"Jangan mengajari orang tua! Aku lebih dulu lahir ke dunia ini. Jadi, aku lebih tahu mana kewajiban, mana yang bukan." Suara Nenek bergetar. Bukan karena Ia sedih dan ingin menangis. Tapi, karena emosinya yang terlalu tinggi. "Kalau Nenek tau, kenapa Nenek selalu membangkit karena sudah menampungku? Apa masih kurang, pengorbanan Sarah selama ini? Sarah nggak minta banyak, Nek. Cukup Nenek tidak membedakan Sarah dengan cucu lainnya. Dan jangan selalu meminta Sarah untuk mengalah.""Astaga! Ya, Tuhan. Kenapa aku membesarkan anak yang tidak tahu terimakasih! Menyesal aku menampungmu. Kalau aku tau kau menjadi pembangkang setelah dewasa, tak akan aku sudi menerimamu di rumah ini. Biarkan saja kau mau jadi apa di luaran sana!"Selalu ucapan itu yang terlontar dari mulutnya. Aku sudah terbiasa mendengar ucapan itu. Tapi, setiap kali aku mendengarnya. Ada rasa nyeri di dada yang tak bisa aku jelaskan. "Terserah Nenek mau ngatain Sarah apa. Toh, selama ini Sarah menjadi anak penurut, juga m
"Kok, emasnya kayak nggak asli," celetuk Ibu, membuat semua mata tertuju pada kami.Ketegangan begitu terlihat jelas dari para tamu dan juga tetanggaku. Aku menyenggol pelan lengan Ibu, dan membuat wanita yang akan menjadi mertuaku itu, menoleh bingung. Saat aku mengedipkan mata, Ibu seperti mengerti dengan maksudku. "Eh, ini loh. Emas yang dipakai Sarah, kayak nggak asli," ucap Ibu seraya nyengir kuda.Ibu juga langsung memegang tanganku, dan membawanya untuk dilihat secara bersama-sama. Tak lupa, Ibu juga mengelus gelang yang kupakai. "Tuh, kan. Kayak, imitasi ini. Apa Ibu salah beli ya, Nak?" tanya Ibu memulai aktingnya. "Heheheh. Iya, Bu. Mungkin saja, Ibu salah beli. Atau salah ambil di rumah." Aku terpaksa ikut tertawa dan berakting agar suasana kembali mencair. Saat mataku tertuju pada Bude Arum, wanita itu langsung memberikan lirikan tajamnya, membuatku dan juga Ibu berbalik dan hendak kembali ke dapur. "Maaf, ya. Ucapan saya bikin tegang. Saya, nggak ngomongin kalian k
Pov Neni"Iya, akan Nenek anggap lunas uang itu. Sekarang juga, kamu bawa emas itu ke toko. Kalau ternyata itu bukan emas, Nenek akan membawa ini ke jalur hukum! Biar tau rasa si Fajar itu!" sungut Nenek.Aku yang tidak terima Mas Fajar dianggap penipu, langsung saja pergi dari rumah Nenek dan hendak pulang ke rumah. Namun, baru sampai di ruang tamu, kulihat Sarah seperti orang yang ketahuan menguping. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dasar, tukang nguping! Sepertinya dia senang melihatku di pojokkan oleh Nenek. Aku melewatinya saja, tanpa menegurnya karena masih malas cekcok. "Loh, mau ke mana, Neni?" tanya Mama yang melihatku hendak keluar lagi. "Mau ke pasar sebentar, Ma," jawabku seraya menyambar kunci sepeda motor yang kuletakkan di dinding. "Mau ngapain?" tanya Mama lagi, sehingga aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Ada perlu sebentar, Ma," jawabku agak kesal. "Mama nitip martabak telur, ya.""Iya," jawabku singkat dan berbalik lagi. Cuma mau n
Pov Neni"Tuh, kan, Nek. Ini semua emas asli!"Belum sempat Nenek bertanya, aku langsung nyeletuk saat masuk di rumah Nenek. Wanita yang melahirkan Mamaku itu tampak keheranan. Ada raut tidak percaya di wajahnya. Ternyata tidak semudah itu mengelabui Nenek. "Nenek, mau tau berapa tadi ditawar sama toko emasnya? Lima puluh juta!" ucapku lagi, berbohong. Biar sajalah membohongi Nenek. Aku tidak mungkin jujur. Kalau sampai Nenek menagih uangnya dan melaporkan kejadian ini ke polisi, aku bisa habis diamuk Mama. Tidak hanya itu, aku juga akan menjadi olokan para tetangga. Mereka kan sangat suka melihatku menderita.Mata Nenek memicing, curiga. Aku harus memasang wajah serius untuk meyakinkan Nenek."Kamu, nggak bohong kan, Nduk?""Enggak, Nek. Ngapain Neni bohong. Emangnya selama ini Neni pernah bohong sama, Nenek?""Pernah. Sering, malahan," jawaban Nenek. membuatku ingin menenggelamkan wajah ke dalam. lumpur.Ya, selama ini aku memang sering membohongi Nenek. Aku pernah meminta uang
Pov Sarah."Sarah, tolong buatkan Nenek, teh. Sepertinya Badan Nenek mulai nggak sehat," pinta wanita yang tidak pernah menaganggap keberadaanku di sini."Nenek, sakit? Mau berobat?" tanyaku saat Nenek menyangga dagunya dengan sebelah tangannya, dan tangan yang satunya lagi ia gunakan untuk memeluk. diri.Kalau melihat Nenek seperti ini, rasanya hatiku iba. Tapi, terkadang aku juga membenci sifat Nenek yang sangat pilih kasih padaku. Sampai detik ini, aku tidak tahu penyebab Nenek membenciku."Nggak usah. Nanti tidur lagi juga sakit keplanya hilang." Nenek memijat kepalanya seraya memejamkan mata.Ada beban dalam fikiran Nenek. Aku sudah delapan belas tahun hidup bersama Nenek. Jadi tahu bagaimana sikap dia kalau sedang ada masalah.Mungkin saja Nenek kepikiran dengan uang lima puluh juta yang telah dipinjam oleh calon suami Mbak Neni. Biar bagaimanapun uang sebanyak itu tidaklah mudah untuk di dap
Pov SarahNggak main-mainMas Farzan memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Daripada terbang terbawa angin, aku dengan kesadaran yang masih utuh memeluknya erat.Lelaki yang tak punya hati dan perasaan ini tidak peduli dengan keadaanku. Dia tak mau mengurangi kecepatan sepeda motornya. Kalau saja dia tidak sedingin es, dan segalak Ibu tiri, sudah habis dia sedari tadi aku omelin sampai telinganya panas.Ingin sekali aku berteriak dan mengatakan, "Pelan-pelan Pak Sopir!". Tapi takut, setelah mengatakan itu, langsung beda alam.Entah sudah berapa lama aku memejamkan mata. Hingga pada akhirnya Mas Farzan mengurangi kecepatan sepeda motornya dan berbelok lalu berhenti."Cepat turun! Jangan suka cari kesempatan dalam kesempitan, Sarah!" seruan dari Mas Farzan membuatku membukakan mata.Kami berhenti tepat di depan toko baju, eh, butik maksudnya. Aku bisa melihat dari pantulan kaca kalau posisiku ini, sepert
"Mas, hujan. Berhenti dulu, kek. Udah basah ini baju Sarah," teriakku di tengah derasnya hujan.Mas Farzan sungguh tidak peka. Sudah tau hujan deras, dia malah terus saja tancap gas. Bukannya berhenti sebentar dan berteduh. Pakaianku sudah lumayan basah.Aku juga sudah mulai menggigil kedinginan. Tak lama dia memberhentikan sepeda motornya di teras ruko kosong."Dari tadi kek, Mas. Orang udah kedinginan begini, baru berhenti," omelku seyara mencari sudut yang pas, agar tidak terkena hembusan angin dan air hujan yang tempias.Mas Farzan tetap diam. Dia hanya melihatku sekilas lalu fokus pada sepeda motornya. Sabarkan diriku ini ya, Allah. Seumur hidup adalah waktu yang sangat lama untuk memahami semua sifatnya dan tetap bertahan pada lelaki seperti dia."Pakai itu!" Mas Farzan melemparkan jaketnya dan tepat mengenai wajahku."Dari tadi, kek!" gerut
"Kenapa tadi tidak berteduh dulu? Kan, bisa menumpang di teras toko, atau berhenti sejenak di cafe sambil minum kopi. Bahaya loh hujan-hujan tetap mengendarai sepeda motor," ucap Ibu saat kami sudah duduk di meja makan.Ibu duduk sambil menatapku. Sementara Mas Farzan, duduk berhadapan dengan kami."Sarah, nggak tau, Bu. Mas Farzan yang bawa sepeda motornya. Tadi sempat berhenti dan berteduh. Tapi Mas Farzan melanjutkan perjalanan lagi. Katanya takut hujannya tidak berhenti dan semakin deras." Aku melirik Mas Farzan yang terlihat cuek sambil menyeruput kopinya."Kamu, juga sih, Zan! Ibu tadi kan sudah bilang. Bawa mobil agar tidak kehujanan. Tapi tidak di dengarkan. Malah ngotot bawa sepeda motor, tapi tidak bawa mantel!" omel Ibu pada lelaki yang masih sibuk pada ponsel di tangannya."Bu, lebih enak bawa motor, bisa menyalip kanan dan kiri." Mas Farzan menggerakkan tanggannya ke ka