"Mbak, awas air liurnya jatuh," bisikku saat melihat air yang hampir terjatuh di sudut bibir Mbak Neni.
Gadis berkulit putih itu segera tersadar. Ia menutup mulutnya lalu membenarkan posisi berdirinya.
"Cuma segitu doang. Nanti, nih, ya. Aku akan minta yang lebih banyak sama calon suamiku. Lagian, dapat dari mana uang sebanyak itu, Bu? Awas saja nanti kalau setelah menikah sepupu saya ini sibuk bekerja, dan merepotkan Nenek saya. Nggak sudi kami menerima dia lagi." Mbak Neni berbicara dengan sangat ketus pada Bu Sari.
Tidak sopan sekali dia. Padahal dia lebih terpelajar dibandingkan aku.
"Kamu tenang saja. Saya tidak akan membiarkan menantu saya ini, kembali merepotkan kalian. Saat dia sudah menikah dengan anak saya. Maka tanggung jawab dia sudah beralih pada anak saya dan juga saya. Asal jangan kebalik saja nanti. Kau yang malah merepotkan menantu saya," ucapan Bu Sari langsung memukul telak Mbak Neni. Dia melengos tak suka seraya membuang pandang.
"Ini, Bu. Terimakasih sudah berbelanja di toko kami," ucap pelayan toko setelah menyerahkan barang yang dibeli Bu Sari.
"Iya, sama-sama." Bu Sari menerima dompet berukuran sedikit besar yang isinya adalah emas yang telah dibeli.
Seumur-umur, baru kali ini aku menemani orang membeli emas dan dalam jumlah yang lumayan banyak. Biasanya, aku cuma menemani Nenek yang hanya membeli satu atau dua gram. Itu juga bukan untukku, melainkan untuk Nenek atau untuk Mbak Neni, dan Miska adik dari Mbak Neni.
Sementara aku, tidak pernah sekalipun dibelikan emas. Bahkan antingku ini saja hanya pemberian Ibuku sedari aku kecil.
"Kita, ke toko baju, yuk!" ajak Bu Sari saat kami baru saja keluar dari toko emas.
Wanita paruh baya berwajah teduh itu menggandeng lenganku dan membiarkan Mbak Neni mengekor dengan mulut komat-kamit ngedumel tak jelas.
"Kamu, kalau capek silahkan pulang. Kami masih lama lagi di pasar," ucap Bu Sari seakan mengusir Mbak Neni dari rombongan.
"Terus, saya pulang naik apa? Kan Ibu tau sendiri tadi saya baru bangun tidur, nggak bawa dompet. Jadi sudah jelas nggak bawa uang dong. Mau dari mana bayar tukang ojeknya?" sungut Mbak Neni.
"Ya, jalan kaki. Kamu punya kaki kan? Emang kamu lahir ke dunia ini naik motor atau mobil? Enggak kan! Di kasih kaki, ya, jalan pakai kaki dong!" omel Bu Sari dengan suara tidak sukanya.
Wanita sebaik dan seramah Bu Sari, bisa juga seketus itu bila berhadapan dengan Mbak Neni. Aku nggak bisa ngebayangin, seandainya Mbak Neni yang jadi menantunya. Apakah setiap hari akan ada perdebatan seperti ini?
"Lagian, nih, ya. Salah kamu sendiri. Kenapa bangun tidur bukannya mandi dulu baru pergi? Ini, iler juga masih berantakan, belek berserakan di mana-mana, sudah sibuk mengekor orang ke pasar. Jorok banget jadi anak gadis." Bu Sari menggelengkan kepalanya melihat Mbak Neni dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Isshh. Nggak akan ditanya kok, Bu, sama orang-orang di pasar, aku sudah mandi atau belum. Jadi, untuk apa mandi. Sudah deh, jangan protes dengan penampilanku. Sebaiknya kita cepat mencari apa yang Ibu mau. Saya sudah capek dan kepanasan ini." Mbak Neni mengipasi wajahnya menggunakan tangannya karena cuaca yang sudah lumayan terik.
"Terserah saya, dong. Mau cepat atau santai. Kalau kami nggak suka, sudah saya bilang, silahkan pulang duluan. Kalau mau ikut, ya, jangan banyak protes." Bu Sari membelokkan tubuhnya saat ia mendapati toko baju yang agak sepi pengunjung.
Ia melihat-lihat pakaian yang dipajang di manekin.
"Ini cantik untuk kamu, Sayang," ucapnya saat melihat sebuah gaun berwarna merah.
"Iya, Bu. Tapi, jangan dibeli, Bu. Itu pasti harganya mahal." Aku tau gaun itu pasti mahal harganya. Dari tampilannya saja, sudah terlihat mewah.
Aku sangat takut merepotkan Bu Sari.
"Kalau kamu suka, ya, diambil aja. Nggak usah lihat harga. Pokoknya, hari ini kita belanja untuk kamu." Bu Sari tidak peduli dengan ucapanku. Ia tetap menunjuk baju yang dipilihnya.
Kami kemudian masuk ke dalam. Dan Mbak Neni juga mengekor. Ia juga meleihat-lihat dan memegang pakaian di dalam.
"Ini cantik, nih, untukku," ucap Mbak Neni saat ia melihat baju berwarna ungu yang menggantung.
"Ihh, ini juga cantik," ucapnya lagi seraya mengambil baju dan mengepaskan pada tubuhnya.
Mbak Neni tidak bawa uang, kenapa dia juga memilih-milih baju?
Aku saja yang katanya hendak dibelikan Bu Sari, tidak berani memilih. Aku takut merepotkan orang lain. Sejak masuk toko ini, aku hanya duduk di bangku yang sudah disediakan sambil melihat-lihat saja. Sementara Bu Sari, ia sibuk memilih beberapa pakaian.
Duh, gimana cara ngomongnya sama Mbak Neni, ya? Dia pasti marah kalau kutegur. Pakaian yang sudah ada ditanggannya sangat banyak. Mau pakai apa dia membayarnya? Apa mungkin dia juga minta dibelikan Bu Sari?
"Ya, ampun. Ini cantik banget," ucapnya lagi saat menemukan gaun yang memang sangat cantik. Tapi, itu ukurannya lumayan kecil. Tidak mungkin muat dengan Mbak Neni.
"Nak Sarah, apakah pakaian sebanyak ini tidak ada satupun yang menarik perhatianmu?" tanya Bu Sari saat aku sedang sibuk memperhatikan Mbak Neni.
"Hmm? Baju yang Ibu pilih pertama tadi. Itu saja sudah cukup kok, Bu."
"Kok cuma satu? Pilih lagi saja. Kamu jangan khawatir, Ibu yang akan membelikannya untukmu. Anggap saja, kamu sedang belanja dengan Ibumu sendiri. Jangan sungkan."
Meskipun Bu Sari mengatakan jangan sungkan. Aku tetap saja sungkan. Apalagi kami baru saling mengenal. Bu Sari sudah berbuat sejauh ini. Ia sangat baik hati. Aku takut, setelah menjadi mentunya, aku tidak sesuai ekspektasi-nya nanti.
"Itu saja, cukup, Bu."
"Ya, sudah. Biar Ibu yang pilihkan untukmu. Tubuhmu juga tidak terlalu besar. Jadi pakaian amana saja yang Ibu pilihkan, pasti cocok." Bu Sari tersenyum, seraya kembali mendekat pada penjaga toko yang sedang sibuk mengemas pakaian pilihan Bu Sari tadi.
Cukup banyak pakaian yang dipilih calon mertuaku itu. Aku tidak tau berapa jumblahnya. Tapi tumpukan di sana sudah bisa menjelaskannya.
Apakah semua itu untukku?
Tubuhku cuma satu. Tapi Ibu membelikannya sebanyak itu?
Aku semakin tak enak hati diperlakukam seperti ini.
"Berapa jumblahnya?" tanya Bu Sari pada salah satu penjaga toko yang terlihat memegang kalkulator.
Gadis bertubuh langsing itu menyebutkan nominal dengan tidak jelas karena jarak kami lumayan jauh.
"Sudah saya transfer, ya," ucap Ibu seraya menunjukkan ponselnya.
Wanita itu terlihat mengecek ponselnya kemudian mengangguk dan tersenyum ramah.
"Bu, bayarkan ini juga dong. Nggak banyak, cuma ini saja pilihan saya." Mbak Neni tiba-tiba saja datang membawa tumpukan pakaian di tangannya dan kemudian ia letakkan di dekat penjaga toko yang tadi mengemas pakaian.
Alis Bu Sari terangkat satu. Ia nampak terkejut dengan ucapan Mbak Neni yang dengan entengnya meminta dibayarkan.
"Semua ini pakaianmu?" tanya Bu Sari serius pada Mbak Neni.
"Iya, cuma sedikit ini kok. Sekalian bayarin, ya!" jawabnya enteng.
"Enak saja kamu! Kalau kamu punya uang, ya, bayarin saja sendiri. Saya, 'kan tidak memintamu untuk memilih pakaian juga!"
"Loh, nggak bisa gitu dong, Bu. Kalau Sarah dibelikan, ya saya juga harus dibelikan. Ini masih untung loh, saya nggak minta dibelikan lebih banyak daripada Sarah. Biasanya kalau belanja, saya yang dibelikan lebih banyak dari dia!" sungut Mbak Neni tidak terima.
"Ya, sudah. Kalau begitu, minta saja sana dibelanjakan sama Ibumu atau Nenekmu. Jadi, kamu bisa dibelikan lebih banyak dari Sarah!" gerutu Bu Sari seraya meninggalkan Mbak Neni dan mendekat padaku.
"Ayo, kita cari makanan. Ibu laper, nih," ajak Ibu seraya menggandeng lenganku. Bu Sari tak lagi mempedulikan kakak sepupuku itu. Kasihan juga Mbak Neni. Pasti dia malu kalau sampai tidak jadi membeli semua pakaian yang sudah dipilih olehnya. Dia itu paling pantang kalau sudah memilih sesuatu tapi tidak dibelinya. Apa yang sudah ditunjuk, biasanya selalu dibayar olehnya. "Bu, jangan begitu dong. Ini belanjaanku gimana?" teriak Mbak Neni yang kebingungan. Aku bisa melihat dia bolak-balik melihat ke arah bajunya dan ke arah kami. Dia pasti sangat menginginkan pakaian itu. Antara ingin tertawa dan juga sedih melihat Mbak Neni seperti itu. "Kalau kamu nggak punya uang, ya, tinggalkan saja! Gitu aja kok repot," sahut Ibu tak mau ambil pusing dengan urusan Mbak Neni.Duh, gimana ya? Aku nggak mungkin meminta calon mertuaku ini untuk membayarnya. Belanjaan untukku saja sudah sebanyak itu. Apalagi kalau ditambah barang Mbak Neni. Mau habis berapa lagi. "Ayo, Nak. Sudah, biarkan saja Mba
Pov Neni. "Ini sih bukan kainnya yang jelek. Tapi badan Mbak Neni saja yang kayak Singa laut," gumam Sarah dan masih dapat kudengar. "Apa kamu bilang? Kamu ngatain aku kayak singa laut?" bentakku tak terima dibilang Singa laut. Enak saja dia mengataiku singa laut. Tubuh indah seperti Meghan Trainor begini kok dikatain Singa laut. Huuuhh, dasar Lisa bungkring! Body sepertiku ini yang banyak dicari kaum laki-laki. Tidak seperti dia, hanya lung-lit-lut. Iya, tulang, kulit, kentut. "Ehh, nggak kok, Mbak. Ini bajunya ada gambar Singa laut-nya," jawabnya gelagapangelagapan sambil nyengir tidak merasa bersalah. "Mana gambar singa lautnya? Kamu pikir Mbakmu ini rabun? Itu tuh, gambar Gajah terbang!" sungutku dan menatapnya tajam. Dia pikir aku bodoh. Baju itu semuanya sudah kucoba, dan tak ada gambar singa laut seperti ucapannya. Dia pasti memang berniat mengataiku."Eh, iya. Aku pikir gambar Singa, Mbak." Sarah terlihat salah tingkah, sambil menggaruk kepalanya yang berkutu. Entahlah
Loh, loh, loh. Kok jadi dia yang mau minjam uang sama aku? Bukannya selama ini dia sudah banyak uang? Duh, aku kok jadi galau, ya? Apa jangan-jangan dia mau menipuku?"Maaf, Mas. Adek, tidak punya uang sebanyak itu. Mas, kan, tau sendiri kalau selama ini, Adek belum kerja." Aku mencoba mencari alasan. Ya, walaupun pada kenyataannya aku memang pengangguran dan tidak punya uang sebanyak itu. Tapi, jika meminta pada Nenek, pasti akan diusahakan olehnya. "Hmmm, gimana ini, ya, Dek. Padahal, semua ini Mas lakukan juga untuk Adek. Agar nanti, Adek bisa bilang pada teman-teman kalau calon suami adek, adalah tentara yang sudah berpangkat." Mas Fajar terdengar menghembuskan napas panjang. "Selama ini, sebelum mengenal Dek Neni, Mas juga sudah sering mendapatkan tawaran ini. Tapi selalu Mas tolak. Toh, Mas saat itu belum punya calon istri. Untuk apa berpangkat kalau calon istri saja belum punya. Dan sekarang, setelah mengenal Dek Neni, Mas jadi ingin membuat Dek Neni bahagia dengan membangg
Sudah capek menjelaskan, Nenek tetap saja ngeyel dan tidak setuju dengan rencanaku. Padahal, semua ini juga untuk kami juga. "Ya, sudah. Kalau itu memang maumu, Nenek akan turuti. Tapi, bagaimana dengan pembayaran untuk menebusnya nanti? Apakah calon suamimu itu yang akan membayarnya?" tanya Nenek, terlihat masih khawatir dengan keputusanku. "Ya, iyalah, Nek. Kalau pun tidak, ya, sudah ikhlaskan saja. Anggap saja itu sebagai warisan untukku.""Tapi, Nduk. Nenek masih butuh kebun itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.""Nek, kebun itu cuma digadaikan. Nenek masih bisa menyadapnya dan memetik hasilnya.""Iya, Nenek tau. Tapi, kalau kebun itu tidak ditebus, maka kebun itu akan disita lalu dijual. Terus, bagaimana dengan Nenek.""Jangan khawatir, Nek. Masih ada Sarah. Dia juga kan bekerja di grosir. Jadi, masih ada penghasilan dari dia. Pokoknya, Nenek harus membantuku. Jangan sampai nggak jadi!" sungutku, seraya memajukan bibir. "Hmm, iya. Terserah kamu saja deh." Nenek terl
Pov Sarah. Aku berguling ke kanan dan ke kiri. Sejak tadi, aku sudah mencoba untuk tidur. Namun, mataku rasanya enggan terpejam. Apakah ini karena efek dari perkataan Nenek siang tadi?Katanya, besok Bu Sari dan anak lelakinya yang akan di jodohkan denganku datang untuk melamar secara resmi.Aku masih takut untuk bertemu lelaki itu. Bagaimana jika lelaki itu tidak suka denganku? Aku yang hitam dekil ini, apa bisa menarik perhatian laki-laki? Selama ini, lelaki yang dekat denganku, hanya ingin berteman saja. Tidak ada yang pernah mau menjadi kekasihku. Aku tidak tahu apa yang salah dariku. Tapi, memang seperti itulah kenyataannya. Ah, aku jadi pusing sendiri. Aku tahu Bu Sari itu baik banget. Tapi, apakah anaknya bisa sebaik Bu Sari? Hmmm. Semakin dipikir, kenapa semakin membuat kepala ini nyut-nyutan. Lebih baik aku harus benar-benar tidur. ***"Sarah, apa kamu nggak punya alat make up? Dandananmu itu loh, terlalu sederhana! Wajah kamu juga terlihat kusam." Bi Nining yang baru saj
Kalau lelaki yang akan dijodohkan denganku setampan itu, apakah dia mau memiliki istri biasa saja seperti diriku? Belum juga apa-apa, aku sudah insecure duluan. "Ayo, Rah, kita duduk di sana." Bi Nining membawaku duduk di pojok ruangan. Tak lama, para tamu juga masuk dibarengi dengan Nenek dan juga Bude Arum, ibunya Mbak Neni.Sementara Bapak, lelaki yang akan menjadi waliku jika menikah nanti, tak kulihat di mana keberadaannya. Apakah bapak tidak datang? Apakah aku tidak penting dalam hidupnya? Sampai-sampai, di acara sepenting ini saja, ia tidak mau datang. Bu Sari dan lelaki yang tadi berjalan bersamanya, kini sudah duduk tepat di hadapanku dengan jarak yang lumayan jauh. Wanita paruh baya itu, tersenyum saat pandangannya bertemu denganku. Tak seperti ibunya, lelaki di sampingnya malah sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak terlihat antusias dengan acara ini."Maaf, acaranya sudah dimulai, ya?" Mbak Neni yang tadi sempat menghilang, kini dia datang dengan dandanan yang
"Maaf, ya, Nak Neni. Saya ini, carinya menantu, bukan pembantu. Jadi, saya nggak butuh kelebihan kamu itu!" tegasnya, seraya menarik kedua tangannya dari genggaman Mbak Neni. Sepupuku itu tampak kesal. Matanya melotot tak suka. "Sombong amat, sih, Bu! Lah, terus, gunanya Sarah menjadi menantu Ibu, itu, apa? Semua orang menikah, kan, hanya untuk membantu suaminya di rumah. Seperti semua pekerjaan yang aku sebutkan tadi!" sungut Mbak Neni seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Saya menikahkan anak saya dan Sarah, karena ingin mendapatkan keturunan yang baik. Saya masih mampu menyewa jasa Art di rumah. Jadi, menantu saya tidak perlu melakukan itu semua. Dia hanya cukup melayani suaminya, dan mengurus anaknya dengan benar, bila suatu saat nanti mereka sudah memiliki anak," ucap Ibu dengan entengnya. Mbak Neni semakin kepanasan. Dadanya naik turun seperti menahan emosi. Sementara aku, hanya bisa menahan tawa saja.Kalau sudah berhadapan dengan Bu Sari, Mbak Neni pasti akan kala
"Kita, mau ke mana sih, Bu?" tanyaku saat kami sudah dalam perjalanan yang aku tak tau mau ke mana. "Kita mau jalan-jalan saja. Pokoknya, kamu cukup duduk manis, dan diam saja. Ikut ke mana pun Ibu bawa kamu pergi," jawab Ibu seraya mengelus kepalaku penuh sayang. Aku mengangguk seraya tersenyum. Baiklah, aku akan ikut ke mana pun Ibu membawaku pergi. Tadi, Ibu juga sudah berpamitan dan Izin pada Nenek. Jadi, aku tak perlu khawatir dimarahi Nenek jika pergi jalan seharian. ***Mobil yang aku tumpangi berbelok ke sebuah konter ponsel terbesar di kotaku. Apakah Ibu ingin membeli ponsel? "Ayo, turun, Rah!" ajak Ibu yang terlebih dahulu turun dari mobil. Aku menikuti Ibu turun, dan berjalan mendekat ke konter tersebut."Selamat pagi, menjelang siang. Ada yang bisa saya bantu? Mau cari ponsel apa, Bu?" tanya salah satu wanita yang aku yakini adalah pekerja di konter tersebut. "Samsul keluaran terbaru, ada Mbak?" jawab Ibu, dan balik bertanaya pada Mbak-Mbak berwajah cantik itu. "A