"Kalau gitu, nanti Nao punya Unda dua, dong. Asyikk!"
Aku melongo mendengar celotehan putriku. Bisa-bisanya dia bersorak senang saat tahu ayahnya akan menikah lagi. Ah, kurasa dia masih belum mengerti apa yang terjadi jika seorang suami memiliki dua istri sekaligus. Sebenarnya bukan hal yang salah, mengingat dalam agama poligami memang tidak dilarang. Namun, tentu harus memenuhi kriteria dan syarat-syaratnya. Di samping itu, sayang sekali sepertinya aku bukan termasuk istri yang bisa kuat dan ikhlas jika tahu suaminya memiliki madu. Haduh ... mikirin apa sih aku ini? Daripada itu, lebih baik aku bertanya saja pada Naomi, bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu. "Nao Sayang ... kok tanya gitu? Emang Nao dengar dari siapa?" "Dali Ayah," jawab anakku lugas. Perlu beberapa saat bagiku untuk mencerna perkataan Naomi. "Ooh ... " Lantas aku tersenyum lebar. "Itu cuma akting, Sayang." Dahi Naomi berkerut. "Akting?" "Iya, akting. Pura-pura. Kayak Bunda dan Naomi biasanya kalau Om Aldo pegang kamera itu loh ... Nggak beneran. Cuma bohongan," terangku berusaha menjelaskan. "Bohong?" gumamnya pelan, membeo ucapanku. Aku lantas mengangguk. Naomi terdiam sejenak. Tampak berpikir. "Kalau gitu waktu Ayah bilang sayang ke Unda dan Nao, juga bohong?" "Eh, nggak gitu konsepnya, Sayaang!" koreksiku cepat sambil mencubit pipi gembilnya gemas. "Ayah itu beneran sayang sama kita." Naomi menggaruk-garuk kepalanya dengan gaya imut. Meski sedang kebingungan, dia justru tampak lucu sehingga aku tertawa. "Udah, yuk, kita pulang! Syutingnya udah selesai. Nao pasti capek. Siapa yang mau makan terus bobok siang?" "Asyiikk!!" Sekali lagi putriku melompat kegirangan. Namun, untuk kali ini karena alasan yang tepat. *** Video VLog kejutan itu mendapat respons cukup bagus. Rating sinetron "Setulus Cinta Kasih" kembali naik dan mencapai puncaknya di akhir episode. Penjualan tiket film yang dibintangi Mas Sandy pun perlahan membaik sebelum habis masa edarnya di bioskop. Meski begitu, tetap saja ada netizen yang melempar komentar negatif padaku. Mereka bilang aku bodoh karena bersikap baik dan ramah pada Sinta yang digosipkan dengan suamiku. Ada juga yang mencibir kalau 'pura-pura tak melihat' ada batasnya. Maksudnya, aku tidak boleh tutup mata dengan hubungan rahasia yang mungkin terjalin antara Mas Sandy dan Sinta. Namun, aku mengabaikan itu semua. Memangnya siapa orang-orang itu yang sok tahu dengan kehidupan rumah tangga kami? Padahal aku yang istrinya Mas Sandy saja tidak menemukan bukti konkret kalau dia menyeleweng. Walau kuakui sikapnya memang tidak sehangat dulu, seperti saat di awal pernikahan kami. Bohong kalau bilang aku tidak merasa sedih. Namun, selama Mas Sandy masih menjalankan kewajibannya sebagai suami dan ayah, kurasa aku masih bisa menolerir sikap dinginnya itu. Aku juga masih berpegang teguh pada keyakinan kalau dia tetap setia padaku. Seperti janji yang diucapkannya saat ijab qabul dulu. "Mas, f*e syuting kamu udah cair?" tanyaku pada Mas Sandy saat kami sarapan bersama. Sudah seminggu sejak sinetron "Setulus Cinta Kasih" tamat. Harusnya pembayaran gaji para pemainnya sudah masuk ke rekening masing-masing. Namun, sampai detik ini Mas Sandy belum mengatakan apa-apa padaku. Mungkin dia lupa, pikirku mencoba ber-positive thinking. "Oh ya, dapat bonus juga nggak?" imbuhku lagi. Mengingat pada syuting judul sinetron lain sebelumnya, Mas Sandy mendapat bonus cukup banyak karena rating yang bagus. Padahal dia hanya mendapat peran pembantu di sana. Apalagi sekarang saat dia menjadi peran utama. Ditambah rating dan jumlah episode sinetron "Setulus Cinta Kasih" jauh lebih banyak daripada yang dulu. Seharusnya bonus yang didapat Mas Sandy lebih besar, bukan? "Kamu ini kenapa tanya-tanya soal duit, sih?!" tukas Mas Sandy tiba-tiba. Kentara sekali nada tidak suka dalam suaranya. "Aku tuh juga punya keperluan sendiri! Mau ngirimin orang tuaku, saudara-saudaraku di Palembang!" Volume suara Mas Sandy yang keras sontak membuatku terkejut. Padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah marah jika aku menanyakan penghasilannya. Dan bukankah wajar jika aku, sebagai istri, ingin tahu berapa uang yang diperoleh sang suami sehingga bisa mengatur dan merencanakan pengeluaran ke depannya? "Sudahlah! Kamu kan juga bisa dapat uang sendiri dari adsense channel kamu. Kalo masih kurang banyak, bikin aja konten lagi bareng Naomi. Naik jetski, kek, paralayang, kek. Yang modelan-modelan gitu pasti rame!" Rahangku rasanya hampir copot mendengar Mas Sandy berkata demikian. Bisa-bisanya dia punya pemikiran seperti itu! Padahal setelah aku membikin konten kontroversial naik boat dan bermain trampolin sambil menggendong Naomi yang masih berumur sembilan bulan dulu, channel Youtube dan media sosialku banyak diserang haters. Apa dia pikir aku ini Wonder Women yang punya hati terbuat dari besi dan baja, sehingga tidak merasa sakit saat membaca komentar-komentar jahat itu?! Tanpa bisa dihindari, emosiku pun tersulut. "Mas! Kamu ini bisa-bisanya, ya, ngomong kayak gitu?! Tugas menafkahi keluarga kan tanggung jawab kamu, Mas!" Mas Sandy justru tertawa hambar. "Oh, memangnya selama ini kamu anggap itu tanggung jawabku? Bukannya udah kamu ambil alih, soalnya duit yang kamu dapat sendiri lebih besar dari yang aku kasih?!" Bibirku terkatup seketika, saking tak bisanya aku berkata-kata. Namun, mataku yang terbuka lebar jelas masih mengobarkan api emosi. "Mau denial? Kamu kan, yang nyuruh aku keluar dari bank, padahal jabatanku saat itu udah bagus, bahkan ada rumor mau dipromosiin? Tapi apa?! Kamu bilang pendapatan dari jadi artis jauh lebih besar!" Aku sungguh kehilangan kata-kata. Lidahku kelu. Bukan karena tertampar fakta yang dilemparkannya ke hadapanku, tetapi dari pola pikir Mas Sandy yang jauh dari dugaanku. Apakah selama ini Mas Sandy berpikir seperti itu? Padahal tujuanku menyuruh dia keluar dari bank karena aku ingin Mas Sandy mencari pekerjaan lain yang tidak terlibat dengan riba, sehingga bisa memberi nafkah pada keluarganya dengan pendapatan yang lebih berkah. "Mas, kamu kok bilang gitu, sih?!" protesku dengan suara bergetar. Air mata sudah tidak bisa lagi terbendung dari mataku. Pandanganku terasa panas, efek dari gejolak emosi yang membakar di dada. "Aku tuh nyuruh kamu keluar karena—" Brakk!! "Berisik!" Mas Sandy berteriak tiba-tiba sambil menggebrak meja. Piring, gelas, dan peralatan makan lain di atasnya sampai turut bergetar. Aku pun ikut terlonjak kaget. "Kamu itu bikin selera makanku hilang aja!" Mas Sandy bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkanku begitu saja. Tidak lama berselang, terdengar suara deru mesin mobil di garasi yang kemudian hilang seiring kepergiannya dari rumah. Aku tidak tahu ke mana suamiku pergi. Padahal hari ini dia sedang tidak ada jadwal syuting apa pun.[Kok kontennya berdua terus? Suaminya mana, Kak Re?] [Kalo ngontennya selalu bawa anak gini, bisa masuk eksploitasi nggak, sih?] Aku mengembuskan napas lelah membaca komentar-komentar di video Youtube terbaruku. Padahal dalam VLog yang baru diunggah oleh timku, aku dan Naomi sedang bersenang-senang bersama membuat salad buah. Video itu menampilkan saat kami mulai pergi ke pasar, memilih buah, mengupas, memotong-motong, sampai mengolahnya menjadi semangkuk salad yang menggoda. Meski cukup melelahkan, tetapi sepanjang proses syuting waktu itu pun Naomi menikmatinya dengan ceria. Namun, yang namanya orang telanjur tidak suka, pasti akan terus mencari-cari cela orang lain.Ya, beginilah kehidupanku yang tak lepas dari sorot kamera. Menampilkan hal baik di depan kamera saja masih ada yang mencibir, apalagi kalau sampai terang-terangan kepergok berbuat salah. Rasanya seperti tidak ada yang aman, kecuali jika aku mengunci diri sendirian di rumah. Sedangkan begi
"Unda!" Aku sedikit terperanjat dari lamunan. Mataku mengerjap dan buru-buru mencari sumber suara. Senyumku otomatis melebar saat penglihatanku akhirnya menemukannya.Di belokan dekat kamar, gadis kecilku berlari menghampiri sambil membawa boneka beruang merah muda kesayangannya. Boneka itu adalah hadiah ulang tahun keempat Naomi yang kubelikan bersama Mas Sandy saat kami berjalan-jalan bersama ke Singapura tahun lalu. Saat itu, tentu saja suasana hangat di antara kami jauh berbeda dengan sekarang. Aku segera menyambut Naomi dengan merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan membawanya ke dalam pelukan. Dia balas melingkarkan kedua tangan mungilnya di leherku. "Nda, Ayah pelgi lagi yah?" tanyanya dengan nada sedih. Bola mata bulat Naomi yang biasanya tampak cerah kini sinarnya meredup. "Ayah kok seling pelgi-pelgi telus, sih, nggak ngajakin Nao? Nao kan pengen sama Ayah," rengeknya lagi. Kali ini bis
"Kak? Kak Ressa?!" Aku terlonjak kaget saat Rina tiba-tiba mengguncang lenganku. Secara refleks, aku segera menutup laptop dengan gestur panik."Eh-eh, iya. Iya, Rin. Ada apa?" responsku gelagapan. Aku benar-benar tidak sadar kalau saat ini masih berada di tengah meeting. Anehnya, malah aku yang gugup seperti takut ketahuan melakukan tindak kejahatan. Barangkali itu refleks yang normal dari seorang istri yang khawatir orang lain juga mencium 'ketidakberesan' dari suaminya."Lho, kok malah ditutup laptopnya, Kak? Email proposal kerjasama yang aku kirim, udah Kak Ressa periksa?" Rina menatapku bingung dengan kedua alis berkerut."O-oh, iya, Rin. Belum. Sorry, sorry. Lupa," kataku seraya membuka laptop kembali. Dari sudut mata, aku bisa melihat rekan-rekanku saling berpandangan."Apa ada masalah, Kak?" tanya Bunga terdengar khawatir.Tentu saja 'ya'! Andai aku bisa menjawab jujur seperti itu dengan percaya diri. Sayangnya masalah r
Mendadak tubuhku terasa pusing dan lemas. Aku tidak masalah jika memang vila tersebut untuk keperluan kerjaannya dan hanya kebetulan saja suamiku yang dimintai tolong untuk memesan vila tersebut—dengan memakai nama dan uang pribadinya terlebih dahulu. Namun, tentu aku akan merasa sangat terkhianati jika yang terjadi justru di luar dari prasangka baikku itu. Jangan sampai kamu menyewa vila itu untuk main gila di belakangku, Mas! teriak batinku geram. Tanpa sadar, tanganku mencengkeram tetikus erat-erat. Gambaran masa lalu tentang aku yang mengajari Mas Sandy berakting berkelebat di kepala, layaknya potongan adegan-adegan film yang terputar acak dan tak utuh. "Re, kamu yakin aku bisa jadi artis? Rasanya kok aku nggak berbakat, ya?" keluh Mas Sandy saat pertama aku mendesaknya untuk mencoba berakting sesuai transkrip yang kuberi. "Yakiin ... percaya, deh! Wajah kamu itu menjual banget lho, Mas. Good looking! Rugi kalau cuma di
Sinta Ayudia. Nama itu muncul lagi. Kali ini dari mulut Venita yang menjadi saksi melihat keberadaanya di kafe tadi sedang duduk santai sambil bercanda akrab dengan suamiku. Nama yang sama itu juga kudapati tercetak jelas pada tiket pesawat Jakarta-Denpasar di email Mas Sandy, bersandingan dengan tiket lain yang memuat nama suamiku. Aku menatap layar laptop di depanku dengan nanar, kedua tanganku mengepal. Kuabaikan rasa perih yang muncul akibat kuku-kuku jemariku terlalu dalam menancap di telapak tangan. Semakin aku mencoba mengenyahkan kecurigaan dari pikiran, semakin kuat pula rasa sesak yang menyeruak. Nama itu terus menghantuiku seperti bisikan halus yang berubah menjadi jeritan.Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan raut lelah. Sekali lagi, aku berusaha berpikir positif. Mungkin hubungan mereka tidak seperti yang aku khawatirkan. Mungkin Sinta hanyalah rekan kerja, mungkin mereka hanya sebatas teman. Tapi, setiap kali aku mencoba menguatkan hati, rasanya seperti
"Baru pulang, Mas?"Aku tidak menoleh saat mendengar pintu kamar berderit tertutup. Dalam remang-remang cahaya lampu tidur, sosoknya terhenti di depan pintu, seperti terkejut mendapati aku masih terjaga di tengah malam begini. Mas Sandy menoleh perlahan, menegakkan punggungnya seolah mencoba menjaga wibawa. Namun, tatapan dingin yang terbias di wajahnya tak lagi sama seperti dulu—ada sesuatu yang sudah hilang. Sejak aku mencium bau ketidakberesan ini, rasa hormatku padanya mulai memudar.“Ngapain belum tidur?” suaranya terdengar kaku, nyaris tanpa nada perhatian. Matanya mengerling ke arahku, seakan sedang menilai sesuatu, atau mungkin takut sesuatu terbongkar.Aku, yang sudah mengenakan gaun tidur satin tipis yang panjang, hanya tersenyum tipis. Kaki-kakiku melangkah perlahan mendekatinya. Setiap gerakanku anggun, seakan tak ada yang salah, padahal hati ini dipenuhi racun kecurigaan. Dari jarak sedekat ini, aroma parfum lain tercium samar dari tubuhnya, menempel di pakaiannya. Parfu
“Unda ngapain?” Suara Naomi terdengar lirih, memecah kesunyian kamar.Gadis kecil itu berdiri di ambang pintu, memeluk erat boneka beruang kesayangannya, berusaha memahami apa yang sedang aku lakukan dengan koper kecil yang terbuka di atas ranjang. Matanya yang bulat, penuh rasa ingin tahu, menatapku tanpa berkedip, seakan mencari jawaban di setiap gerakan tanganku yang sibuk melipat beberapa potong pakaian.Aku tetap diam, pura-pura tak mendengar pertanyaannya. Fokusku masih tertuju pada lipatan baju-baju yang kini mulai tertata rapi dalam koper. Suara kecil Naomi kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih tegas.“Unda mau pelgi ke mana?” tanyanya lagi.Aku bisa merasakan langkah kecilnya mendekat, melintasi karpet tebal yang menutupi lantai kayu kamar ini. Ruangan yang biasa terasa nyaman kini mulai terasa sesak oleh ketegangan yang perlahan merambat. Dalam kepalaku, berbagai pikiran berkecamuk, mencoba menyiapkan jawaban yang tak akan m
Sekitar tiga jam kemudian, aku sudah mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar. Udara Bali yang hangat langsung menyelimuti tubuhku begitu keluar dari pesawat. Meski masih memakai masker dan kacamata hitam, aku bisa merasakan hawa lembap tropis yang khas, bercampur dengan aroma minyak kelapa dari toko suvenir bandara. Namun, perhatianku bukan pada suasana liburan yang biasanya selalu kurindukan ini. Tidak, kali ini pikiranku sepenuhnya terfokus pada satu hal—mengikuti jejak Mas Sandy. Sejak turun dari taksi daring di Bandara Soekarno Hatta tadi, tak sekali pun aku melepas kacamata hitam dan masker yang kupakai. Rasanya, bahkan wajahku sendiri pun tak ingin kulihat di cermin. Ada ketakutan bahwa seseorang mungkin akan mengenaliku, atau lebih parah, seseorang akan tahu apa yang sedang kulakukan. Ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan diam-diam, penuh kebimbangan dan ketegangan. Pakaian yang kupilih pun sangat sederhana. Aku mengenakan k