti rame!" Rahangku rasanya hampir copot mendengar Mas Sandy berkata demikian. Bisa-bisanya dia punya pemikiran seperti itu! Padahal setelah aku membikin konten kontroversial naik boat dan bermain trampolin sambil menggendong Naomi yang masih berumur sembilan bulan dulu, channel Youtube dan media sosialku banyak diserang haters. Apa dia pikir aku ini Wonder Women yang punya hati terbuat dari besi dan baja, sehingga tidak merasa sakit saat membaca komentar-komentar jahat itu?! Tanpa bisa dihindari, emosiku pun tersulut. "Mas! Kamu ini bisa-bisanya, ya, ngomong kayak gitu?! Tugas menafkahi keluarga kan tanggung jawab kamu, Mas!" Mas Sandy justru tertawa hambar. "Oh, memangnya selama ini kamu anggap itu tanggung jawabku? Bukannya udah kamu ambil alih, soalnya duit yang kamu dapat sendiri lebih besar dari yang aku kasih?!" Bibirku terkatup seketika, saking tak bisanya aku berkata-kata. Namun, mataku yang terbuka lebar jelas masih mengobarkan api emosi. "Mau denial? Kamu kan, yang nyuruh aku keluar dari bank, padahal jabatanku saat itu udah bagus, bahkan ada rumor mau dipromosiin? Tapi apa?! Kamu bilang pendapatan dari jadi artis jauh lebih besar!" Aku sungguh kehilangan kata-kata. Lidahku kelu. Bukan karena tertampar fakta yang dilemparkannya ke hadapanku, tetapi dari pola pikir Mas Sandy yang jauh dari dugaanku. Apakah selama ini Mas Sandy berpikir seperti itu? Padahal tujuanku menyuruh dia keluar dari bank karena aku ingin Mas Sandy mencari pekerjaan lain yang tidak terlibat dengan riba, sehingga bisa memberi nafkah pada keluarganya dengan pendapatan yang lebih berkah. "Mas, kamu kok bilang gitu, sih?!" protesku dengan suara bergetar. Air mata sudah tidak bisa lagi terbendung dari mataku. Pandanganku terasa panas, efek dari gejolak emosi yang membakar di dada. "Aku tuh nyuruh kamu keluar karena—" Brakk!! "Berisik!" Mas Sandy berteriak tiba-tiba sambil menggebrak meja. Piring, gelas, dan peralatan makan lain di atasnya sampai turut bergetar. Aku pun ikut terlonjak kaget. "Kamu itu bikin selera makanku hilang aja!" Mas Sandy bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkanku begitu saja. Tidak lama berselang, terdengar suara deru mesin mobil di garasi yang kemudian hilang seiring kepergiannya dari rumah. Aku tidak tahu ke mana suamiku pergi. Padahal hari ini dia sedang tidak ada jadwal syuting apa pun.[Kok kontennya berdua terus? Suaminya mana, Kak Re?] [Kalo ngontennya selalu bawa anak gini, bisa masuk eksploitasi nggak, sih?] Aku mengembuskan napas lelah membaca komentar-komentar di video Youtube terbaruku. Padahal dalam VLog yang baru diunggah oleh timku, aku dan Naomi sedang bersenang-senang bersama membuat salad buah. Video itu menampilkan saat kami mulai pergi ke pasar, memilih buah, mengupas, memotong-motong, sampai mengolahnya menjadi semangkuk salad yang menggoda. Meski cukup melelahkan, tetapi sepanjang proses syuting waktu itu pun Naomi menikmatinya dengan ceria. Namun, yang namanya orang telanjur tidak suka, pasti akan terus mencari-cari cela orang lain.Ya, beginilah kehidupanku yang tak lepas dari sorot kamera. Menampilkan hal baik di depan kamera saja masih ada yang mencibir, apalagi kalau sampai terang-terangan kepergok berbuat salah. Rasanya seperti tidak ada yang aman, kecuali jika aku mengunci diri sendirian di rumah. Sedangkan begi
"Unda!" Aku sedikit terperanjat dari lamunan. Mataku mengerjap dan buru-buru mencari sumber suara. Senyumku otomatis melebar saat penglihatanku akhirnya menemukannya.Di belokan dekat kamar, gadis kecilku berlari menghampiri sambil membawa boneka beruang merah muda kesayangannya. Boneka itu adalah hadiah ulang tahun keempat Naomi yang kubelikan bersama Mas Sandy saat kami berjalan-jalan bersama ke Singapura tahun lalu. Saat itu, tentu saja suasana hangat di antara kami jauh berbeda dengan sekarang. Aku segera menyambut Naomi dengan merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan membawanya ke dalam pelukan. Dia balas melingkarkan kedua tangan mungilnya di leherku. "Nda, Ayah pelgi lagi yah?" tanyanya dengan nada sedih. Bola mata bulat Naomi yang biasanya tampak cerah kini sinarnya meredup. "Ayah kok seling pelgi-pelgi telus, sih, nggak ngajakin Nao? Nao kan pengen sama Ayah," rengeknya lagi. Kali ini bis
"Kak? Kak Ressa?!" Aku terlonjak kaget saat Rina tiba-tiba mengguncang lenganku. Secara refleks, aku segera menutup laptop dengan gestur panik."Eh-eh, iya. Iya, Rin. Ada apa?" responsku gelagapan. Aku benar-benar tidak sadar kalau saat ini masih berada di tengah meeting. Anehnya, malah aku yang gugup seperti takut ketahuan melakukan tindak kejahatan. Barangkali itu refleks yang normal dari seorang istri yang khawatir orang lain juga mencium 'ketidakberesan' dari suaminya."Lho, kok malah ditutup laptopnya, Kak? Email proposal kerjasama yang aku kirim, udah Kak Ressa periksa?" Rina menatapku bingung dengan kedua alis berkerut."O-oh, iya, Rin. Belum. Sorry, sorry. Lupa," kataku seraya membuka laptop kembali. Dari sudut mata, aku bisa melihat rekan-rekanku saling berpandangan."Apa ada masalah, Kak?" tanya Bunga terdengar khawatir.Tentu saja 'ya'! Andai aku bisa menjawab jujur seperti itu dengan percaya diri. Sayangnya masalah r
Mendadak tubuhku terasa pusing dan lemas. Aku tidak masalah jika memang vila tersebut untuk keperluan kerjaannya dan hanya kebetulan saja suamiku yang dimintai tolong untuk memesan vila tersebut—dengan memakai nama dan uang pribadinya terlebih dahulu. Namun, tentu aku akan merasa sangat terkhianati jika yang terjadi justru di luar dari prasangka baikku itu. Jangan sampai kamu menyewa vila itu untuk main gila di belakangku, Mas! teriak batinku geram. Tanpa sadar, tanganku mencengkeram tetikus erat-erat. Gambaran masa lalu tentang aku yang mengajari Mas Sandy berakting berkelebat di kepala, layaknya potongan adegan-adegan film yang terputar acak dan tak utuh. "Re, kamu yakin aku bisa jadi artis? Rasanya kok aku nggak berbakat, ya?" keluh Mas Sandy saat pertama aku mendesaknya untuk mencoba berakting sesuai transkrip yang kuberi. "Yakiin ... percaya, deh! Wajah kamu itu menjual banget lho, Mas. Good looking! Rugi kalau cuma di
Sinta Ayudia. Nama itu muncul lagi. Kali ini dari mulut Venita yang menjadi saksi melihat keberadaanya di kafe tadi sedang duduk santai sambil bercanda akrab dengan suamiku. Nama yang sama itu juga kudapati tercetak jelas pada tiket pesawat Jakarta-Denpasar di email Mas Sandy, bersandingan dengan tiket lain yang memuat nama suamiku. Aku menatap layar laptop di depanku dengan nanar, kedua tanganku mengepal. Kuabaikan rasa perih yang muncul akibat kuku-kuku jemariku terlalu dalam menancap di telapak tangan. Semakin aku mencoba mengenyahkan kecurigaan dari pikiran, semakin kuat pula rasa sesak yang menyeruak. Nama itu terus menghantuiku seperti bisikan halus yang berubah menjadi jeritan.Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan raut lelah. Sekali lagi, aku berusaha berpikir positif. Mungkin hubungan mereka tidak seperti yang aku khawatirkan. Mungkin Sinta hanyalah rekan kerja, mungkin mereka hanya sebatas teman. Tapi, setiap kali aku mencoba menguatkan hati, rasanya seperti
"Baru pulang, Mas?"Aku tidak menoleh saat mendengar pintu kamar berderit tertutup. Dalam remang-remang cahaya lampu tidur, sosoknya terhenti di depan pintu, seperti terkejut mendapati aku masih terjaga di tengah malam begini. Mas Sandy menoleh perlahan, menegakkan punggungnya seolah mencoba menjaga wibawa. Namun, tatapan dingin yang terbias di wajahnya tak lagi sama seperti dulu—ada sesuatu yang sudah hilang. Sejak aku mencium bau ketidakberesan ini, rasa hormatku padanya mulai memudar.“Ngapain belum tidur?” suaranya terdengar kaku, nyaris tanpa nada perhatian. Matanya mengerling ke arahku, seakan sedang menilai sesuatu, atau mungkin takut sesuatu terbongkar.Aku, yang sudah mengenakan gaun tidur satin tipis yang panjang, hanya tersenyum tipis. Kaki-kakiku melangkah perlahan mendekatinya. Setiap gerakanku anggun, seakan tak ada yang salah, padahal hati ini dipenuhi racun kecurigaan. Dari jarak sedekat ini, aroma parfum lain tercium samar dari tubuhnya, menempel di pakaiannya. Parfu
“Unda ngapain?” Suara Naomi terdengar lirih, memecah kesunyian kamar.Gadis kecil itu berdiri di ambang pintu, memeluk erat boneka beruang kesayangannya, berusaha memahami apa yang sedang aku lakukan dengan koper kecil yang terbuka di atas ranjang. Matanya yang bulat, penuh rasa ingin tahu, menatapku tanpa berkedip, seakan mencari jawaban di setiap gerakan tanganku yang sibuk melipat beberapa potong pakaian.Aku tetap diam, pura-pura tak mendengar pertanyaannya. Fokusku masih tertuju pada lipatan baju-baju yang kini mulai tertata rapi dalam koper. Suara kecil Naomi kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih tegas.“Unda mau pelgi ke mana?” tanyanya lagi.Aku bisa merasakan langkah kecilnya mendekat, melintasi karpet tebal yang menutupi lantai kayu kamar ini. Ruangan yang biasa terasa nyaman kini mulai terasa sesak oleh ketegangan yang perlahan merambat. Dalam kepalaku, berbagai pikiran berkecamuk, mencoba menyiapkan jawaban yang tak akan m
Sekitar tiga jam kemudian, aku sudah mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar. Udara Bali yang hangat langsung menyelimuti tubuhku begitu keluar dari pesawat. Meski masih memakai masker dan kacamata hitam, aku bisa merasakan hawa lembap tropis yang khas, bercampur dengan aroma minyak kelapa dari toko suvenir bandara. Namun, perhatianku bukan pada suasana liburan yang biasanya selalu kurindukan ini. Tidak, kali ini pikiranku sepenuhnya terfokus pada satu hal—mengikuti jejak Mas Sandy. Sejak turun dari taksi daring di Bandara Soekarno Hatta tadi, tak sekali pun aku melepas kacamata hitam dan masker yang kupakai. Rasanya, bahkan wajahku sendiri pun tak ingin kulihat di cermin. Ada ketakutan bahwa seseorang mungkin akan mengenaliku, atau lebih parah, seseorang akan tahu apa yang sedang kulakukan. Ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan diam-diam, penuh kebimbangan dan ketegangan. Pakaian yang kupilih pun sangat sederhana. Aku mengenakan k
"Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka
Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.
Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y
"Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam
Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"
Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s
Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak
Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg
"Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca