[Kok kontennya berdua terus? Suaminya mana, Kak Re?]
[Kalo ngontennya selalu bawa anak gini, bisa masuk eksploitasi nggak, sih?] Aku mengembuskan napas lelah membaca komentar-komentar di video Youtube terbaruku. Padahal dalam VLog yang baru diunggah oleh timku, aku dan Naomi sedang bersenang-senang bersama membuat salad buah. Video itu menampilkan saat kami mulai pergi ke pasar, memilih buah, mengupas, memotong-motong, sampai mengolahnya menjadi semangkuk salad yang menggoda. Meski cukup melelahkan, tetapi sepanjang proses syuting waktu itu pun Naomi menikmatinya dengan ceria. Namun, yang namanya orang telanjur tidak suka, pasti akan terus mencari-cari cela orang lain. Ya, beginilah kehidupanku yang tak lepas dari sorot kamera. Menampilkan hal baik di depan kamera saja masih ada yang mencibir, apalagi kalau sampai terang-terangan kepergok berbuat salah. Rasanya seperti tidak ada yang aman, kecuali jika aku mengunci diri sendirian di rumah. Sedangkan begitu keluar atau berinteraksi dengan orang lain, seolah ada kamera tak kasatmata yang terus menyorot tindak-tandukku. Sebenarnya memiliki haters bukanlah hal baru dalam hidupku, lebih-lebih semenjak jadi influencer terkenal. Aku pun sudah kenyang makan nyinyiran netizen, bukan cuma sekali-dua kali ini. Aku mencoba tidak ambil pusing dan berlindung di balik kalimat afirmasi positif, "Namanya juga orang hidup, sebaik apa pun pasti akan ada yang tidak suka." Hanya saja, belakangan ini kadarnya semakin intens sehingga cukup membuat khawatir akan berpengaruh pada job yang masuk. Tidak hanya itu, kku pun bukan robot yang bisa terus-menerus membutakan mata dan menulikan telinga. Kata-kata toxic itu sedikit banyak mulai mempengaruhi mentalku yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. "Kak Re, respons penonton akhir-akhir ini kurang bagus. Yang nonton video kita juga nggak sebanyak dulu," ungkap Rina di tengah acara meeting tim. Seperti biasanya, dalam seminggu aku dan anggota timku mengadakan rapat tiga sampai lima kali untuk membicarakan hasil kinerja kami dan rancangan proyek selanjutnya. Tentu di luar keperluan untuk syuting. Aku mendengkus. Tanpa Rina beri tahu pun, aku sudah tahu karena selalu mengecek channel YouTube dan media sosialku sendiri. "Apa kita perlu bikin VLog kontroversial kayak dulu lagi, ya?" usul Aldo. Dia memang hampir sama lamanya dengan Rina bekerja bersamaku sehingga tahu betul sepak terjangku mulai dari awal merambah dunia influencer sampai sekarang. Beberapa kali kami membuat video kontroversi yang bikin heboh masyarakat, seperti membuang slime ke lubang kloset pesawat jet pribadi, bikin sesi pemotretan di tengah kemacetan perempatan jalan, sampai mengajak bayi Naomi yang masih berumur 6 bulan naik flying fox. Namun, untuk kali ini aku langsung menggeleng tegas. "Nggak! Nggak! Ide itu mungkin bisa dongkrak viewer kita secara cepat, tapi nggak bertahan lama. Justru impact-nya setelah itu malah makin banyak haters dan mungkin juga yang unsubscribs channel kita," kataku memberi pandangan. Tentu aku masih ingat betul bagaimana netizen menyerangku usai merilis video-video kontroversi itu. Aku jadi harus meminta maaf dan klarifikasi sana-sini. Memang sih, dampaknya aku jadi banjir job dan dapat penghasilan banyak, tapi efek secara psikologisnya itu, lho! Aku tidak yakin diriku sekarang akan mampu menghadapinya. Membuat kontroversi memang bisa bikin cepat tenar. Namun, jika terlalu banyak menciptakan sensasi, seorang influencer atau selebritis papan atas pun bisa berbalik jadi musuh masyarakat. Inilah yang kuamati dari dunia entertainment. Aldo dan rekan-rekan lain pun tampaknya setuju dengan pendapatku, melihat gerakan kepala mereka yang mengangguk-angguk. "Kalau gitu, ada lagi yang punya ide lain, nggak?" Rina melempar pertanyaan itu dengan nada putus asa. Semua yang ada di ruangan terdiam. Masing-masing berusaha memutar otak demi menemukan ide konten yang kreatif. Kuakui, aku sendiri pun sudah buntu. Ditambah lagi masalah dengan Mas Sandy membuat beban pikiranku semakin bertambah. Tiba-tiba Rina yang duduk di sebelah kananku menyenggol sikuku yang terlipat di atas meja. "Kak, Kak, kalau ngajakin Kak Sandy ikut VLog kita bisa nggak, ya? Kayaknya itu yang lagi ditunggu orang-orang," katanya dengan suara setengah berbisik. Aku langsung menggeleng. "Nggak bisa, Rin. Susah. Mas Sandy sekarang sibuk orangnya," kilahku. Padahal jelas itu hanya alasan. Setahuku Mas Sandy belum menandatangani proyek kerja sama apa pun lagi. Namun, meski begitu dia tetap keluar rumah setiap hari. Jangankan mengajak ikut tampil di VLog-ku. Sudah tiga harian ini kami tidak saling berbicara. Lebih tepatnya, sejak pertengkaran di meja makan yang membahas soal f*e syutingnya waktu itu. Mengingatnya membuat dadaku sesak. Bukankah hal yang wajar jika seorang istri menanyakan gaji suaminya? Meski aku sendiri juga bekerja dan menghasilkan uang, tentu aku tidak akan menolak jika Mas Sandy memberiku nafkah, sebagai bentuk penghormatan kepadanya yang merupakan kepala keluarga. Selama ini aku tidak pernah mempermasalahkan pendapatanku yang jauh lebih besar. Mas Sandy pun seharusnya juga mengetahui hal itu. Padahal dulu saat ia masih bekerja di bank, secara rutin dia menyampaikan berapa gaji yang ia peroleh dan menjelaskan pula secara rinci rencana pengeluaran-pengeluarannya. Aku cukup mendengarkan dan tidak keberatan atas apa pun. Mengapa sekarang dia tiba-tiba berubah? Aku merasa tidak salah—tentu saja seperti yang aku bilang tadi, wajar kan istri bertanya soal gaji suaminya? Maka dari itu aku ogah meminta maaf duluan. Bukan perkara gengsi, tapi aku berharap Mas Sandy peka dan bisa menghargai bagaimana perasaanku. Sayang, kurasa Mas Sandy pun memiliki pemikiran yang sama denganku. Atau justru sebenarnya dia tidak peduli, mau aku marah, ngambek, atau apa pun?! Buktinya dia sama sekali tidak mengirimkan pesan atau menelepon saat aku mendiamkannya sekarang. Aku juga tidak tahu ke mana laki-laki itu pergi setiap hari. "Duuuh ... gimana ini, ya? Buntu!" Aku sedikit terperanjat saat Bunga, salah satu anggota timku yang lain yang bertugas mengedit video, tiba-tiba mengeluarkan keluhannya. Total enam orang di ruangan itu masih tetap membisu sambil sesekali saling melempar pandangan. Aku menggeleng, berusaha menepis pikiran soal permasalahan rumah tanggaku dari kepala. Di saat seperti ini seharusnya aku memikirkan tentang pekerjaan terlebih dahulu. "Coba cari-cari ide di internet dulu, deh! Bentar, ya, aku mau ambil laptop dulu di kamar," pamitku seraya meninggalkan ruang meeting. Tentunya pertemuan kali ini pun dilakukan di rumahku, sehingga aku bebas pergi-pergi sesuka hati. Kuayunkan langkah menyusuri koridor yang lengang menuju kamar. Rumah besar ini terasa sepi, apalagi jika rekan-rekan timku sudah pulang. Hanya ada aku dan Naomi, serta Mbak Mala dan dua ART lain. Sementara Mas Sandy yang semakin jarang pulang membuatnya terasa kian hampa. Aku mendesah lelah. Mengapa kehidupan rumah tanggaku jadi seperti ini?"Unda!" Aku sedikit terperanjat dari lamunan. Mataku mengerjap dan buru-buru mencari sumber suara. Senyumku otomatis melebar saat penglihatanku akhirnya menemukannya.Di belokan dekat kamar, gadis kecilku berlari menghampiri sambil membawa boneka beruang merah muda kesayangannya. Boneka itu adalah hadiah ulang tahun keempat Naomi yang kubelikan bersama Mas Sandy saat kami berjalan-jalan bersama ke Singapura tahun lalu. Saat itu, tentu saja suasana hangat di antara kami jauh berbeda dengan sekarang. Aku segera menyambut Naomi dengan merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan membawanya ke dalam pelukan. Dia balas melingkarkan kedua tangan mungilnya di leherku. "Nda, Ayah pelgi lagi yah?" tanyanya dengan nada sedih. Bola mata bulat Naomi yang biasanya tampak cerah kini sinarnya meredup. "Ayah kok seling pelgi-pelgi telus, sih, nggak ngajakin Nao? Nao kan pengen sama Ayah," rengeknya lagi. Kali ini bis
"Kak? Kak Ressa?!" Aku terlonjak kaget saat Rina tiba-tiba mengguncang lenganku. Secara refleks, aku segera menutup laptop dengan gestur panik."Eh-eh, iya. Iya, Rin. Ada apa?" responsku gelagapan. Aku benar-benar tidak sadar kalau saat ini masih berada di tengah meeting. Anehnya, malah aku yang gugup seperti takut ketahuan melakukan tindak kejahatan. Barangkali itu refleks yang normal dari seorang istri yang khawatir orang lain juga mencium 'ketidakberesan' dari suaminya."Lho, kok malah ditutup laptopnya, Kak? Email proposal kerjasama yang aku kirim, udah Kak Ressa periksa?" Rina menatapku bingung dengan kedua alis berkerut."O-oh, iya, Rin. Belum. Sorry, sorry. Lupa," kataku seraya membuka laptop kembali. Dari sudut mata, aku bisa melihat rekan-rekanku saling berpandangan."Apa ada masalah, Kak?" tanya Bunga terdengar khawatir.Tentu saja 'ya'! Andai aku bisa menjawab jujur seperti itu dengan percaya diri. Sayangnya masalah r
Mendadak tubuhku terasa pusing dan lemas. Aku tidak masalah jika memang vila tersebut untuk keperluan kerjaannya dan hanya kebetulan saja suamiku yang dimintai tolong untuk memesan vila tersebut—dengan memakai nama dan uang pribadinya terlebih dahulu. Namun, tentu aku akan merasa sangat terkhianati jika yang terjadi justru di luar dari prasangka baikku itu. Jangan sampai kamu menyewa vila itu untuk main gila di belakangku, Mas! teriak batinku geram. Tanpa sadar, tanganku mencengkeram tetikus erat-erat. Gambaran masa lalu tentang aku yang mengajari Mas Sandy berakting berkelebat di kepala, layaknya potongan adegan-adegan film yang terputar acak dan tak utuh. "Re, kamu yakin aku bisa jadi artis? Rasanya kok aku nggak berbakat, ya?" keluh Mas Sandy saat pertama aku mendesaknya untuk mencoba berakting sesuai transkrip yang kuberi. "Yakiin ... percaya, deh! Wajah kamu itu menjual banget lho, Mas. Good looking! Rugi kalau cuma di
Sinta Ayudia. Nama itu muncul lagi. Kali ini dari mulut Venita yang menjadi saksi melihat keberadaanya di kafe tadi sedang duduk santai sambil bercanda akrab dengan suamiku. Nama yang sama itu juga kudapati tercetak jelas pada tiket pesawat Jakarta-Denpasar di email Mas Sandy, bersandingan dengan tiket lain yang memuat nama suamiku. Aku menatap layar laptop di depanku dengan nanar, kedua tanganku mengepal. Kuabaikan rasa perih yang muncul akibat kuku-kuku jemariku terlalu dalam menancap di telapak tangan. Semakin aku mencoba mengenyahkan kecurigaan dari pikiran, semakin kuat pula rasa sesak yang menyeruak. Nama itu terus menghantuiku seperti bisikan halus yang berubah menjadi jeritan.Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan raut lelah. Sekali lagi, aku berusaha berpikir positif. Mungkin hubungan mereka tidak seperti yang aku khawatirkan. Mungkin Sinta hanyalah rekan kerja, mungkin mereka hanya sebatas teman. Tapi, setiap kali aku mencoba menguatkan hati, rasanya seperti
"Baru pulang, Mas?"Aku tidak menoleh saat mendengar pintu kamar berderit tertutup. Dalam remang-remang cahaya lampu tidur, sosoknya terhenti di depan pintu, seperti terkejut mendapati aku masih terjaga di tengah malam begini. Mas Sandy menoleh perlahan, menegakkan punggungnya seolah mencoba menjaga wibawa. Namun, tatapan dingin yang terbias di wajahnya tak lagi sama seperti dulu—ada sesuatu yang sudah hilang. Sejak aku mencium bau ketidakberesan ini, rasa hormatku padanya mulai memudar.“Ngapain belum tidur?” suaranya terdengar kaku, nyaris tanpa nada perhatian. Matanya mengerling ke arahku, seakan sedang menilai sesuatu, atau mungkin takut sesuatu terbongkar.Aku, yang sudah mengenakan gaun tidur satin tipis yang panjang, hanya tersenyum tipis. Kaki-kakiku melangkah perlahan mendekatinya. Setiap gerakanku anggun, seakan tak ada yang salah, padahal hati ini dipenuhi racun kecurigaan. Dari jarak sedekat ini, aroma parfum lain tercium samar dari tubuhnya, menempel di pakaiannya. Parfu
“Unda ngapain?” Suara Naomi terdengar lirih, memecah kesunyian kamar.Gadis kecil itu berdiri di ambang pintu, memeluk erat boneka beruang kesayangannya, berusaha memahami apa yang sedang aku lakukan dengan koper kecil yang terbuka di atas ranjang. Matanya yang bulat, penuh rasa ingin tahu, menatapku tanpa berkedip, seakan mencari jawaban di setiap gerakan tanganku yang sibuk melipat beberapa potong pakaian.Aku tetap diam, pura-pura tak mendengar pertanyaannya. Fokusku masih tertuju pada lipatan baju-baju yang kini mulai tertata rapi dalam koper. Suara kecil Naomi kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih tegas.“Unda mau pelgi ke mana?” tanyanya lagi.Aku bisa merasakan langkah kecilnya mendekat, melintasi karpet tebal yang menutupi lantai kayu kamar ini. Ruangan yang biasa terasa nyaman kini mulai terasa sesak oleh ketegangan yang perlahan merambat. Dalam kepalaku, berbagai pikiran berkecamuk, mencoba menyiapkan jawaban yang tak akan m
Sekitar tiga jam kemudian, aku sudah mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar. Udara Bali yang hangat langsung menyelimuti tubuhku begitu keluar dari pesawat. Meski masih memakai masker dan kacamata hitam, aku bisa merasakan hawa lembap tropis yang khas, bercampur dengan aroma minyak kelapa dari toko suvenir bandara. Namun, perhatianku bukan pada suasana liburan yang biasanya selalu kurindukan ini. Tidak, kali ini pikiranku sepenuhnya terfokus pada satu hal—mengikuti jejak Mas Sandy. Sejak turun dari taksi daring di Bandara Soekarno Hatta tadi, tak sekali pun aku melepas kacamata hitam dan masker yang kupakai. Rasanya, bahkan wajahku sendiri pun tak ingin kulihat di cermin. Ada ketakutan bahwa seseorang mungkin akan mengenaliku, atau lebih parah, seseorang akan tahu apa yang sedang kulakukan. Ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah perjalanan diam-diam, penuh kebimbangan dan ketegangan. Pakaian yang kupilih pun sangat sederhana. Aku mengenakan k
"Sudah sampai alamatnya, Kak."Sopir taksi memberhentikan mobil di tepi jalan yang cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor. Di luar sana, suara klakson bersahutan dengan deru mesin yang memenuhi udara, sementara matahari yang terik mulai turun menuju cakrawala, mewarnai langit dengan semburat oranye lembut. Aku memandang keluar, menatap bangunan yang menjadi tujuanku dengan perasaan campur aduk.Tanganku meremas erat pegangan tas yang ada di pangkuan, mencoba mengusir rasa cemas yang terus menggelayut sejak tadi. Ketika pintu taksi terbuka, udara panas menyapa kulitku, tetapi bukan itu yang membuat dadaku sesak—melainkan bayangan kemungkinan bahwa aku akan menemukan sesuatu yang selama ini kutakutkan. Sementara sopir taksi bergegas menurunkan koperku dari bagasi, aku diam-diam menarik napas dalam, berusaha menenangkan pikiran. Aku butuh fokus. Ini bukan waktu yang tepat untuk tenggelam dalam emosi. Semua ini adalah bagian dari rencana yang sudah k