Share

Bab 4

"Mbak, awas air liurnya jatuh," bisikku saat melihat air yang hampir terjatuh di sudut bibir Mbak Neni. 

Gadis berkulit putih itu segera tersadar. Ia menutup mulutnya lalu membenarkan posisi berdirinya. 

"Cuma segitu doang. Nanti, nih, ya. Aku akan minta yang lebih banyak sama calon suamiku. Lagian, dapat dari mana uang sebanyak itu, Bu? Awas saja nanti kalau setelah menikah sepupu saya ini sibuk bekerja, dan merepotkan Nenek saya. Nggak sudi kami menerima dia lagi." Mbak Neni berbicara dengan sangat ketus pada Bu Sari. 

Tidak sopan sekali dia. Padahal dia lebih terpelajar dibandingkan aku. 

"Kamu tenang saja. Saya tidak akan membiarkan menantu saya ini, kembali merepotkan kalian. Saat dia sudah menikah dengan anak saya. Maka tanggung jawab dia sudah beralih pada anak saya dan juga saya. Asal jangan kebalik saja nanti. Kau yang malah merepotkan menantu saya," ucapan Bu Sari langsung memukul telak Mbak Neni. Dia melengos tak suka seraya membuang pandang. 

"Ini, Bu. Terimakasih sudah berbelanja di toko kami," ucap pelayan toko setelah menyerahkan barang yang dibeli Bu Sari. 

"Iya, sama-sama." Bu Sari menerima dompet berukuran sedikit besar yang isinya adalah emas yang telah dibeli. 

Seumur-umur, baru kali ini aku menemani orang membeli emas dan dalam jumlah yang lumayan banyak. Biasanya, aku cuma menemani Nenek yang hanya membeli satu atau dua gram. Itu juga bukan untukku, melainkan untuk Nenek atau untuk Mbak Neni, dan Miska adik dari Mbak Neni. 

Sementara aku, tidak pernah sekalipun dibelikan emas. Bahkan antingku ini saja hanya pemberian Ibuku sedari aku kecil. 

"Kita, ke toko baju, yuk!" ajak Bu Sari saat kami baru saja keluar dari toko emas. 

Wanita paruh baya berwajah teduh itu menggandeng lenganku dan membiarkan Mbak Neni mengekor dengan mulut komat-kamit ngedumel tak jelas. 

"Kamu, kalau capek silahkan pulang. Kami masih lama lagi di pasar," ucap Bu Sari seakan mengusir Mbak Neni dari rombongan. 

"Terus, saya pulang naik apa? Kan Ibu tau sendiri tadi saya baru bangun tidur, nggak bawa dompet. Jadi sudah jelas nggak bawa uang dong. Mau dari mana bayar tukang ojeknya?" sungut Mbak Neni. 

"Ya, jalan kaki. Kamu punya kaki kan? Emang kamu lahir ke dunia ini naik motor atau mobil? Enggak kan! Di kasih kaki, ya, jalan pakai kaki dong!" omel Bu Sari dengan suara tidak sukanya. 

Wanita sebaik dan seramah Bu Sari, bisa juga seketus itu bila berhadapan dengan Mbak Neni. Aku nggak bisa ngebayangin, seandainya Mbak Neni yang jadi menantunya. Apakah setiap hari akan ada perdebatan seperti ini? 

"Lagian, nih, ya. Salah kamu sendiri. Kenapa bangun tidur bukannya mandi dulu baru pergi? Ini, iler juga masih berantakan, belek berserakan di mana-mana, sudah sibuk mengekor orang ke pasar. Jorok banget jadi anak gadis." Bu Sari menggelengkan kepalanya melihat Mbak Neni dari ujung kepala sampai ujung kaki. 

"Isshh. Nggak akan ditanya kok, Bu, sama orang-orang di pasar, aku sudah mandi atau belum. Jadi, untuk apa mandi. Sudah deh, jangan protes dengan penampilanku. Sebaiknya kita cepat mencari apa yang Ibu mau. Saya sudah capek dan kepanasan ini." Mbak Neni mengipasi wajahnya menggunakan tangannya karena cuaca yang sudah lumayan terik. 

"Terserah saya, dong. Mau cepat atau santai. Kalau kami nggak suka, sudah saya bilang, silahkan pulang duluan. Kalau mau ikut, ya, jangan banyak protes." Bu Sari membelokkan tubuhnya saat ia mendapati toko baju yang agak sepi pengunjung. 

Ia melihat-lihat pakaian yang dipajang di manekin. 

"Ini cantik untuk kamu, Sayang," ucapnya saat melihat sebuah gaun berwarna merah. 

"Iya, Bu. Tapi, jangan dibeli, Bu. Itu pasti harganya mahal." Aku tau gaun itu pasti mahal harganya. Dari tampilannya saja, sudah terlihat mewah. 

Aku sangat takut merepotkan Bu Sari. 

"Kalau kamu suka, ya, diambil aja. Nggak usah lihat harga. Pokoknya, hari ini kita belanja untuk kamu." Bu Sari tidak peduli dengan ucapanku. Ia tetap menunjuk baju yang dipilihnya. 

Kami kemudian masuk ke dalam. Dan Mbak Neni juga mengekor. Ia juga meleihat-lihat dan memegang pakaian di dalam. 

"Ini cantik, nih, untukku," ucap Mbak Neni saat ia melihat baju berwarna ungu yang menggantung. 

"Ihh, ini juga cantik," ucapnya lagi seraya mengambil baju dan mengepaskan pada tubuhnya. 

Mbak Neni tidak bawa uang, kenapa dia juga memilih-milih baju?

Aku saja yang katanya hendak dibelikan Bu Sari, tidak berani memilih. Aku takut merepotkan orang lain. Sejak masuk toko ini, aku hanya duduk di bangku yang sudah disediakan sambil melihat-lihat saja. Sementara Bu Sari, ia sibuk memilih beberapa pakaian. 

Duh, gimana cara ngomongnya sama Mbak Neni, ya? Dia pasti marah kalau kutegur. Pakaian yang sudah ada ditanggannya sangat banyak. Mau pakai apa dia membayarnya? Apa mungkin dia juga minta dibelikan Bu Sari? 

"Ya, ampun. Ini cantik banget," ucapnya lagi saat menemukan gaun yang memang sangat cantik. Tapi, itu ukurannya lumayan kecil. Tidak mungkin muat dengan Mbak Neni.

"Nak Sarah, apakah pakaian sebanyak ini tidak ada satupun yang menarik perhatianmu?" tanya Bu Sari saat aku sedang sibuk memperhatikan Mbak Neni. 

"Hmm? Baju yang Ibu pilih pertama tadi. Itu saja sudah cukup kok, Bu."

"Kok cuma satu? Pilih lagi saja. Kamu jangan khawatir, Ibu yang akan membelikannya untukmu. Anggap saja, kamu sedang belanja dengan Ibumu sendiri. Jangan sungkan."

Meskipun Bu Sari mengatakan jangan sungkan. Aku tetap saja sungkan. Apalagi kami baru saling mengenal. Bu Sari sudah berbuat sejauh ini. Ia sangat baik hati. Aku takut, setelah menjadi mentunya, aku tidak sesuai ekspektasi-nya nanti.

"Itu saja, cukup, Bu."

"Ya, sudah. Biar Ibu yang pilihkan untukmu. Tubuhmu juga tidak terlalu besar. Jadi pakaian amana saja yang Ibu pilihkan, pasti cocok." Bu Sari tersenyum, seraya kembali mendekat pada penjaga toko yang sedang sibuk mengemas pakaian pilihan Bu Sari tadi. 

Cukup banyak pakaian yang dipilih calon mertuaku itu. Aku tidak tau berapa jumblahnya. Tapi tumpukan di sana sudah bisa menjelaskannya. 

Apakah semua itu untukku? 

Tubuhku cuma satu. Tapi Ibu membelikannya sebanyak itu? 

Aku semakin tak enak hati diperlakukam seperti ini. 

"Berapa jumblahnya?" tanya Bu Sari pada salah satu penjaga toko yang terlihat memegang kalkulator. 

Gadis bertubuh langsing itu menyebutkan nominal dengan tidak jelas karena jarak kami lumayan jauh. 

"Sudah saya transfer, ya," ucap Ibu seraya menunjukkan ponselnya. 

Wanita itu terlihat mengecek ponselnya kemudian mengangguk dan tersenyum ramah. 

"Bu, bayarkan ini juga dong. Nggak banyak, cuma ini saja pilihan saya." Mbak Neni tiba-tiba saja datang membawa tumpukan pakaian di tangannya dan kemudian ia letakkan di dekat penjaga toko yang tadi mengemas pakaian. 

Alis Bu Sari terangkat satu. Ia nampak terkejut dengan ucapan Mbak Neni yang dengan entengnya meminta dibayarkan. 

"Semua ini pakaianmu?" tanya Bu Sari serius pada Mbak Neni. 

"Iya, cuma sedikit ini kok. Sekalian bayarin, ya!" jawabnya enteng. 

"Enak saja kamu! Kalau kamu punya uang, ya, bayarin saja sendiri. Saya, 'kan tidak memintamu untuk memilih pakaian juga!"

"Loh, nggak bisa gitu dong, Bu. Kalau Sarah dibelikan, ya saya juga harus dibelikan. Ini masih untung loh, saya nggak minta dibelikan lebih banyak daripada Sarah. Biasanya kalau belanja, saya yang dibelikan lebih banyak dari dia!" sungut Mbak Neni tidak terima. 

"Ya, sudah. Kalau begitu, minta saja sana dibelanjakan sama Ibumu atau Nenekmu. Jadi, kamu bisa dibelikan lebih banyak dari Sarah!" gerutu Bu Sari seraya meninggalkan Mbak Neni dan mendekat padaku. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
musarofah5
Neni Neni kamu cantik kulit mu putih dan pendidikan mu tinggi, tapi Sarah jauh lebih cantik karena hatinya pantas Bu sari lebih suka Sarah dari Neni.
goodnovel comment avatar
Sri Sudaryati
Neni dasar gak punya malu, serakah lagi. Betul gak dibelikan bu Sari biar tau rasa dia. Senangnya merendahkan orang lain.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status