"Kak? Kak Ressa?!"
Aku terlonjak kaget saat Rina tiba-tiba mengguncang lenganku. Secara refleks, aku segera menutup laptop dengan gestur panik."Eh-eh, iya. Iya, Rin. Ada apa?" responsku gelagapan. Aku benar-benar tidak sadar kalau saat ini masih berada di tengah meeting. Anehnya, malah aku yang gugup seperti takut ketahuan melakukan tindak kejahatan. Barangkali itu refleks yang normal dari seorang istri yang khawatir orang lain juga mencium 'ketidakberesan' dari suaminya."Lho, kok malah ditutup laptopnya, Kak? Email proposal kerjasama yang aku kirim, udah Kak Ressa periksa?" Rina menatapku bingung dengan kedua alis berkerut."O-oh, iya, Rin. Belum. Sorry, sorry. Lupa," kataku seraya membuka laptop kembali. Dari sudut mata, aku bisa melihat rekan-rekanku saling berpandangan."Apa ada masalah, Kak?" tanya Bunga terdengar khawatir.Tentu saja 'ya'! Andai aku bisa menjawab jujur seperti itu dengan percaya diri. Sayangnya masalah rMendadak tubuhku terasa pusing dan lemas. Aku tidak masalah jika memang vila tersebut untuk keperluan kerjaannya dan hanya kebetulan saja suamiku yang dimintai tolong untuk memesan vila tersebut—dengan memakai nama dan uang pribadinya terlebih dahulu. Namun, tentu aku akan merasa sangat terkhianati jika yang terjadi justru di luar dari prasangka baikku itu. Jangan sampai kamu menyewa vila itu untuk main gila di belakangku, Mas! teriak batinku geram. Tanpa sadar, tanganku mencengkeram tetikus erat-erat. Gambaran masa lalu tentang aku yang mengajari Mas Sandy berakting berkelebat di kepala, layaknya potongan adegan-adegan film yang terputar acak dan tak utuh. "Re, kamu yakin aku bisa jadi artis? Rasanya kok aku nggak berbakat, ya?" keluh Mas Sandy saat pertama aku mendesaknya untuk mencoba berakting sesuai transkrip yang kuberi. "Yakiin ... percaya, deh! Wajah kamu itu menjual banget lho, Mas. Good looking! Rugi kalau cuma di
Sinta Ayudia. Nama itu muncul lagi. Kali ini dari mulut Venita yang menjadi saksi melihat keberadaanya di kafe tadi sedang duduk santai sambil bercanda akrab dengan suamiku. Nama yang sama itu juga kudapati tercetak jelas pada tiket pesawat Jakarta-Denpasar di email Mas Sandy, bersandingan dengan tiket lain yang memuat nama suamiku. Aku menatap layar laptop di depanku dengan nanar, kedua tanganku mengepal. Kuabaikan rasa perih yang muncul akibat kuku-kuku jemariku terlalu dalam menancap di telapak tangan. Semakin aku mencoba mengenyahkan kecurigaan dari pikiran, semakin kuat pula rasa sesak yang menyeruak. Nama itu terus menghantuiku seperti bisikan halus yang berubah menjadi jeritan.Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan raut lelah. Sekali lagi, aku berusaha berpikir positif. Mungkin hubungan mereka tidak seperti yang aku khawatirkan. Mungkin Sinta hanyalah rekan kerja, mungkin mereka hanya sebatas teman. Tapi, setiap kali aku mencoba menguatkan hati, rasanya seperti
"Baru pulang, Mas?"Aku tidak menoleh saat mendengar pintu kamar berderit tertutup. Dalam remang-remang cahaya lampu tidur, sosoknya terhenti di depan pintu, seperti terkejut mendapati aku masih terjaga di tengah malam begini. Mas Sandy menoleh perlahan, menegakkan punggungnya seolah mencoba menjaga wibawa. Namun, tatapan dingin yang terbias di wajahnya tak lagi sama seperti dulu—ada sesuatu yang sudah hilang. Sejak aku mencium bau ketidakberesan ini, rasa hormatku padanya mulai memudar.“Ngapain belum tidur?” suaranya terdengar kaku, nyaris tanpa nada perhatian. Matanya mengerling ke arahku, seakan sedang menilai sesuatu, atau mungkin takut sesuatu terbongkar.Aku, yang sudah mengenakan gaun tidur satin tipis yang panjang, hanya tersenyum tipis. Kaki-kakiku melangkah perlahan mendekatinya. Setiap gerakanku anggun, seakan tak ada yang salah, padahal hati ini dipenuhi racun kecurigaan. Dari jarak sedekat ini, aroma parfum lain tercium samar dari tubuhnya, menempel di pakaiannya. Parfu
“Unda ngapain?” Suara Naomi terdengar lirih, memecah kesunyian kamar.Gadis kecil itu berdiri di ambang pintu, memeluk erat boneka beruang kesayangannya, berusaha memahami apa yang sedang aku lakukan dengan koper kecil yang terbuka di atas ranjang. Matanya yang bulat, penuh rasa ingin tahu, menatapku tanpa berkedip, seakan mencari jawaban di setiap gerakan tanganku yang sibuk melipat beberapa potong pakaian.Aku tetap diam, pura-pura tak mendengar pertanyaannya. Fokusku masih tertuju pada lipatan baju-baju yang kini mulai tertata rapi dalam koper. Suara kecil Naomi kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih tegas.“Unda mau pelgi ke mana?” tanyanya lagi.Aku bisa merasakan langkah kecilnya mendekat, melintasi karpet tebal yang menutupi lantai kayu kamar ini. Ruangan yang biasa terasa nyaman kini mulai terasa sesak oleh ketegangan yang perlahan merambat. Dalam kepalaku, berbagai pikiran berkecamuk, mencoba menyiapkan jawaban yang tak akan m
Sekitar tiga jam kemudian, aku sudah mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar. Udara Bali yang hangat langsung menyelimuti tubuhku begitu keluar dari pesawat. Meski masih memakai masker dan kacamata hitam, aku bisa merasakan hawa lembap tropis yang khas, bercampur dengan aroma minyak kelapa dari toko suvenir bandara. Namun, perhatianku bukan pada suasana liburan yang biasanya selalu kurindukan ini. Tidak, kali ini pikiranku sepenuhnya terfokus pada satu hal—mengikuti jejak Mas Sandy. Sejak turun dari taksi daring di Bandara Soekarno Hatta tadi, tak sekali pun aku melepas kacamata hitam dan masker yang kupakai. Rasanya, bahkan wajahku sendiri pun tak ingin kulihat di cermin. Ada ketakutan bahwa seseorang mungkin akan mengenaliku, atau lebih parah, seseorang akan tahu apa yang sedang kulakukan. Ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan diam-diam, penuh kebimbangan dan ketegangan. Pakaian yang kupilih pun sangat sederhana. Aku mengenakan k
"Sudah sampai alamatnya, Kak."Sopir taksi memberhentikan mobil di tepi jalan yang cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor. Di luar sana, suara klakson bersahutan dengan deru mesin yang memenuhi udara, sementara matahari yang terik mulai turun menuju cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye lembut. Aku memandang keluar, menatap bangunan yang menjadi tujuanku dengan perasaan campur aduk.Tanganku meremas erat pegangan tas yang ada di pangkuan, mencoba mengusir rasa cemas yang terus menggelayut sejak tadi. Ketika pintu taksi terbuka, udara panas menyapa kulitku, tetapi bukan itu yang membuat dadaku sesak—melainkan bayangan kemungkinan bahwa aku akan menemukan sesuatu yang selama ini kutakutkan. Sementara sopir taksi bergegas menurunkan koperku dari bagasi, aku diam-diam menarik napas dalam, berusaha menenangkan pikiran. Aku butuh fokus. Ini bukan waktu yang tepat untuk tenggelam dalam emosi. Semua ini adalah bagian dari rencana yang sudah k
"Jalan Bungur I, gang Melati nomor 54. Vila 'Enchantez'. Bener kan?"Dari kursi penumpang, aku melirik pria yang bertanya itu lewat pantulan kaca spion tengah. Tepat saat dia juga melirikku sehingga tatapan kami bertemu. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapannya—entah rasa penasaran, atau mungkin sekadar kebiasaan orang asing yang belum terlalu akrab denganku. Tapi dalam situasi ini, setiap lirikan terasa mencurigakan.Aku segera membuang muka ke arah jendela, memilih untuk memandangi pemandangan yang berderet di luar. Deretan toko-toko kecil dan rumah-rumah sederhana berlalu satu per satu. Bayangan pepohonan yang meneduhkan jalan raya seolah tidak mampu meredakan ketegangan dalam hatiku. Angin yang berembus dari ventilasi mobil terasa dingin, tapi itu tak cukup menenangkan perasaanku. Dengan nada malas, aku menjawab, "Ya."Suara tawa tertahan terdengar lolos dari mulut Feri. Tawa yang samar tapi jelas terasa mengusik. Aku menoleh lagi hanya untuk m
"Sebenarnya kita ngapain sih di sini?!"Feri mendaratkan tinjunya ringan pada setir, suaranya menyiratkan rasa kesal. Tampak jelas bahwa dia sudah kehilangan kesabaran setelah tiga jam berdiam di sini tanpa ada pergerakan berarti. Bahkan dari tadi, setiap kali dia mengajakku bicara, aku hanya menjawab sekenanya, lebih banyak diam, dan larut dalam pikiranku sendiri. Aku mulai mengerti, Feri bukan tipe orang yang tahan dalam situasi seperti ini. Maka tak heran jika pria itu mulai gelisah dan merasa bosan. "Kalau emang itu tempat penginapan kamu, masuk aja kali. Saya janji nggak bakal ngapa-ngapain kok. Saya bakal tetap stay di mobil. Kalau perlu saya bakal tidur di pos ronda terdekat." Nada suaranya yang biasanya santai, kini terdengar seperti merengek di telingaku, seolah dia berusaha memancing respons lebih dari sekadar diam dariku.Aku tetap tak bergeming. Mata menatap lurus ke depan, meski pandanganku tak fokus."Siapa suruh mau ikut?