"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.
Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kamu makan pakai sayur saja. Itu daging ayamnya untuk Mbakmu," ucap Nenek, sembari melirikku sekilas. Aku yang baru saja hendak menyendokkan nasi hanya mengangguk mengiyakan. Sudah biasa bagiku diperlakukan seperti ini oleh Nenek. Wanita paruh baya itu memang selalu lebih mengasihi Mbak Neni, kakak sepupuku yang tinggal di samping rumah Nenek. Sejak kecil, aku memang di asuh oleh Nenek, Ibu dari Bapak. Semua itu dikarenakan Bapak yang sudah menikah lagi, dan ibuku meninggal dunia saat aku berusia lima tahun. Bapak tidak mau membawaku ikut tinggal bersamanya. Ia takut direpotkan olehku yang pada saat itu masih kecil. Bapak lebih memilih berbahagia bersama istri barunya tanpaku. Makanya, Nenek dengan terpaksa mengurusku. Mengapa kukatakan terpaksa? Karena itulah ucapan yang sering dilontarkan oleh Nenek. Katanya, aku hanya menyusahkan dia saja selama ini. Seandainya Nenek dari Ibuku masih ada, mungkin ia akan memberikanku pada Nenek dari Ibuku. Sayangnya, ibuku adalah yatim piatu
Ucapan Nenek sungguh sangat mengiris hatiku. Bulir-bulir bening jatuh mengenai wajahku. Saat ini aku sudah berada di kamar. Setelah ucapan Nenek yang menyakitkan itu terlontar dari bibirnya, aku langsung berlari ke kamar dan mengurung diri. Nenek hanya mencibirku dan mengatakan aku cengeng. Aku tau jika selama ini aku tidak diinginkan oleh Nenek. Tapi, kenapa Nenek tega mengatakan itu. Apakah semua yang kulakukan selama ini tidak pernah berarti di mata Nenek?Aku sudah berusaha untuk tidak menyusahkan Nenek. Sejak usiaku sepuluh tahun, aku sudah ikut tetangga bekerja apa saja di kebunnya. Dari mulai mengutip singkong, mengutip kacang, dan apapun itu yang bisa menghasilkan uang untuk bisa membeli keperluan sekolahku.Sedikitpun, aku tidak pernah meminta Nenek untuk membelikan buku, walau hanya satu lembar saja. Aku tahu diri. Aku sudah tidak diinginkan oleh Bapakku, dan hanya nenek yang mau menerimaku. Aku sudah sangat bersyukur dan selalu berusaha untuk tidak menyusahkannya.Tapi, te
"Karena Ibu nggak tau seberapa ukuran jarimu, hari ini kita ke toko emas, ya," ucap Bu Sari yang sudah datang ke rumah Nenek pagi-pagi sekali. Bagaimana tidak pagi-pagi sekali. Ini baru pukul delapan pagi. Dan Bu Sari sudah datang bersama supirnya.Sudah dua minggu sejak Bu Sari pertama kali berkunjung ke rumah Nenek. Aku pikir, perjodohan ini dibatalkan. Karena, setelah ucapan Mbak Neni yang terkesan merendahkan. Bu Sari tak lama memutuskan untuk pulang. Dan sejak saat itu, tidak ada lagi kabar dari mereka tentang perjodohan ini. Tapi ternyata semua tetap berjalan sesuai rencana mereka. "Kok malah ngelamun. Ayo, kita pergi sekarang," ucap Bu Sari lagi seraya memegang pundakku dan mengguncangkannya pelan. "Tapi, Bu, saya ganti baju dulu, ya," tawarku, melihat pakaian yang kupakai sungguh sangat memprihatinkan. Warnanya sudah memudar. Aku sengaja memakai pakaian ini karena hendak pergi kerja. Tak kusangka, ternyata harus batal karena kedatangan Bu Sari. Tadi, ia sempat ngobrol sebe
"Mbak, awas air liurnya jatuh," bisikku saat melihat air yang hampir terjatuh di sudut bibir Mbak Neni. Gadis berkulit putih itu segera tersadar. Ia menutup mulutnya lalu membenarkan posisi berdirinya. "Cuma segitu doang. Nanti, nih, ya. Aku akan minta yang lebih banyak sama calon suamiku. Lagian, dapat dari mana uang sebanyak itu, Bu? Awas saja nanti kalau setelah menikah sepupu saya ini sibuk bekerja, dan merepotkan Nenek saya. Nggak sudi kami menerima dia lagi." Mbak Neni berbicara dengan sangat ketus pada Bu Sari. Tidak sopan sekali dia. Padahal dia lebih terpelajar dibandingkan aku. "Kamu tenang saja. Saya tidak akan membiarkan menantu saya ini, kembali merepotkan kalian. Saat dia sudah menikah dengan anak saya. Maka tanggung jawab dia sudah beralih pada anak saya dan juga saya. Asal jangan kebalik saja nanti. Kau yang malah merepotkan menantu saya," ucapan Bu Sari langsung memukul telak Mbak Neni. Dia melengos tak suka seraya membuang pandang. "Ini, Bu. Terimakasih sudah be
"Ayo, kita cari makanan. Ibu laper, nih," ajak Ibu seraya menggandeng lenganku. Bu Sari tak lagi mempedulikan kakak sepupuku itu. Kasihan juga Mbak Neni. Pasti dia malu kalau sampai tidak jadi membeli semua pakaian yang sudah dipilih olehnya. Dia itu paling pantang kalau sudah memilih sesuatu tapi tidak dibelinya. Apa yang sudah ditunjuk, biasanya selalu dibayar olehnya. "Bu, jangan begitu dong. Ini belanjaanku gimana?" teriak Mbak Neni yang kebingungan. Aku bisa melihat dia bolak-balik melihat ke arah bajunya dan ke arah kami. Dia pasti sangat menginginkan pakaian itu. Antara ingin tertawa dan juga sedih melihat Mbak Neni seperti itu. "Kalau kamu nggak punya uang, ya, tinggalkan saja! Gitu aja kok repot," sahut Ibu tak mau ambil pusing dengan urusan Mbak Neni.Duh, gimana ya? Aku nggak mungkin meminta calon mertuaku ini untuk membayarnya. Belanjaan untukku saja sudah sebanyak itu. Apalagi kalau ditambah barang Mbak Neni. Mau habis berapa lagi. "Ayo, Nak. Sudah, biarkan saja Mba
Pov Neni. "Ini sih bukan kainnya yang jelek. Tapi badan Mbak Neni saja yang kayak Singa laut," gumam Sarah dan masih dapat kudengar. "Apa kamu bilang? Kamu ngatain aku kayak singa laut?" bentakku tak terima dibilang Singa laut. Enak saja dia mengataiku singa laut. Tubuh indah seperti Meghan Trainor begini kok dikatain Singa laut. Huuuhh, dasar Lisa bungkring! Body sepertiku ini yang banyak dicari kaum laki-laki. Tidak seperti dia, hanya lung-lit-lut. Iya, tulang, kulit, kentut. "Ehh, nggak kok, Mbak. Ini bajunya ada gambar Singa laut-nya," jawabnya gelagapangelagapan sambil nyengir tidak merasa bersalah. "Mana gambar singa lautnya? Kamu pikir Mbakmu ini rabun? Itu tuh, gambar Gajah terbang!" sungutku dan menatapnya tajam. Dia pikir aku bodoh. Baju itu semuanya sudah kucoba, dan tak ada gambar singa laut seperti ucapannya. Dia pasti memang berniat mengataiku."Eh, iya. Aku pikir gambar Singa, Mbak." Sarah terlihat salah tingkah, sambil menggaruk kepalanya yang berkutu. Entahlah
Loh, loh, loh. Kok jadi dia yang mau minjam uang sama aku? Bukannya selama ini dia sudah banyak uang? Duh, aku kok jadi galau, ya? Apa jangan-jangan dia mau menipuku?"Maaf, Mas. Adek, tidak punya uang sebanyak itu. Mas, kan, tau sendiri kalau selama ini, Adek belum kerja." Aku mencoba mencari alasan. Ya, walaupun pada kenyataannya aku memang pengangguran dan tidak punya uang sebanyak itu. Tapi, jika meminta pada Nenek, pasti akan diusahakan olehnya. "Hmmm, gimana ini, ya, Dek. Padahal, semua ini Mas lakukan juga untuk Adek. Agar nanti, Adek bisa bilang pada teman-teman kalau calon suami adek, adalah tentara yang sudah berpangkat." Mas Fajar terdengar menghembuskan napas panjang. "Selama ini, sebelum mengenal Dek Neni, Mas juga sudah sering mendapatkan tawaran ini. Tapi selalu Mas tolak. Toh, Mas saat itu belum punya calon istri. Untuk apa berpangkat kalau calon istri saja belum punya. Dan sekarang, setelah mengenal Dek Neni, Mas jadi ingin membuat Dek Neni bahagia dengan membangg