Share

6. Tekanan dari Luar

[Kok kontennya berdua terus? Suaminya mana, Kak Re?]

[Kalo ngontennya selalu bawa anak gini, bisa masuk eksploitasi nggak, sih?]

Aku mengembuskan napas lelah membaca komentar-komentar di video Youtube terbaruku. Padahal dalam VLog yang baru diunggah oleh timku, aku dan Naomi sedang bersenang-senang bersama membuat salad buah. Video itu menampilkan saat kami mulai pergi ke pasar, memilih buah, mengupas, memotong-motong, sampai mengolahnya menjadi semangkuk salad yang menggoda. Meski cukup melelahkan, tetapi sepanjang proses syuting waktu itu pun Naomi menikmatinya dengan ceria. Namun, yang namanya orang telanjur tidak suka, pasti akan terus mencari-cari cela orang lain.

Ya, beginilah kehidupanku yang tak lepas dari sorot kamera. Menampilkan hal baik di depan kamera saja masih ada yang mencibir, apalagi kalau sampai terang-terangan kepergok berbuat salah. Rasanya seperti tidak ada yang aman, kecuali jika aku mengunci diri sendirian di rumah. Sedangkan begitu keluar atau berinteraksi dengan orang lain, seolah ada kamera tak kasatmata yang terus menyorot tindak-tandukku.

Sebenarnya memiliki haters bukanlah hal baru dalam hidupku, lebih-lebih semenjak jadi influencer terkenal. Aku pun sudah kenyang makan nyinyiran netizen, bukan cuma sekali-dua kali ini. Aku mencoba tidak ambil pusing dan berlindung di balik kalimat afirmasi positif, "Namanya juga orang hidup, sebaik apa pun pasti akan ada yang tidak suka." Hanya saja, belakangan ini kadarnya semakin intens sehingga cukup membuat khawatir akan berpengaruh pada job yang masuk. Tidak hanya itu, kku pun bukan robot yang bisa terus-menerus membutakan mata dan menulikan telinga. Kata-kata toxic itu sedikit banyak mulai mempengaruhi mentalku yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.

"Kak Re, respons penonton akhir-akhir ini kurang bagus. Yang nonton video kita juga nggak sebanyak dulu," ungkap Rina di tengah acara meeting tim. Seperti biasanya, dalam seminggu aku dan anggota timku mengadakan rapat tiga sampai lima kali untuk membicarakan hasil kinerja kami dan rancangan proyek selanjutnya. Tentu di luar keperluan untuk syuting.

Aku mendengkus. Tanpa Rina beri tahu pun, aku sudah tahu karena selalu mengecek channel YouTube dan media sosialku sendiri.

"Apa kita perlu bikin VLog kontroversial kayak dulu lagi, ya?" usul Aldo. Dia memang hampir sama lamanya dengan Rina bekerja bersamaku sehingga tahu betul sepak terjangku mulai dari awal merambah dunia influencer sampai sekarang. Beberapa kali kami membuat video kontroversi yang bikin heboh masyarakat, seperti membuang slime ke lubang kloset pesawat jet pribadi, bikin sesi pemotretan di tengah kemacetan perempatan jalan, sampai mengajak bayi Naomi yang masih berumur 6 bulan naik flying fox. Namun, untuk kali ini aku langsung menggeleng tegas.

"Nggak! Nggak! Ide itu mungkin bisa dongkrak viewer kita secara cepat, tapi nggak bertahan lama. Justru impact-nya setelah itu malah makin banyak haters dan mungkin juga yang unsubscribs channel kita," kataku memberi pandangan. Tentu aku masih ingat betul bagaimana netizen menyerangku usai merilis video-video kontroversi itu. Aku jadi harus meminta maaf dan klarifikasi sana-sini. Memang sih, dampaknya aku jadi banjir job dan dapat penghasilan banyak, tapi efek secara psikologisnya itu, lho! Aku tidak yakin diriku sekarang akan mampu menghadapinya.

Membuat kontroversi memang bisa bikin cepat tenar. Namun, jika terlalu banyak menciptakan sensasi, seorang influencer atau selebritis papan atas pun bisa berbalik jadi musuh masyarakat. Inilah yang kuamati dari dunia entertainment. Aldo dan rekan-rekan lain pun tampaknya setuju dengan pendapatku, melihat gerakan kepala mereka yang mengangguk-angguk.

"Kalau gitu, ada lagi yang punya ide lain, nggak?" Rina melempar pertanyaan itu dengan nada putus asa.

Semua yang ada di ruangan terdiam. Masing-masing berusaha memutar otak demi menemukan ide konten yang kreatif. Kuakui, aku sendiri pun sudah buntu. Ditambah lagi masalah dengan Mas Sandy membuat beban pikiranku semakin bertambah.

Tiba-tiba Rina yang duduk di sebelah kananku menyenggol sikuku yang terlipat di atas meja.

"Kak, Kak, kalau ngajakin Kak Sandy ikut VLog kita bisa nggak, ya? Kayaknya itu yang lagi ditunggu orang-orang," katanya dengan suara setengah berbisik.

Aku langsung menggeleng. "Nggak bisa, Rin. Susah. Mas Sandy sekarang sibuk orangnya," kilahku. Padahal jelas itu hanya alasan. Setahuku Mas Sandy belum menandatangani proyek kerja sama apa pun lagi. Namun, meski begitu dia tetap keluar rumah setiap hari.

Jangankan mengajak ikut tampil di VLog-ku. Sudah tiga harian ini kami tidak saling berbicara. Lebih tepatnya, sejak pertengkaran di meja makan yang membahas soal f*e syutingnya waktu itu.

Mengingatnya membuat dadaku sesak. Bukankah hal yang wajar jika seorang istri menanyakan gaji suaminya? Meski aku sendiri juga bekerja dan menghasilkan uang, tentu aku tidak akan menolak jika Mas Sandy memberiku nafkah, sebagai bentuk penghormatan kepadanya yang merupakan kepala keluarga. Selama ini aku tidak pernah mempermasalahkan pendapatanku yang jauh lebih besar. Mas Sandy pun seharusnya juga mengetahui hal itu. Padahal dulu saat ia masih bekerja di bank, secara rutin dia menyampaikan berapa gaji yang ia peroleh dan menjelaskan pula secara rinci rencana pengeluaran-pengeluarannya. Aku cukup mendengarkan dan tidak keberatan atas apa pun. Mengapa sekarang dia tiba-tiba berubah?

Aku merasa tidak salah—tentu saja seperti yang aku bilang tadi, wajar kan istri bertanya soal gaji suaminya? Maka dari itu aku ogah meminta maaf duluan. Bukan perkara gengsi, tapi aku berharap Mas Sandy peka dan bisa menghargai bagaimana perasaanku.

Sayang, kurasa Mas Sandy pun memiliki pemikiran yang sama denganku. Atau justru sebenarnya dia tidak peduli, mau aku marah, ngambek, atau apa pun?! Buktinya dia sama sekali tidak mengirimkan pesan atau menelepon saat aku mendiamkannya sekarang. Aku juga tidak tahu ke mana laki-laki itu pergi setiap hari.

"Duuuh ... gimana ini, ya? Buntu!" Aku sedikit terperanjat saat Bunga, salah satu anggota timku yang lain yang bertugas mengedit video, tiba-tiba mengeluarkan keluhannya. Total enam orang di ruangan itu masih tetap membisu sambil sesekali saling melempar pandangan.

Aku menggeleng, berusaha menepis pikiran soal permasalahan rumah tanggaku dari kepala. Di saat seperti ini seharusnya aku memikirkan tentang pekerjaan terlebih dahulu.

"Coba cari-cari ide di internet dulu, deh! Bentar, ya, aku mau ambil laptop dulu di kamar," pamitku seraya meninggalkan ruang meeting. Tentunya pertemuan kali ini pun dilakukan di rumahku, sehingga aku bebas pergi-pergi sesuka hati.

Kuayunkan langkah menyusuri koridor yang lengang menuju kamar. Rumah besar ini terasa sepi, apalagi jika rekan-rekan timku sudah pulang. Hanya ada aku dan Naomi, serta Mbak Mala dan dua ART lain. Sementara Mas Sandy yang semakin jarang pulang membuatnya terasa kian hampa.

Aku mendesah lelah. Mengapa kehidupan rumah tanggaku jadi seperti ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status