"Sarah bukan anak yang seperti itu, Mbak Menik. Dia tau caranya membalas budi pada Neneknya. Lihatlah dia, kerja pontang panting dari subuh, hingga sore. Semua itu dia lakukan demi Mbak Menik. Tapi apa balasan yang dia dapat? Mbak Menik masih saja memperlakukan dia dengan tidak adil," gerutu Ibu, marah. Padahal aku hanya calon mantu, tapi ibu sudah berani membelaku di depan keluargaku sendiri. Andai saja aku jadi anak kandung Bu Sari, mungkin aku tidak akan pernah merasakan seperti sekarang ini. Selalu dibedakan, dan hanya dianggap mesin pencetak uang. "Tidak adil bagaimana? Kamu jangan sok tau Dek Sari!" sahut Nenek sewot. "Saya bukan sok tau, Mbak. Tapi, saya memang tahu semuanya. Mulai hari ini, Mbak Menik jangan lagi memintanya untuk bekerja. Semua kebutuhan kalian, saya yang akan menanggungnya. Dan semua itu saya lakukan sampai Sarah menikah dan menjadi tanggung jawab keluarga saya sepenuhnya." Dengan tegas, Ibu mengatakan itu semua dan membuat nenek tersenyum miring. "Janga
"Jangan suka memanfaatkan keadaan, Mbak. Nggak baik. Nanti kalau Mbak dimanfaatkan orang lain gimana?" Aku yang geregetan pada Mbak Neni ikut bersuara. Kenapa dia suka sekali mencari kesempatan dalam kesempitan. Hidup ini, pasti ada timbal baliknya. Apa yang kita perbuat, pasti akan ada balasannya. Jadi, aku tidak pernah berpikir untuk berbuat sesuatu yang buruk. Takut semua akan berbalik padaku. "Kamu, itu diam saja, Sarah! Nggak usah sok baik, deh! Manusia hidup itu, butuh duit. Selagi ada kesempatan, kenapa tidak dipergunakan dengan baik?""Kesempatan kalau memanfaatkan orang lain, untuk apa Mbak?""Hiisshhh. Udah deh, nggak usah ikut ngomong kamu, Rah! Bikin orang darah tinggi aja!" omelnya seraya melirikku tak suka. "Sudah, Nduk. Nggak usah kamu hiraukan Sarah, yang ada bikin pusing saja dia itu," timpal Nenek. "Iya, Nek. Ngomong-ngomong, apakah Bu Sari itu orang kaya, Nek? Kok uangnya banyak banget?" tanya Mbak Neni. Aku sudah tidak mau lagi ikutan ngomong. Aku fokus pada
"Jangan mengajari orang tua! Aku lebih dulu lahir ke dunia ini. Jadi, aku lebih tahu mana kewajiban, mana yang bukan." Suara Nenek bergetar. Bukan karena Ia sedih dan ingin menangis. Tapi, karena emosinya yang terlalu tinggi. "Kalau Nenek tau, kenapa Nenek selalu membangkit karena sudah menampungku? Apa masih kurang, pengorbanan Sarah selama ini? Sarah nggak minta banyak, Nek. Cukup Nenek tidak membedakan Sarah dengan cucu lainnya. Dan jangan selalu meminta Sarah untuk mengalah.""Astaga! Ya, Tuhan. Kenapa aku membesarkan anak yang tidak tahu terimakasih! Menyesal aku menampungmu. Kalau aku tau kau menjadi pembangkang setelah dewasa, tak akan aku sudi menerimamu di rumah ini. Biarkan saja kau mau jadi apa di luaran sana!"Selalu ucapan itu yang terlontar dari mulutnya. Aku sudah terbiasa mendengar ucapan itu. Tapi, setiap kali aku mendengarnya. Ada rasa nyeri di dada yang tak bisa aku jelaskan. "Terserah Nenek mau ngatain Sarah apa. Toh, selama ini Sarah menjadi anak penurut, juga m
"Kok, emasnya kayak nggak asli," celetuk Ibu, membuat semua mata tertuju pada kami.Ketegangan begitu terlihat jelas dari para tamu dan juga tetanggaku. Aku menyenggol pelan lengan Ibu, dan membuat wanita yang akan menjadi mertuaku itu, menoleh bingung. Saat aku mengedipkan mata, Ibu seperti mengerti dengan maksudku. "Eh, ini loh. Emas yang dipakai Sarah, kayak nggak asli," ucap Ibu seraya nyengir kuda.Ibu juga langsung memegang tanganku, dan membawanya untuk dilihat secara bersama-sama. Tak lupa, Ibu juga mengelus gelang yang kupakai. "Tuh, kan. Kayak, imitasi ini. Apa Ibu salah beli ya, Nak?" tanya Ibu memulai aktingnya. "Heheheh. Iya, Bu. Mungkin saja, Ibu salah beli. Atau salah ambil di rumah." Aku terpaksa ikut tertawa dan berakting agar suasana kembali mencair. Saat mataku tertuju pada Bude Arum, wanita itu langsung memberikan lirikan tajamnya, membuatku dan juga Ibu berbalik dan hendak kembali ke dapur. "Maaf, ya. Ucapan saya bikin tegang. Saya, nggak ngomongin kalian k
Pov Neni"Iya, akan Nenek anggap lunas uang itu. Sekarang juga, kamu bawa emas itu ke toko. Kalau ternyata itu bukan emas, Nenek akan membawa ini ke jalur hukum! Biar tau rasa si Fajar itu!" sungut Nenek.Aku yang tidak terima Mas Fajar dianggap penipu, langsung saja pergi dari rumah Nenek dan hendak pulang ke rumah. Namun, baru sampai di ruang tamu, kulihat Sarah seperti orang yang ketahuan menguping. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dasar, tukang nguping! Sepertinya dia senang melihatku di pojokkan oleh Nenek. Aku melewatinya saja, tanpa menegurnya karena masih malas cekcok. "Loh, mau ke mana, Neni?" tanya Mama yang melihatku hendak keluar lagi. "Mau ke pasar sebentar, Ma," jawabku seraya menyambar kunci sepeda motor yang kuletakkan di dinding. "Mau ngapain?" tanya Mama lagi, sehingga aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Ada perlu sebentar, Ma," jawabku agak kesal. "Mama nitip martabak telur, ya.""Iya," jawabku singkat dan berbalik lagi. Cuma mau n
Pov Neni"Tuh, kan, Nek. Ini semua emas asli!"Belum sempat Nenek bertanya, aku langsung nyeletuk saat masuk di rumah Nenek. Wanita yang melahirkan Mamaku itu tampak keheranan. Ada raut tidak percaya di wajahnya. Ternyata tidak semudah itu mengelabui Nenek. "Nenek, mau tau berapa tadi ditawar sama toko emasnya? Lima puluh juta!" ucapku lagi, berbohong. Biar sajalah membohongi Nenek. Aku tidak mungkin jujur. Kalau sampai Nenek menagih uangnya dan melaporkan kejadian ini ke polisi, aku bisa habis diamuk Mama. Tidak hanya itu, aku juga akan menjadi olokan para tetangga. Mereka kan sangat suka melihatku menderita.Mata Nenek memicing, curiga. Aku harus memasang wajah serius untuk meyakinkan Nenek."Kamu, nggak bohong kan, Nduk?""Enggak, Nek. Ngapain Neni bohong. Emangnya selama ini Neni pernah bohong sama, Nenek?""Pernah. Sering, malahan," jawaban Nenek. membuatku ingin menenggelamkan wajah ke dalam. lumpur.Ya, selama ini aku memang sering membohongi Nenek. Aku pernah meminta uang
Pov Sarah."Sarah, tolong buatkan Nenek, teh. Sepertinya Badan Nenek mulai nggak sehat," pinta wanita yang tidak pernah menaganggap keberadaanku di sini."Nenek, sakit? Mau berobat?" tanyaku saat Nenek menyangga dagunya dengan sebelah tangannya, dan tangan yang satunya lagi ia gunakan untuk memeluk. diri.Kalau melihat Nenek seperti ini, rasanya hatiku iba. Tapi, terkadang aku juga membenci sifat Nenek yang sangat pilih kasih padaku. Sampai detik ini, aku tidak tahu penyebab Nenek membenciku."Nggak usah. Nanti tidur lagi juga sakit keplanya hilang." Nenek memijat kepalanya seraya memejamkan mata.Ada beban dalam fikiran Nenek. Aku sudah delapan belas tahun hidup bersama Nenek. Jadi tahu bagaimana sikap dia kalau sedang ada masalah.Mungkin saja Nenek kepikiran dengan uang lima puluh juta yang telah dipinjam oleh calon suami Mbak Neni. Biar bagaimanapun uang sebanyak itu tidaklah mudah untuk di dap
Pov SarahNggak main-mainMas Farzan memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Daripada terbang terbawa angin, aku dengan kesadaran yang masih utuh memeluknya erat.Lelaki yang tak punya hati dan perasaan ini tidak peduli dengan keadaanku. Dia tak mau mengurangi kecepatan sepeda motornya. Kalau saja dia tidak sedingin es, dan segalak Ibu tiri, sudah habis dia sedari tadi aku omelin sampai telinganya panas.Ingin sekali aku berteriak dan mengatakan, "Pelan-pelan Pak Sopir!". Tapi takut, setelah mengatakan itu, langsung beda alam.Entah sudah berapa lama aku memejamkan mata. Hingga pada akhirnya Mas Farzan mengurangi kecepatan sepeda motornya dan berbelok lalu berhenti."Cepat turun! Jangan suka cari kesempatan dalam kesempitan, Sarah!" seruan dari Mas Farzan membuatku membukakan mata.Kami berhenti tepat di depan toko baju, eh, butik maksudnya. Aku bisa melihat dari pantulan kaca kalau posisiku ini, sepert
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu
"Aawwcchh, sakit. Mas Farzan, tolongin aku dong!" Liana mengulurkan tangannya pada Mas Farzan. Rengekannya terdengar sangat manja. Ingin rasanya kutimpuk kepalanya menggunakan sandal ini, agar dia sadar bahwa lelaki yang ia mintai tolong adalah suami orang. 'PLAK!'"Minta tolong, noh sama tai ayam!" Mbak Neni menepis tangan Liana yang ia ulurkan pada suamiku.Gadis cantik itu semakin merengut menahan tangisnya. "Aaaaa! Kurang ajar kamu!" pekik Liana sambil memandangi tangannya yang mengenai eek Ayam di sampingnya. Liana bangkit. Ia berdiri berhadapan langsung dengan Mbak Neni. Kakak sepupuku berkacak pinggang. Mata tajamnya ia arahkan pada wanita di hadapannya. "Bukan cuma kamu yang bisa bar-bar! Aku juga bisa!" sentak Liana, seraya mengarahkan kedua tangannya pada rambut Mbak Neni. Mbak Neni menangkis tangan Liana yang hendak mencapai rambutnya.Meski memiliki tubuh agak berisi, Mbak N
"Mbak, Bude berkata seperti itu, pasti karena Ia terbawa emosi. Jauh di lubuk hatinya, Sarah yakin Bude sangat menyayangi Mbak Neni. Coba lah Mbak Neni cari pekerjaan, yang sesuai dengan keahlian Mbak Sendiri. Tidak apa dimulai dari posisi paling bawah. Suatu saat nanti, pasti naik juga kok. Yang penting, Mbak harus yakin dengan pekerjaan yang sedang digeluti. Jangan menyerah sebelum berperang. Mulailah hidup baru tanpa Mas Deva. Sarah yakin, Mbak pasti bisa." Aku menaruh bawang yang sudah selesai dikupas. Kugenggam kedua tangan Mbak Neni untuk menguatkannya."Kamu, kenapa masih baik sama Mbak, sih? Padahal selama ini, Mbak selalu jahatin kamu. Sebelum kamu menikah, dan kita tinggal berdekatan, bahkan Mbak nggak pernah sekalipin berbuat baik sama kamu. Apapun yang kamu mau, semuanya pasti Mbak ambil. Kalaupun kamu nggak salah, Mbak selalu mengadu pada Nenek agar menyalahkanmu. Mulut ini juga, selalu berkata buruk tentang Ibumu. Kenapa sekarang kamu nggak membalas semua
Aku memiringkan senyum, mengejek wanita di hadapanku ini."Pergilah, dan jangan pernah kembali. Aku bisa mengusir kalian jika nekat datang ke rumah ini. Urus suamimu, dan jangan meminta bantuan kami. Aku tidak akan pernah memberikannya, meski kau menangis darah.""Dasar anak Durhaka! Tunggu saja Karma yang akan datang padamu, karena tak mau membantu orang tua yang sedang kesusahan. Kudoakan, hidupmu akan menderita selamanya!" kutukknya, dan tidak membuatku takut."Jangan lupa, Bu. Semua yang terjadi padamu saat ini, adalah Karma karena Ibu dan Bapak telah menelantarkanku selama bertahun-tahun. Jadi, jangan bicara soal Karma di sini. Karena kalianlah, yang sedang mendapatkan Karma atas perbuatan kalian." Aku tersenyum sinis pada Ibu.Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia bangkit, lalu pergi tanpa mengucap salam.Aku juga berdiri, dan mata ini tetap mengawasinya."Cuuiihh!" Dia meludah, saat kepalanya berbalik men