"Bapakmu pasti datang. Kita tunggu saja," ucap Bi Nining, menenangkanku.
Air mataku yang terjatuh juga sudah dihapus menggunakan tissu olehnya.
"Nggak anak, nggak Bapak, menyusahkan saja kerjanya!" gerutu Nenek, mengutak-atik ponsel di tangannya.
Lima belas menit lagi, acara akan di mulai. Keluarga Mas Farzan juga sudah masuk dan duduk di ruangan yang sudah di dekorasi. Bahkan Pak penghulu juga sudah berada di sana bersama mereka. Tapi, sampai saat ini, Bapak belum menampakkan batang hidungnya.
Apa susahnya, sih, datang ke acara pernikahan anaknya? Hanya sebagai wali, tidak lebih. Aku bahkan tidak meminta apapun dari Bapak, kecuali kehadirannya. Tapi kenapa Bapak seperti ini? Tidak bisakah ia meluangkan waktunya barang sehari untukku?
Seandainya bisa aku meminta, maka aku akan minta dilahirkan lagi, dari Bapak yang berbeda. Banyak yang bilang, cinta pertama anak perempuan adalah Ayahnya. Tapi, itu tidak berlaku padaku. Ia ma
Bapak berjalan tanpa mau bersalaman terlebih dahulu pada Nenek ataupun aku. Ia melewati Nenek dan aku begitu saja menuju pintu penghubung. Setelah melewatinya, Bapak duduk di samping penghulu.Sedangkan Ibu tiriku, Ia hanya berdiri di depan pintu sambil melihat ke sekeliling.Sejak datang, Ia tidak mau menyalami kami. Bahkan Nenek sebagai mertuanya saja, ia tidak mau menjabat tangannya.Apakah menantu seperti dia yang Nenek inginkan? Dulu, ibuku katanya penurut. Tapi, hanya karena fitnah dari Bude Arum, semua jadi membencinya. Dan sekarang, menantu yang tidak tahu sopan santun, Nenek malah mendiamkannya."Acaranya akan dimulai, sekarang kita duduk," ucap Bi Nining menyadarkanku dari lamunan. Meski sejak tadi ia mendengar perdebatan Nenek dan Bapak, Bi Nining tidak ikut mengomentari. Ia hanya diam menonton mereka.Aku dan Bi Nining berjalan mendekat. Kami duduk tepat di belakang Bapak.Dari sini, aku bisa melihat wajah tegan
Selain tidak diajari kata sabar, ternyata putri juga tidak diajari sopan santun oleh Ayah, ibunya. Bisa-bisanya dia berkata ketus seperti itu dengan orang yang lebih tua.Untungnya meski aku tidak dibesarkan oleh kedua orang tuaku, sopan santun tetap kujaga.Meski Nenek kasar padaku selama ini, aku tetap berusaha berbicara sopan padanya."Mulutmu, itu!" sungut Nenek.Putri hanya melengos tak suka.Aku malas menegur gadis cilik itu. Karena sudah pasti, dia akan melawanku. Dengan Nenek saja dia berani, apalagi cuma denganku yang hanya kakak angkatnya."Mbak Sarah, itu bajunya bagus. Bolehkah untukku?" tanyanya menunjuk baju yang hendak kulipat.Baju pemberian dari Ibu mertua dan belum pernah aku pakai sekalipun.Baju ini sangat cantik. Ukurannya juga pas bila dipakai di tubuhku. Aku juga sangat menyukai baju ini. Tidak mungkin aku memberikannya pada dia. Memang tubuh Putri besar bila diba
Aku seketika membuka mata. Mas Farzan sudah berdiri seraya menahan tangan Bapak, dengan memegangnya erat. Kalau saja Mas Farzan tidak datang, sudah pasti tangan yang tak pernah memberikanku nafkah itu, mengenai wajahku. Sudah tidak membesarkanku, sekarang malah mau mengh*jarku. Semoga tidak ada orang lain yang merasakan hal yang sama denganku. Memiliki Bapak yabg kejam serta tidak bertanggung jawab. "Setelah ijab dan qobul diucapkan, maka seluruh hidup sarah sudah menjadi tanggung jawab saya. Termasuk keselamatannya. Jangan sekali-kali, Bapak, berani menyakiti Sarah. Karena saya, tidak akan tinggal diam." Mas Farzan mentap wajah Bapak dengan berani. Lelaki paruh baya itu, menarik tangannya dengan kasar, hingga terlepas dari genggaman Mas Farzan. "Dia ini anak saya. Sudah seharusnya saya, memberinya pelajaran, jika dia kurang ajar!" sungut Bapak, seraya menunjuk wajahku."Seorang anak, tidak akan bersikap kurang ajar, jika di didik dengan baik oleh orang tuanya, Pak! Seharusnya B
Mas Farzan hanya manggut-manggut saja. Ia tak. lagi bertanya. Kini tangannya tengah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya."Apakah sudah selesai?" tanya Ibu, yang baru saja datang. Ia juga menenteng buah rambutan di tangannya.Mungkin saja dari Bi Nining. Pohon rambutan milik Bi Nining, tahun ini berbuah lebat, dan dia sangat sering membagi-bagikan buah manis. tersebut pada tetangga, ataupun saudara yang datang."Sudah, Bu," jawabku seraya menarik resleting untuk menutup tas."Loh, Farzan juga di sini? Tadi katanya mau ketemu sama teman, sebentar?" tanya Ibu, beralih pada lelaki yang sedang duduk dengan santai di atas kasur."Tidak jadi, Bu. Orangnya tiba-tiba saja ada keperluan," jawabnya seraya memasukkan ponsel ke sakunya."Oh, gitu. Mmm, kalau sudah selesai. Ayo, kita berangkat sekarang. Takut kemalaman di jalan," ajak Ib
"Itu, Farzan. Dia memang sudah tampan dari kecil," celetuk Ibu membuatku menoleh padanya. Wanita itu tersenyum. Ia seperti bisa membaca arah pandanganku tadi."Meski tampan, dia bukanlah lelaki yang suka gonta ganti perempuan. Semenjak dia remaja sampai dewasa, dia hanya beberapa kali mengenalkan wanita pada Ibu. Terakhir kali dia mengenalkan wanita, sudah sekitar tiga tahun yang lalu. Silvi namanya. Anaknya Pak Kumar, gadis yang tinggal di kawasan ini juga. Tapi sayangnya, orang tua Silvi tidak setuju dengan Farzan. Alasannya, karena Pak Kumar pernah berseteru dengan Almarhum Ayahnya Farzan. Jadi, hubungan mereka harus kandas di tengah jalan. Dan sekarang, Silvi juga sudah bertunangan dengan lelaki lain. Kamu, jangan khawatir, ya. Karena sekarang, mereka nggak mungkin balikan lagi."Oh, jadi Mas Farzan pernah patah hati oleh wanita bernama Silvi. Aku jadi penasaran, wanita seperti apa Silvi, sampai bisa membuat lelaki sedingin es balok ini, jatuh cinta padanya.Aku yakin, pasti Silv
Dia seperti tidak nyaman dengan jawaban Ibu yang terkesan cuek.Aku salut dengan mental Mbak Silvi. Dia dengan berani datang ke rumah mantan kekasihnya yang baru saja melangsungkan pernikahan.Apakah dia memang wanita setegar itu? Atau tujuannya datang hanya untuk memastikan istri dari mantannya lebih cantik dari dirinya, atau tidak?Ah, pikiranku harus ternodai dengan pikiran buruk terhadapnya."Tujuan kamu, datang ke sini, apa ya?" tanya Ibu, mewakili pertanyaanku, yang hanya bisa kupendam di dalam hati.Kalau aku yang langsung bertanya, pasti mereka akan berpikir kalau aku cemburu. Jadi, lebih baik aku diam, dan Ibulah yang bertanya."Ah, itu. Tadi saya diberi tahu oleh Mbak Diana, kalau Mas Farzan sudah pulang dari acara pernikahannya. Dan saya datang ke sini, untuk memberikan selamat padanya," jawab Mbak Silvi, beralasan.
"Mengucapkan selamat, bisa di lain waktu. Tidak harus datang ke rumah. Apalagi dengan kondisi Kami baru saja sampai. Apa kamu pikir ini sopan? Bagaimana jika kejadian ini ada di pernikahan kamu? Mantan pacar Malik datang sesaat setelah kalian menikah. Apa kamu akan bersikap biasa saja? Jangan menjadi manusia egois demi keuntunganmu sendiri, Diana! Sebelum melakukan sesuatu, posisikan dulu dirimu di posisi salah satu pihak. Jadi tidak seenaknya kamu mengambil keputusan.""Kalau mantan Mas Malik yang datang ke pernikahan, kami. Aku akan sangat berterimakasih, dan menyambutnya dengan lapang dada. Kan cuma mantan.""Huh, kamu yakin? Bukankah saat pesta pernikahan kalian digelar, mantan Malik datang? Lalu apa yang terjadi? Kamu, merajuk masuk ke dalam rumah dan tidak mau keluar lagi. Padahal, kalian masih bersanding di pelaminan.""Itu beda posisi dong, Bu. Saat itu, banyak para undangan yang datang. Diana malu, dong, mereka
Terus, gimana cara biar air keluar dari sana? Ini mau mandi, atau mau main tebak-tebakan sih? Bikin pusing saja!'Ckek!'Suara seseorang membuka pintu membuatku sedikit waspada. Jangan-jangan Mas Farzan yang masuk. Untung aku belum mandi.Aku segera keluar dari dalam kamar mandi. Dan benar saja, Mas Farzan sudah berdiri di ruang yang berada tepat di samping kamar mandi ini, alias tempat lemari berjejer tadi.Lelaki itu berdiri mematung tanpa memakai bajunya. Hanya celana pendek selutut yang ia kenakan.Ia membalikkan badan mengahap ke arahku. Aku yang sedikit terkejut, sontak menutup wajah dengan kedua tanganku."Ada apa?" tanya Mas Farzan, yang santai saja melihat keterkejutanku."Anu, Mas. Sa-Sarah mau mandi. Tapi, airnya nggak ada," sahutku masih menutup wajah.Terserah deh mau dikatak
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu
"Aawwcchh, sakit. Mas Farzan, tolongin aku dong!" Liana mengulurkan tangannya pada Mas Farzan. Rengekannya terdengar sangat manja. Ingin rasanya kutimpuk kepalanya menggunakan sandal ini, agar dia sadar bahwa lelaki yang ia mintai tolong adalah suami orang. 'PLAK!'"Minta tolong, noh sama tai ayam!" Mbak Neni menepis tangan Liana yang ia ulurkan pada suamiku.Gadis cantik itu semakin merengut menahan tangisnya. "Aaaaa! Kurang ajar kamu!" pekik Liana sambil memandangi tangannya yang mengenai eek Ayam di sampingnya. Liana bangkit. Ia berdiri berhadapan langsung dengan Mbak Neni. Kakak sepupuku berkacak pinggang. Mata tajamnya ia arahkan pada wanita di hadapannya. "Bukan cuma kamu yang bisa bar-bar! Aku juga bisa!" sentak Liana, seraya mengarahkan kedua tangannya pada rambut Mbak Neni. Mbak Neni menangkis tangan Liana yang hendak mencapai rambutnya.Meski memiliki tubuh agak berisi, Mbak N
"Mbak, Bude berkata seperti itu, pasti karena Ia terbawa emosi. Jauh di lubuk hatinya, Sarah yakin Bude sangat menyayangi Mbak Neni. Coba lah Mbak Neni cari pekerjaan, yang sesuai dengan keahlian Mbak Sendiri. Tidak apa dimulai dari posisi paling bawah. Suatu saat nanti, pasti naik juga kok. Yang penting, Mbak harus yakin dengan pekerjaan yang sedang digeluti. Jangan menyerah sebelum berperang. Mulailah hidup baru tanpa Mas Deva. Sarah yakin, Mbak pasti bisa." Aku menaruh bawang yang sudah selesai dikupas. Kugenggam kedua tangan Mbak Neni untuk menguatkannya."Kamu, kenapa masih baik sama Mbak, sih? Padahal selama ini, Mbak selalu jahatin kamu. Sebelum kamu menikah, dan kita tinggal berdekatan, bahkan Mbak nggak pernah sekalipin berbuat baik sama kamu. Apapun yang kamu mau, semuanya pasti Mbak ambil. Kalaupun kamu nggak salah, Mbak selalu mengadu pada Nenek agar menyalahkanmu. Mulut ini juga, selalu berkata buruk tentang Ibumu. Kenapa sekarang kamu nggak membalas semua
Aku memiringkan senyum, mengejek wanita di hadapanku ini."Pergilah, dan jangan pernah kembali. Aku bisa mengusir kalian jika nekat datang ke rumah ini. Urus suamimu, dan jangan meminta bantuan kami. Aku tidak akan pernah memberikannya, meski kau menangis darah.""Dasar anak Durhaka! Tunggu saja Karma yang akan datang padamu, karena tak mau membantu orang tua yang sedang kesusahan. Kudoakan, hidupmu akan menderita selamanya!" kutukknya, dan tidak membuatku takut."Jangan lupa, Bu. Semua yang terjadi padamu saat ini, adalah Karma karena Ibu dan Bapak telah menelantarkanku selama bertahun-tahun. Jadi, jangan bicara soal Karma di sini. Karena kalianlah, yang sedang mendapatkan Karma atas perbuatan kalian." Aku tersenyum sinis pada Ibu.Wanita itu tak lagi berkata-kata. Dia bangkit, lalu pergi tanpa mengucap salam.Aku juga berdiri, dan mata ini tetap mengawasinya."Cuuiihh!" Dia meludah, saat kepalanya berbalik men