Pov Sarah
Nggak main-mainMas Farzan memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Daripada terbang terbawa angin, aku dengan kesadaran yang masih utuh memeluknya erat.
Lelaki yang tak punya hati dan perasaan ini tidak peduli dengan keadaanku. Dia tak mau mengurangi kecepatan sepeda motornya. Kalau saja dia tidak sedingin es, dan segalak Ibu tiri, sudah habis dia sedari tadi aku omelin sampai telinganya panas.
Ingin sekali aku berteriak dan mengatakan, "Pelan-pelan Pak Sopir!". Tapi takut, setelah mengatakan itu, langsung beda alam.
Entah sudah berapa lama aku memejamkan mata. Hingga pada akhirnya Mas Farzan mengurangi kecepatan sepeda motornya dan berbelok lalu berhenti.
"Cepat turun! Jangan suka cari kesempatan dalam kesempitan, Sarah!" seruan dari Mas Farzan membuatku membukakan mata.
Kami berhenti tepat di depan toko baju, eh, butik maksudnya. Aku bisa melihat dari pantulan kaca kalau posisiku ini, sepert
"Mas, hujan. Berhenti dulu, kek. Udah basah ini baju Sarah," teriakku di tengah derasnya hujan.Mas Farzan sungguh tidak peka. Sudah tau hujan deras, dia malah terus saja tancap gas. Bukannya berhenti sebentar dan berteduh. Pakaianku sudah lumayan basah.Aku juga sudah mulai menggigil kedinginan. Tak lama dia memberhentikan sepeda motornya di teras ruko kosong."Dari tadi kek, Mas. Orang udah kedinginan begini, baru berhenti," omelku seyara mencari sudut yang pas, agar tidak terkena hembusan angin dan air hujan yang tempias.Mas Farzan tetap diam. Dia hanya melihatku sekilas lalu fokus pada sepeda motornya. Sabarkan diriku ini ya, Allah. Seumur hidup adalah waktu yang sangat lama untuk memahami semua sifatnya dan tetap bertahan pada lelaki seperti dia."Pakai itu!" Mas Farzan melemparkan jaketnya dan tepat mengenai wajahku."Dari tadi, kek!" gerut
"Kenapa tadi tidak berteduh dulu? Kan, bisa menumpang di teras toko, atau berhenti sejenak di cafe sambil minum kopi. Bahaya loh hujan-hujan tetap mengendarai sepeda motor," ucap Ibu saat kami sudah duduk di meja makan.Ibu duduk sambil menatapku. Sementara Mas Farzan, duduk berhadapan dengan kami."Sarah, nggak tau, Bu. Mas Farzan yang bawa sepeda motornya. Tadi sempat berhenti dan berteduh. Tapi Mas Farzan melanjutkan perjalanan lagi. Katanya takut hujannya tidak berhenti dan semakin deras." Aku melirik Mas Farzan yang terlihat cuek sambil menyeruput kopinya."Kamu, juga sih, Zan! Ibu tadi kan sudah bilang. Bawa mobil agar tidak kehujanan. Tapi tidak di dengarkan. Malah ngotot bawa sepeda motor, tapi tidak bawa mantel!" omel Ibu pada lelaki yang masih sibuk pada ponsel di tangannya."Bu, lebih enak bawa motor, bisa menyalip kanan dan kiri." Mas Farzan menggerakkan tanggannya ke ka
Aku dan Mas Farzan sudah berada di dalam mobil. Setelah perdebatan Mas Malik dan Mbak Diana tadi, aku diminta Ibu untuk pulang dengan diantarkan calon suamiku ini.Sudah lebih setengah jam kami di perjalanan, tapi Mas Farzan tidak sekalipun membuka suara. Dia hanya diam sambil menatap lurus ke depan dan sesekali dia akan menoleh ke luar jendela. Ya, semenarik itu jendela mobil bila dibandingkan denganku. Soalnya, Mas Farzan tidak sekalipun menoleh ke arahku. Hanya aku saja yang mencuri-curi pandang darinya."Mas Farzan, sariawan?" tanyaku memberanikan diri, agar suasana mencair.Bukannya menjawab, Mas Farzan malah menatapku tajam."Galak banget, sih, jadi orang," gumamku seraya menyandarkan kepada ke belakang.Aku juga tak mau lagi memperhatikan lelaki di sampingku ini. Lebih baik, melakukan hal yang sama, yaitu menatap ke luar jendela.
"Mas, nggak mampir dulu?" tawarku saat kami sudah memasuki halaman rumah Nenek.Lelaki itu menoleh seraya menggelengkan kepala. Padahal tinggal jawan `tidak` juga bisa. Tidak perlu geleng-geleng seperti boneka susan.Setelah kejadiam saling bertatapan tadi, Mas Farzan dan juga aku, semakin canggung.Memang tidak ada yang terjadi di antara kami. Tapi, tetap saja ada perasaan yang kurang nyaman.Adegan romantis yang pernah aku lihat di drama korea, tidak terjadi pada kami. Setelah saling memandang, Mas Farzan langsung terdadar dan membuang muka. Tidak ada kejadian yang `iya-iya` di antara kami. Mas Farzan hanya berani menatapku saja. Kalaupun dia berani, aku pastikan kedua pipinya semakin membiru seperti ubi jalar."Ya, sudah. Kalau begitu, Sarah turun dulu," ucapku, dan tidak mendapat tanggapan apapun.Aku masih bingung, seb
"Jaga mulutmu itu, Mbak Neni! Jangan seenaknya kau mengatai ibuku pel*kor!" Aku menunjuk tepat di wajahnya setelah melayangkan tamparan itu.Aku tidak tahu mengapa Mbak Neni bisa mengatai ibuku seperti itu. Entah ada masalah apa ibuku dulunya, karena aku memang tidak pernah mendengar apapun tentang ibuku di masa lalu. Biarpun begitu, aku tidak suka jika Ibuku dikatai demikian oleh Mbak Neni. Aku tidak terima dengan perkataannya. Jika dia hanya mengataiku, mungkin aku akan diam. Tapi kali ini, dia sudah sangat keterlaluan."Berani sekali kau menamp*rku!" Mbak Neni hendak menggapai rambutku. Namun, aku berhasil menghindar. Dia terlihat sangat marah. Napasnya cepat, tidak teratur. "Kau, memang anak pel*kor, Sarah! Makanya kau tidak diinginkan oleh Bapakmu, ataupun Nenek. Kau, tidak pernah tahu bukan, bagaimana ibumu yang gatal itu merayu Papaku? Sekarang aku beri tahu kamu semuanya. Ibumu itu, dulu ingin merebut Papaku dari Mamaku!" tuduhnya, tajam. Apa? Ibuku merayu Papanya Mbak Nen
"Nggak papa, Bi. Sarah juga yang salah, datangnya kepagian.""Sudah jam seluluh kok pagi, toh, Rah. Ini udah hampir siang.""Iya, sih, Bi. Oh, ya Bi. Kedatangan Sarah ke sini, sebenarnya ada yang ingin ditanyakan.""Tanya apa? Kok, kayaknya serius banget ini." Bi Nining meletakkan pisau di lantai. Ia menatapku serius."Begini, Bi. Beberapa hari yang lalu, Mbak Neni mengatakan kalau Ibuku adalah pelak*r. Apa itu benar, Bi?"Bi Nining sudah sejak kecil tinggal di kampung ini. Jadi, ia pasti tau cerita tentang Ibuku. Bahkan rumahnya juga tidak pernah berpindah. Karena rumah ini adalah rumah peninggalan Ibunya Bi Nining. Meskipun usia rumah ini sudah tua, tapi rumah ini tidak terlihat rapuh karena sudah direnovasi."Kurang ajar sekali dia! Masih kecil mulutnya sudah kotor. Tau apa dia tentang Ibumu? Bahkan saat Ibumu meninggal, usianya baru tujuh tahun. Apa dia masih ingat tentang Ibumu?" Bi Nining terlihat sangat kesal.Ia sa
"Iya juga, sih. Ya, sudah. Nggak papa, yang penting sah dan kamu cepat keluar dari rumah itu. Rumah serasa neraka," ucap Bi Nining sengit.Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Bi Nining.Selama ini aku tidak pernah merasa rumah itu adalah Neraka. Meskipun aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang di sana, aku tetap menganggap tempat tinggalku, adalah istanaku. Kalau tidak di besarkan di rumah itu, aku tak tahu lagi akan bagaimana kehidupanku setelah ditinggal Ibu.Bisa saja aku jadi genlandangan, atau bahkan melakukan hal yang dilarang Tuhan."Mertuamu, sepertinya baik dan sayang sama kamu, ya, Rah?" Wajah Bi Nining seketika berubah. Ia terlihat bahagia saat membahas calon mertuaku."Iya, Bi. Alhamdulillah, Ibu baik banget. Semoga saja selamanya bisa baik terus ya, Bi."Aku membayangkan bagaimana perlakuan Ibu selama ini padaku. Ia terlihat sangat baik, dan itu lah yang membuatku merasa memiliki Ibu lagi."Ami
"Tapi, ingat. Setelah menikah, Sarah tidak lagi bertanggung jawab pada kalian semua. Jangan sampai kalian mengganggu rumah tangga anak menantu saya. Apapun itu, jangan pernah mengeluh pada Sarah." Ibu menatap Bude Arum, tegas."Tidak akan! Kami malah bersyukur dia sudah menikah. Tidak lagi menyusahkan Ibu saya," sahut Bude Arum, santai."Tiga hari lagi, kami akan datang kembali untuk membawa uang tersebut," ungkap Ibu.Bude Arum tersenyum sangat manis. Dia pasti sangat senang akan mendapatkan uang sebanyak itu. Tidak mungkin uang itu untukku.Semua keluarga Bapak, sama saja kelakuannya.Aku memberanikan diri melirik Mas Farzan. Lelaki itu menatap lurus ke arahku. Dia sedang melihatku, atau Mbak Neni, ya?Aku kembali menundukkan wajah saat Mas Farzan menaikkan satu alisnya.***"Ma, nanti kalau uangnya sudah dikasih, kita bagi dua, ya!" pinta Mbak Neni, pada Mamanya.Mas Farzan dan kelu