Mas Farzan hanya manggut-manggut saja. Ia tak. lagi bertanya. Kini tangannya tengah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.
"Apakah sudah selesai?" tanya Ibu, yang baru saja datang. Ia juga menenteng buah rambutan di tangannya.
Mungkin saja dari Bi Nining. Pohon rambutan milik Bi Nining, tahun ini berbuah lebat, dan dia sangat sering membagi-bagikan buah manis. tersebut pada tetangga, ataupun saudara yang datang.
"Sudah, Bu," jawabku seraya menarik resleting untuk menutup tas.
"Loh, Farzan juga di sini? Tadi katanya mau ketemu sama teman, sebentar?" tanya Ibu, beralih pada lelaki yang sedang duduk dengan santai di atas kasur.
"Tidak jadi, Bu. Orangnya tiba-tiba saja ada keperluan," jawabnya seraya memasukkan ponsel ke sakunya.
"Oh, gitu. Mmm, kalau sudah selesai. Ayo, kita berangkat sekarang. Takut kemalaman di jalan," ajak Ib
"Itu, Farzan. Dia memang sudah tampan dari kecil," celetuk Ibu membuatku menoleh padanya. Wanita itu tersenyum. Ia seperti bisa membaca arah pandanganku tadi."Meski tampan, dia bukanlah lelaki yang suka gonta ganti perempuan. Semenjak dia remaja sampai dewasa, dia hanya beberapa kali mengenalkan wanita pada Ibu. Terakhir kali dia mengenalkan wanita, sudah sekitar tiga tahun yang lalu. Silvi namanya. Anaknya Pak Kumar, gadis yang tinggal di kawasan ini juga. Tapi sayangnya, orang tua Silvi tidak setuju dengan Farzan. Alasannya, karena Pak Kumar pernah berseteru dengan Almarhum Ayahnya Farzan. Jadi, hubungan mereka harus kandas di tengah jalan. Dan sekarang, Silvi juga sudah bertunangan dengan lelaki lain. Kamu, jangan khawatir, ya. Karena sekarang, mereka nggak mungkin balikan lagi."Oh, jadi Mas Farzan pernah patah hati oleh wanita bernama Silvi. Aku jadi penasaran, wanita seperti apa Silvi, sampai bisa membuat lelaki sedingin es balok ini, jatuh cinta padanya.Aku yakin, pasti Silv
Dia seperti tidak nyaman dengan jawaban Ibu yang terkesan cuek.Aku salut dengan mental Mbak Silvi. Dia dengan berani datang ke rumah mantan kekasihnya yang baru saja melangsungkan pernikahan.Apakah dia memang wanita setegar itu? Atau tujuannya datang hanya untuk memastikan istri dari mantannya lebih cantik dari dirinya, atau tidak?Ah, pikiranku harus ternodai dengan pikiran buruk terhadapnya."Tujuan kamu, datang ke sini, apa ya?" tanya Ibu, mewakili pertanyaanku, yang hanya bisa kupendam di dalam hati.Kalau aku yang langsung bertanya, pasti mereka akan berpikir kalau aku cemburu. Jadi, lebih baik aku diam, dan Ibulah yang bertanya."Ah, itu. Tadi saya diberi tahu oleh Mbak Diana, kalau Mas Farzan sudah pulang dari acara pernikahannya. Dan saya datang ke sini, untuk memberikan selamat padanya," jawab Mbak Silvi, beralasan.
"Mengucapkan selamat, bisa di lain waktu. Tidak harus datang ke rumah. Apalagi dengan kondisi Kami baru saja sampai. Apa kamu pikir ini sopan? Bagaimana jika kejadian ini ada di pernikahan kamu? Mantan pacar Malik datang sesaat setelah kalian menikah. Apa kamu akan bersikap biasa saja? Jangan menjadi manusia egois demi keuntunganmu sendiri, Diana! Sebelum melakukan sesuatu, posisikan dulu dirimu di posisi salah satu pihak. Jadi tidak seenaknya kamu mengambil keputusan.""Kalau mantan Mas Malik yang datang ke pernikahan, kami. Aku akan sangat berterimakasih, dan menyambutnya dengan lapang dada. Kan cuma mantan.""Huh, kamu yakin? Bukankah saat pesta pernikahan kalian digelar, mantan Malik datang? Lalu apa yang terjadi? Kamu, merajuk masuk ke dalam rumah dan tidak mau keluar lagi. Padahal, kalian masih bersanding di pelaminan.""Itu beda posisi dong, Bu. Saat itu, banyak para undangan yang datang. Diana malu, dong, mereka
Terus, gimana cara biar air keluar dari sana? Ini mau mandi, atau mau main tebak-tebakan sih? Bikin pusing saja!'Ckek!'Suara seseorang membuka pintu membuatku sedikit waspada. Jangan-jangan Mas Farzan yang masuk. Untung aku belum mandi.Aku segera keluar dari dalam kamar mandi. Dan benar saja, Mas Farzan sudah berdiri di ruang yang berada tepat di samping kamar mandi ini, alias tempat lemari berjejer tadi.Lelaki itu berdiri mematung tanpa memakai bajunya. Hanya celana pendek selutut yang ia kenakan.Ia membalikkan badan mengahap ke arahku. Aku yang sedikit terkejut, sontak menutup wajah dengan kedua tanganku."Ada apa?" tanya Mas Farzan, yang santai saja melihat keterkejutanku."Anu, Mas. Sa-Sarah mau mandi. Tapi, airnya nggak ada," sahutku masih menutup wajah.Terserah deh mau dikatak
"Mas, belum pernah makan handuk yang habis untuk ngupil?" tanyaku, tajam.Mas Farzan menggeleng dengan cepat. Dia juga menarik sudut kanan bibirnya, seperti orang yang merasa jijik."Mau nyoba? Kebetulan Sarah, habis ngupil ini," ucapku seraya menyodorkan handuk di tangan.Mas Farzan memundurkan tubuhnya, hingga ia nyebur ke dalam bak kosong."Aarrkkhh! Sarah ... Menjauh!" teriaknya, dengan tangan dan kaki bergerak mengusirku.Hahahaha. Ternyata lelaki macho ini, jijik sama upil. Awas saja kalau berani mengerjaiku. Akan aku balas pakai upil, kamu Mas."Jadi, sekarang siapa duluan yang mandi?" tanyaku, saat sudah berhenti mengganggunya."Kamu sajalah. Saya, mau lihat paket," jawabnya. Mas Farzan bergegas meninggalkanku sendirian di kamar mandi.Akhirnya, aku bisa bernapas lega, selamat.Aku mengunci rapat-rapat pintu kamar mandi. Pokoknya, aku nggak mau kecolongan lagi. Aku harus
"Kenapa Kevin dan Raffa ada di sini?" tanya Mas Farzan yang baru saja keluar dari kamar. Dia sudah rapi dengan kemeja yang melekat pas di tubuhnya. Ah, aku terlambat datang rupanya."Mbak Diana menitipkannya padaku, Mas. Karena aku tidak bekerja, jadi tidak apalah," jawabku, sambil melepaskan cengkraman di rambutku. Bocah Imut ini sedang berusaha memakan rambutku yang berhasil ia gapai. Mulut kecilnya sudah terbuka lebar hendak melahap tangannya."Jangan, sayang. Nggak boleh makan rambut," ucapku pelan setelah berhasil melepasnya. Bocah itu kembali mencari-cari rambutku, hendak digapainya. "Kenapa harus dititipkan? Bukannya sudah ada baby sister yang disewa Bang Malik?" tanyanya lagi menginterogasi. "Nggak tau, Mas. Katanya baby sister Kevin dan Raffa sudah berhenti bekerja.""Berhenti bekerja? Sejak kapan?""Sejak kemarin mungkin. Sarah, juga nggak tanya sampai mendetail gitu. Takut menyinggung Mbak Diana.""Oh, ya sudah. Hari ini saya harus bekerja. Dan mungkin tidak pulang sel
"Eh, Nak Sarah! Cium tangan suamimu. Lah, kok malah cuma berjabat tangan seperti artis ketemu sama fansnya, saja!" tegur Ibu, lalu tertawa terbahak-bahak. Mas Farzan juga ikut menertawaiku.Eh, ya ampun! Kenapa aku jadi telat mikir sih?Aku kembali meraih tangan Mas Farzan, dan kuarahkan ke bibir. Aku menciumnya sekilas lalu melepaskannya kembali."Nah, begitu. Suami istri itu, harus romantis," ujar Ibu, sesaat setelah menghentikan tawanya."Maaf, Bu." Aku menunduk menahan malu."Ya, sudah. Bu Farzan, pamit." Lelaki itu akhirnya pergi.Dari suara langkah kaki menjauh, aku sudah bisa menebaknya."Ayo, kita masuk." Ibu menggendong Kevin, dan mengajakku masuk.***(Sarah, Nenek sakit dan butuh duit. Tolong kirimkan uang untuk berobat Nenek.) Isi pesan yang baru saja kubuka membuatku bertanya-tanya. Nomor siapakah ini? Tidak ada namanya, tapi meminta uang untuk berobat Nenek.
Ibu berdiri di ambang pintu seraya tersenyum. Ia sudah rapi dengan setelannya dan tas yang menggantung indah di lengannya."Ayo, kita jalan-jalan. Ibu bosan di rumah," ungkapnya, antusias."Jalan ke mana, Bu? Tapi, Mbak Diana minta Sarah untuk menjaga anaknya."Aku bukannya ingin menolak ajakan Ibu. tapi, kedua anak Mbak Diana saat ini menjadi tanggung jawabku. mau tak mau, aku harus menuruti permintaannya."Hari ini Diana libur kerja. Jadi, biar dia yang menjaga anaknya. Kamu, ikut Ibu saja, yuk!" Ibu menarik lenganku. Ia lupa jika pakaian yang kupakai tidak lah pantas untuk dibawa jalan."Tapi, Sarah belum berganti pakaian, Bu." Aku menunjuk pakaian yang kupakai. Hanya daster rumahan yang terlihat sangat santai.Seandainya Ibu mengajakku jalan dengan pakaian ini, mungkin orang-orang yang melihat kami akan menilai jika aku adalah pembantu Ibu. Dari segi pakaian saja, su