Aku dan Mas Farzan sudah berada di dalam mobil. Setelah perdebatan Mas Malik dan Mbak Diana tadi, aku diminta Ibu untuk pulang dengan diantarkan calon suamiku ini.
Sudah lebih setengah jam kami di perjalanan, tapi Mas Farzan tidak sekalipun membuka suara. Dia hanya diam sambil menatap lurus ke depan dan sesekali dia akan menoleh ke luar jendela. Ya, semenarik itu jendela mobil bila dibandingkan denganku. Soalnya, Mas Farzan tidak sekalipun menoleh ke arahku. Hanya aku saja yang mencuri-curi pandang darinya.
"Mas Farzan, sariawan?" tanyaku memberanikan diri, agar suasana mencair.
Bukannya menjawab, Mas Farzan malah menatapku tajam.
"Galak banget, sih, jadi orang," gumamku seraya menyandarkan kepada ke belakang.
Aku juga tak mau lagi memperhatikan lelaki di sampingku ini. Lebih baik, melakukan hal yang sama, yaitu menatap ke luar jendela.
<"Mas, nggak mampir dulu?" tawarku saat kami sudah memasuki halaman rumah Nenek.Lelaki itu menoleh seraya menggelengkan kepala. Padahal tinggal jawan `tidak` juga bisa. Tidak perlu geleng-geleng seperti boneka susan.Setelah kejadiam saling bertatapan tadi, Mas Farzan dan juga aku, semakin canggung.Memang tidak ada yang terjadi di antara kami. Tapi, tetap saja ada perasaan yang kurang nyaman.Adegan romantis yang pernah aku lihat di drama korea, tidak terjadi pada kami. Setelah saling memandang, Mas Farzan langsung terdadar dan membuang muka. Tidak ada kejadian yang `iya-iya` di antara kami. Mas Farzan hanya berani menatapku saja. Kalaupun dia berani, aku pastikan kedua pipinya semakin membiru seperti ubi jalar."Ya, sudah. Kalau begitu, Sarah turun dulu," ucapku, dan tidak mendapat tanggapan apapun.Aku masih bingung, seb
"Jaga mulutmu itu, Mbak Neni! Jangan seenaknya kau mengatai ibuku pel*kor!" Aku menunjuk tepat di wajahnya setelah melayangkan tamparan itu.Aku tidak tahu mengapa Mbak Neni bisa mengatai ibuku seperti itu. Entah ada masalah apa ibuku dulunya, karena aku memang tidak pernah mendengar apapun tentang ibuku di masa lalu. Biarpun begitu, aku tidak suka jika Ibuku dikatai demikian oleh Mbak Neni. Aku tidak terima dengan perkataannya. Jika dia hanya mengataiku, mungkin aku akan diam. Tapi kali ini, dia sudah sangat keterlaluan."Berani sekali kau menamp*rku!" Mbak Neni hendak menggapai rambutku. Namun, aku berhasil menghindar. Dia terlihat sangat marah. Napasnya cepat, tidak teratur. "Kau, memang anak pel*kor, Sarah! Makanya kau tidak diinginkan oleh Bapakmu, ataupun Nenek. Kau, tidak pernah tahu bukan, bagaimana ibumu yang gatal itu merayu Papaku? Sekarang aku beri tahu kamu semuanya. Ibumu itu, dulu ingin merebut Papaku dari Mamaku!" tuduhnya, tajam. Apa? Ibuku merayu Papanya Mbak Nen
"Nggak papa, Bi. Sarah juga yang salah, datangnya kepagian.""Sudah jam seluluh kok pagi, toh, Rah. Ini udah hampir siang.""Iya, sih, Bi. Oh, ya Bi. Kedatangan Sarah ke sini, sebenarnya ada yang ingin ditanyakan.""Tanya apa? Kok, kayaknya serius banget ini." Bi Nining meletakkan pisau di lantai. Ia menatapku serius."Begini, Bi. Beberapa hari yang lalu, Mbak Neni mengatakan kalau Ibuku adalah pelak*r. Apa itu benar, Bi?"Bi Nining sudah sejak kecil tinggal di kampung ini. Jadi, ia pasti tau cerita tentang Ibuku. Bahkan rumahnya juga tidak pernah berpindah. Karena rumah ini adalah rumah peninggalan Ibunya Bi Nining. Meskipun usia rumah ini sudah tua, tapi rumah ini tidak terlihat rapuh karena sudah direnovasi."Kurang ajar sekali dia! Masih kecil mulutnya sudah kotor. Tau apa dia tentang Ibumu? Bahkan saat Ibumu meninggal, usianya baru tujuh tahun. Apa dia masih ingat tentang Ibumu?" Bi Nining terlihat sangat kesal.Ia sa
"Iya juga, sih. Ya, sudah. Nggak papa, yang penting sah dan kamu cepat keluar dari rumah itu. Rumah serasa neraka," ucap Bi Nining sengit.Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Bi Nining.Selama ini aku tidak pernah merasa rumah itu adalah Neraka. Meskipun aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang di sana, aku tetap menganggap tempat tinggalku, adalah istanaku. Kalau tidak di besarkan di rumah itu, aku tak tahu lagi akan bagaimana kehidupanku setelah ditinggal Ibu.Bisa saja aku jadi genlandangan, atau bahkan melakukan hal yang dilarang Tuhan."Mertuamu, sepertinya baik dan sayang sama kamu, ya, Rah?" Wajah Bi Nining seketika berubah. Ia terlihat bahagia saat membahas calon mertuaku."Iya, Bi. Alhamdulillah, Ibu baik banget. Semoga saja selamanya bisa baik terus ya, Bi."Aku membayangkan bagaimana perlakuan Ibu selama ini padaku. Ia terlihat sangat baik, dan itu lah yang membuatku merasa memiliki Ibu lagi."Ami
"Tapi, ingat. Setelah menikah, Sarah tidak lagi bertanggung jawab pada kalian semua. Jangan sampai kalian mengganggu rumah tangga anak menantu saya. Apapun itu, jangan pernah mengeluh pada Sarah." Ibu menatap Bude Arum, tegas."Tidak akan! Kami malah bersyukur dia sudah menikah. Tidak lagi menyusahkan Ibu saya," sahut Bude Arum, santai."Tiga hari lagi, kami akan datang kembali untuk membawa uang tersebut," ungkap Ibu.Bude Arum tersenyum sangat manis. Dia pasti sangat senang akan mendapatkan uang sebanyak itu. Tidak mungkin uang itu untukku.Semua keluarga Bapak, sama saja kelakuannya.Aku memberanikan diri melirik Mas Farzan. Lelaki itu menatap lurus ke arahku. Dia sedang melihatku, atau Mbak Neni, ya?Aku kembali menundukkan wajah saat Mas Farzan menaikkan satu alisnya.***"Ma, nanti kalau uangnya sudah dikasih, kita bagi dua, ya!" pinta Mbak Neni, pada Mamanya.Mas Farzan dan kelu
"Bapakmu pasti datang. Kita tunggu saja," ucap Bi Nining, menenangkanku.Air mataku yang terjatuh juga sudah dihapus menggunakan tissu olehnya."Nggak anak, nggak Bapak, menyusahkan saja kerjanya!" gerutu Nenek, mengutak-atik ponsel di tangannya.Lima belas menit lagi, acara akan di mulai. Keluarga Mas Farzan juga sudah masuk dan duduk di ruangan yang sudah di dekorasi. Bahkan Pak penghulu juga sudah berada di sana bersama mereka. Tapi, sampai saat ini, Bapak belum menampakkan batang hidungnya.Apa susahnya, sih, datang ke acara pernikahan anaknya? Hanya sebagai wali, tidak lebih. Aku bahkan tidak meminta apapun dari Bapak, kecuali kehadirannya. Tapi kenapa Bapak seperti ini? Tidak bisakah ia meluangkan waktunya barang sehari untukku?Seandainya bisa aku meminta, maka aku akan minta dilahirkan lagi, dari Bapak yang berbeda. Banyak yang bilang, cinta pertama anak perempuan adalah Ayahnya. Tapi, itu tidak berlaku padaku. Ia ma
Bapak berjalan tanpa mau bersalaman terlebih dahulu pada Nenek ataupun aku. Ia melewati Nenek dan aku begitu saja menuju pintu penghubung. Setelah melewatinya, Bapak duduk di samping penghulu.Sedangkan Ibu tiriku, Ia hanya berdiri di depan pintu sambil melihat ke sekeliling.Sejak datang, Ia tidak mau menyalami kami. Bahkan Nenek sebagai mertuanya saja, ia tidak mau menjabat tangannya.Apakah menantu seperti dia yang Nenek inginkan? Dulu, ibuku katanya penurut. Tapi, hanya karena fitnah dari Bude Arum, semua jadi membencinya. Dan sekarang, menantu yang tidak tahu sopan santun, Nenek malah mendiamkannya."Acaranya akan dimulai, sekarang kita duduk," ucap Bi Nining menyadarkanku dari lamunan. Meski sejak tadi ia mendengar perdebatan Nenek dan Bapak, Bi Nining tidak ikut mengomentari. Ia hanya diam menonton mereka.Aku dan Bi Nining berjalan mendekat. Kami duduk tepat di belakang Bapak.Dari sini, aku bisa melihat wajah tegan
Selain tidak diajari kata sabar, ternyata putri juga tidak diajari sopan santun oleh Ayah, ibunya. Bisa-bisanya dia berkata ketus seperti itu dengan orang yang lebih tua.Untungnya meski aku tidak dibesarkan oleh kedua orang tuaku, sopan santun tetap kujaga.Meski Nenek kasar padaku selama ini, aku tetap berusaha berbicara sopan padanya."Mulutmu, itu!" sungut Nenek.Putri hanya melengos tak suka.Aku malas menegur gadis cilik itu. Karena sudah pasti, dia akan melawanku. Dengan Nenek saja dia berani, apalagi cuma denganku yang hanya kakak angkatnya."Mbak Sarah, itu bajunya bagus. Bolehkah untukku?" tanyanya menunjuk baju yang hendak kulipat.Baju pemberian dari Ibu mertua dan belum pernah aku pakai sekalipun.Baju ini sangat cantik. Ukurannya juga pas bila dipakai di tubuhku. Aku juga sangat menyukai baju ini. Tidak mungkin aku memberikannya pada dia. Memang tubuh Putri besar bila diba